Sekolah dasar seharusnya menjadi ruang aman bagi anak untuk tumbuh, belajar, dan mengembangkan kepercayaan diri. Namun, harapan tersebut runtuh dalam kasus pelecehan seksual yang melibatkan seorang guru sekolah dasar di Kendari, Sulawesi Tenggara. Berdasarkan pemberitaan media, seorang guru SD di Kota Kendari divonis hukuman penjara selama lima tahun oleh pengadilan karena terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap muridnya sendiri. Peristiwa ini terjadi di lingkungan sekolah, tempat yang semestinya menjadi ruang perlindungan bagi anak. Korban dalam kasus ini adalah anak usia sekolah dasar fase kehidupan yang sangat rentan secara psikologis dan sosial. Sementara pelaku adalah guru, figur yang seharusnya menjadi pelindung, teladan, dan sumber rasa aman. Ketika relasi ini disalahgunakan, dampaknya jauh lebih dalam daripada sekadar luka fisik. Anak bukan hanya kehilangan rasa aman di sekolah, tetapi juga kehilangan kepercayaan terhadap orang dewasa yang seharusnya membimbingnya.
Pemberitaan media atas kasus ini patut diapresiasi karena membuka mata publik bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di ruang yang selama ini dianggap aman. Media berperan penting sebagai kontrol sosial, mengingatkan bahwa tidak ada satu pun institusi yang kebal dari pengawasan. Namun, media juga perlu menjaga etika pemberitaan agar tidak menambah luka psikologis korban dan keluarganya.
Dari sisi psikologi, pelecehan oleh guru tidak hanya melukai fisik dan mental anak, tetapi juga merusak konsep diri yang sedang berkembang. Anak dapat tumbuh dengan perasaan bersalah, malu, dan merasa dirinya tidak berharga. Lebih berbahaya lagi, anak bisa kehilangan kepercayaan terhadap orang dewasa, termasuk guru yang seharusnya menjadi pelindung. Jika tidak ditangani dengan tepat, trauma ini dapat terbawa hingga remaja dan dewasa.
Dilihat dari kecerdasan intelektual (IQ), pelaku sebagai guru sebenarnya memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai aturan hukum serta etika profesi pendidik. Namun, tindakan pelecehan yang dilakukan menunjukkan bahwa kemampuan berpikir tersebut tidak digunakan secara bertanggung jawab. Pelaku gagal membedakan perilaku yang benar dan salah dalam menjalankan perannya sebagai guru. Bagi korban, peristiwa ini berpotensi mengganggu proses belajar karena trauma dapat menurunkan konsentrasi dan rasa aman di sekolah.
Dari sisi kecerdasan emosional (EQ), kasus ini mencerminkan rendahnya kemampuan pelaku dalam mengendalikan emosi dan berempati. Pelaku tidak mampu memahami kondisi emosional murid yang masih rentan, sehingga menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya. Sementara itu, korban berisiko mengalami gangguan emosional seperti rasa takut, cemas, dan kehilangan kepercayaan terhadap guru maupun lingkungan sekolah.
Ditinjau dari kecerdasan spiritual (SQ), tindakan pelaku menunjukkan lemahnya nilai moral dan tanggung jawab kemanusiaan sebagai pendidik. Guru seharusnya menjaga amanah dan melindungi murid, bukan justru menyakiti. Bagi korban, pengalaman ini dapat mengguncang rasa aman dan keadilan, sehingga diperlukan dukungan keluarga dan sekolah untuk memulihkan kondisi psikologis anak.
Kasus guru SD di Kendari ini menunjukkan adanya relasi kuasa yang disalahgunakan oleh pelaku terhadap korban yang berada pada posisi lemah. Dari sudut pandang psikologi pendidikan, tindakan tersebut bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga bentuk kekerasan psikologis yang dapat menghambat perkembangan kepribadian anak secara menyeluruh. Sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman justru berubah menjadi sumber trauma, sehingga fungsi pendidikan sebagai sarana pembentukan karakter dan kepercayaan diri anak menjadi terganggu.
Lebih jauh, kasus ini menyingkap persoalan sistemik dalam dunia pendidikan. Sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman justru berubah menjadi sumber trauma. Ini menandakan lemahnya pengawasan, minimnya pembinaan etika profesi, serta belum optimalnya sistem pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Vonis hukum terhadap pelaku memang penting sebagai bentuk keadilan, tetapi tidak cukup untuk memulihkan luka psikologis korban dan mencegah kasus serupa terulang.
Karena itu, kritik dalam kasus ini tidak boleh berhenti pada individu pelaku semata. Sistem pendidikan juga harus bertanggung jawab. Sekolah perlu memperketat pengawasan, melakukan evaluasi perilaku guru secara berkala, serta menyediakan mekanisme pelaporan yang aman dan berpihak pada korban. Pemerintah dan masyarakat pun harus bersinergi memastikan bahwa perlindungan anak bukan hanya slogan, tetapi benar-benar hadir dalam kebijakan dan praktik pendidikan sehari-hari.
Kasus di Kendari ini seharusnya menjadi peringatan keras bahwa sekolah tidak boleh lagi lalai dalam menjaga keselamatan anak. Pendidikan sejatinya adalah proses memanusiakan manusia. Ketika sekolah gagal melindungi anak, maka yang runtuh bukan hanya kepercayaan, tetapi juga masa depan generasi itu sendiri.
Daftar Pustaka
Goleman, D. (2005). Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosional. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Penguatan Pendidikan Karakter. Jakarta: Kemendikbud.
Detik.com. (2025). Guru SD di Kendari Divonis 5 Tahun Bui di Kasus Pelecehan Murid
Disusun Oleh Kelompok 4 : Yunira Dede Andriani, Yuha Auliya Rahmah, Anita Rochman, Gayus triyani Etrinis
Sumber link : https://www.detik.com/sulsel/hukum-dan-kriminal/d-8238631/guru-sd-kendari-divonis-5-tahun-bui-di-kasus-pelecehan-murid-kerabat-riuh.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”









































































