Mungkin sudah cukup sering kita mendengarkan dan membaca terkait bagaimana R.A.Kartini sebagai pejuang emansipasi wanita. Kartini merupakan perempuan Indonesia yang sangat pandai dan selalu haus akan pendidikan. Sebagai bagian dari pembelajar sepanjang hayat hal ini seharusnya memang dimiliki oleh manusia. Selalu haus akan ilmu dan selalu belajar untuk kemudian menghasilkan perkembangan peradaban. Terlepas dari bagaimana perjuangan Kartini, kita pun harus mengetahui bahwa pada masanya pendidikan sudah dikelompokkan menjadi sekolah elit dan sekolah rakyat.
Pemberlakuan Politik Etis menjadikan pihak Kolonial Belanda pada masa itu wajib memberikan pendidikan pada masyarakat di wilayah yang dijajahnya yaitu Hindia Belanda atau Indonesia sekarang. Bila pada masa sekarang sekolah-sekolah dibedakan dalam sekolah elit dan sekolah negeri yang gratis, maka pada masa itu pun terjadi hal yang sama. Anak-anak dari golongan priyayi mendapatkan pendidikan dasar yang baik dengan kurikulum yang sama dengan yang diajarkan di negeri Belanda. Pendidikan ini dikenal dengan ELS atau Europeesche Lagere School. Lama waktu belajar di sekolah ini adalah 7 tahun dan memiliki tujuan untuk menyiapkan murid melanjutkan ke sekolah menengah Belanda (HBS, MULO, dll.) atau jadi pegawai pemerintah.
Kartini sebagai seorang anak priyayi sudah pasti memiliki prestise untuk dapat masuk ELS dan belajar di sana. Hal ini yang kemungkinan mengembangkan pola pikirnya terkait dengan emansipasi wanita dan pentingnya para wanita untuk menjadi golongan yang terdidik. Pola pendidikan jawa yang patrialis menjadi salah satu halangan bagi Kartini untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkatan yang lebih tinggi, seperti yang dikatakan Kartini “Kami gadis-gadis Jawa tidak diperbolehkan keluar rumah setelah kami berumur dua belas tahun… Dunia bagi kami menjadi terbatas hanya pada dinding-dinding rumah.” (Kartini, 2004: 63) . Terlepas dari itu Kartini tetap dapat mengenyam pendidikan pada masa itu dikarenakan statusnya sebagai anak bangsawan jawa.
Kita bisa bayangkan bahwa pada masa itu pabila anak perempuan bangsawan saja hanya dapat belajar di tingkatan ELS atau setara dengan sekolah dasar, apalagi perempuan lainnya yang bukan dari golongan bangsawan. Kembali pada bentuk eksklusifitas pendidikan pada masa tersebut, dimana masyarakat biasa hanya bisa masuk di sekolah yang dikenal dengan Sekolah Ongko Loro yang nama resminya adalah Vervolgschool atau Inlandsche School Kelas Dua. Sekolah ini hanya berlangsung selama 3 tahun dengan tujuan utamanya adalah mempersiapkan golongan pekerja kelas bawah ataupun buruh kasar. Secara kurikulum jelas untuk sekolah ini tidak ada standar kurikulum yang jelas, yang ada hanya mengajarkan siswanya untuk membaca, menghitung sekedarnya, serta di beberapa sekolah juga diajarkan pendidikan agama.
Untuk tenaga pengajar pun sangat berbeda jauh antara ELS dengan Sekolah Ongko Loro. ELS di ajar oleh guru lulusan pendidikan guru sedangkan Sekolah Ongko Loro diajar oleh guru lokal yang hanya lulusan sekolah rendah. Kini setelah 121 tahun pasca masa Kartini, pendidikan memang sudah dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, hanya saja eksklusifitas pendidikan tetap ada. Untuk sekolah negeri saja, disetiap daerah selalu ada sekolah-sekolah yang dianggap sebagai sekolah favorit. Sekolah ini biasanya adalah sekolah-sekolah yang sebelumnya merupakan bagian dari penerapan program unggulan dalam pendidikan seperti pernah ada program sekolah unggulan yang dimulai pada tahun 1989, dilanjutkan hingga awal tahun 2000an dimana ada sekolah unggulan, sekolah model, ataupun sekolah pembina.
Di tahun 2000 an muncul program Sekolah Berstandar Internasional dan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional. Hingga pada awal tahun 2021 kembali muncul konsep sekolah unggulan dengan nama Sekolah Penggerak. Program-program ini pada akhirnya bukan memecah permasalahan pendidikan yang ada di Indonesia malah semakin memunculkan ketimpangan dan eksklusifitas pendidikan. Sekolah-sekolah yang masuk pada program tersebut mendapatkan bantuan cukup besar hingga dapat meningkatkan sarana dan prasarananya lebih baik dibandingkan sekolah lain. Setiap tahun sekolah-sekolah tersebut selalu kelebihan peserta didik dimana banyak calon peserta didik berbondong-bondong mendaftar kesana dan akhirnya dilabeli sekolah favorit.
Belum lagi sekolah-sekolah kerjasama dengan luar negeri serta sekolah-sekolah swasta yang untuk bersekolah disana saja harus membayar SPP hingga berjuta-juta. Walaupun pendidikan kini bisa dinikmati oleh semua anak di Indonesia secara menyeluruh, akan tetapi kualitas pendidikan tidak bisa dinikmati sama bagi seluruh masyatakat Indonesia. Tetap saja siapa yang memilki uang akan mendapatkan kualitas pendidikan yang lebih baik, sedangkan masyarakat biasa tetap hanya mendapatkan kualitas standar bahkan dibawah standar. Belum lagi fakta bahwa sekolah-sekolah favorit banyak dihuni oleh anak-anak dari kalangan elit yang dapat membayar sejumlah dana untuk dapat masuk kesana juga menjadi salah satu penghambat pemerataan kualitas pendidikan bagi seluruh rakyat di Indonesia.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah ternyata memelihara eksklusifitas pendidikan yang ada pada masa kolonial. Bahkan sekarang pada tahun 2025, pemerintah kembali memunculkan program baru dengan pembentukan sekolah rakyat dan sekolah unggulan garuda. Sekolah rakyat yang digadang-gadang untuk memberikan pelayanan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak tidak mampu memang seolah menjadi salah satu jawaban terhadap ketimpangan atau eksklusifitas pendidikan di Indonesia. Tetapi sekolah ini kemungkinan akan memunculkan eksklusifitas tersendiri dikalangan pendidik dan pengajar. Guru di sekolah rakyat dipilih secara khusus dan diharapkan memiliki keunggulan dibandingkan sekolah lainnya. Begitu pula untuk sekolah unggulan garuda yang diharapkan menjadi wadah bagi anak-anak yang memilki kemampuan akademik diatas rata-rata. Seharusnya yang dilakukan pemerintah bukanlah membuat program terkait sekolah unggulan atau program semacam itu, melainkan memeratakan kualitas pendidikan dengan memastikan bahwa delapan standar pendidikan telah terpenuhi di semua sekolah.
Pemerataan standar pendidikan dengan melakukan pemetaan yang baik dan benar secara kualitatif akan lebih bermanfaat dibandingkan dengan data-data kuantitaif yang selama ini digunakan oleh pemerintah. Pemerintah seharusnya benar-benar melakukan pengecekan kualitas pendidikan di setiap sekolah dan memetakan kebutuhan pengembangan sekolah dengan benar-benar melihat kondisi nyata di lapangan. Eksklusifitas pendidikan dapat dihilangkan bukan saja dengan memberikan kesempatan belajar yang sama bagi seluruh anak di Indonesia, tapi juga dengan memberikan kualitas pendidikan yang sama pada mereka. Dengan adanya pemerataan kualitas yang didukung dengan kesamaan hak dalam mendapatkan pendidikan maka pastinya tidak akan ada lagi Kartini-kartini yang hanya terdidik tapi tidak dapat bersaing karena kualitas pendidikan yang dimilikinya kalah dengan sekolah yang lain. Pendidikan inklusif, pendidikan bagi semua dengan kualitas yang sama sehingga menjadikan bangsa yang kuat dan dapat bersaing di kancah global.
Daftar Pustaka :
Depdikbud. (1991). Kebijakan Pengembangan Sekolah Unggulan. Jakarta: Pusat Kurikulum.
Iskandar, Teuku. (1988). Pendidikan dan Perjuangan Bangsa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Kartini, R.A. (2004). Habis Gelap Terbitlah Terang. Terj. Armijn Pane. Jakarta: Balai Pustaka.
Putra, P. (2013). Sejarah Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 (perubahan atas PP 19/2005)
Tilaar, H.A.R. (2002). Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Strategis Kebijakan Pendidikan Nasional dalam Abad XXI. Bandung: Remaja Rosdakarya.