Berbagi cerita pribadi adalah bagian dari rutinitas sehari-hari dalam kehidupan banyak orang. Di era ini, rasa privasi tidak berarti apa-apa ketika berbicara tentang ruang publik. Misalnya sekarang, media sosial bukan hanya tempat untuk berbagi cerita atau bertukar kabar saja, tapi juga jadi tempat untuk pamer kehidupan. Peristiwa ini biasanya disebut dengan oversharing, yaitu orang-orang yang terlalu terbuka tentang kehidupan pribadinya.
Tidak hanya mempengaruhi privasi, budaya oversharing juga bisa mengubah cara pandang orang tentang jujur dan pencitraan. Di media sosial, jujur bukan soal menunjukkan diri apa adanya, tetapi jujur adalah sifat yang harus diatur supaya tetap kelihatan bagus di depan orang lain. Dulu, kejujuran identik dengan ketulusan dan keberanian untuk menampilkan diri apa adanya tanpa dibuat-buat. Dalam era digital, kejujuran justru dilakukan untuk sekedar pencitraan. Artinya pada era digital ini, manusia tidak puas lagi untuk menjadi jujur kepada diri mereka sendiri saja, tapi mereka harus menunjukkan kejujuran mereka di ruang terbuka untuk mendapatkan pengakuan.
Di sisi lain, peran digital juga bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita. Banyak orang yang membangun diri baru di dunia maya, yang sering sekali beda dengan kehidupan nyata mereka. Sehingga, identitas orang itu dikenal bukan dari siapa dirinya yang sebenarnya tapi dari bagaimana dirinya ingin dipandang orang lain. Dengan begitu, budaya oversharing tidak lagi hanya memberikan cerita dan informasi pribadi, tapi juga tentang bagaimana orang-orang belajar membatasi pengaruh publik kepada dirinya. Hal ini sendiri yang membuat media sosial bukan lagi tempat untuk berekspresi apa adanya.
Di samping perubahan tentang kejujuran dan pencitraan, budaya oversharing juga mempengaruhi baik secara positif maupun negatif dalam aspek hubungan sosial dan kesehatan psikologis seseorang. Kalau orang terlalu sering membagikan hal-hal tentang dirinya ke media sosial, lama lama batas antara diri asli dan diri yang ditampilkan ke publik menjadi sangat berbeda. Contohnya ada orang yang harus terus kelihatan bahagia, produktif, dan sempurna di depan kamera, tapi di kehidupan nyata dia itu merasa kesepian dan sedih, tidak sebahagia seperti yang ditunjukkan.
Hal ini secara perlahan membuat banyak orang kehilangan perasaan aman dan nyaman dengan ruang pribadinya sendiri. Dengan perasaan itulah terjadi tekanan psikologis yang tidak disadari. Secara tidak sadar bisa menimbulkan rasa lelah dan bisa merusak rasa percaya diri. Seseorang juga bisa kehilangan rasa aman untuk berbicara jujur dengan dirinya sendiri, karena semuanya dianggap harus memenuhi harapan orang lain.
Tekanan psikologis tersebut kemudian berdampak pada hubungan sosial. Karena semakin hilangnya batas antara ruang pribadi dan ruang publik, interaksi sosial pun semakin berubah. Hubungan antar manusia semakin bersifat palsu, bukan tentang saling memahami, tetapi tentang bagaimana cara untuk menampilkan diri dengan baik. Momen kebersamaan pun hilang maknanya karena perhatian lebih fokus pada bagaimana momen itu terlihat di layar, daripada bagaimana momen itu sebenarnya dirasakan.
Di balik kebiasaan bercerita yang berlebihan, ada aplikasi yang sengaja mendorongnya. Media sosial sengaja dirancang untuk membuat pengguna terus aktif dan merasa perlu menunjukkan diri. Setiap notifikasi seperti like, komen, dan lainnya itu seperti mengajak kita untuk menggunakannya. Akibatnya, orang-orang banyak yang tidak sadar kalau mereka terjebak dalam kebiasaan mencari pengakuan di dunia maya, jadi mereka merasa dunia maya lebih penting daripada kehidupan nyata.
Contoh nyata hal ini dapat dilihat pada peristiwa terbaru yang ada pada media sosial, yaitu berupa fitur baru di aplikasi Instagram yang bisa membagikan lokasi secara otomatis. Kalau dilihat memang seru dan mudah, tapi dibalik itu fitur seperti ini bisa membawa resiko privasi yang besar. Banyak orang yang tidak sadar malah memberikan informasi yang berbahaya, seperti dimana mereka berada atau tempat kegiatan mereka sehari-hari, hal ini bisa saja dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Setelah memahami dari sisi-sisi berbagai peristiwa ini, saya juga bisa merasakan sendiri bagaimana media sosial pelan-pelan mengubah cara saya melihat ruang pribadi. Dari hal ini saja saya menyadari bahwa budaya oversharing bukanlah kebiasaan kecil yang sepele, tetapi sesuatu yang pelan-pelan mengubah cara kita berpikir dan menjalin hubungan dengan orang lain. Budaya oversharing ini tidak akan berakhir kalau yang disalahkan hanya salah satu pihak saja, yaitu pengguna ataupun platformnya. Solusinya adalah ada pada kesadaran bersama, kesadaran bahwa setiap postingan pasti ada efeknya baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Dengan kita tahu bagaimana media sosial itu bekerja, kita jadi lebih bisa untuk memilih mana yang sebaiknya kita jadikan cerita publik dan mana yang seharusnya kita simpan untuk diri kita sendiri.
Karena, ruang digital itu adalah cermin untuk diri kita sendiri. Media sosial memang seperti mengundang kita untuk terus berbagi cerita, tapi menjaga privasi juga bukan berarti ketinggalan zaman, justru hal ini adalah bentuk kesadaran bahwa tidak semua harus diceritakan ke publik. Kita punya pilihan untuk tidak mengikuti arus media sosial, tidak memberikan apapun di media sosial itu bukan berarti menutup diri, tapi itu adalah cara bagaimana kita menghargai ruang untuk diri kita. Kalau setiap pengguna bisa mulai sadar dan saling menghargai privasi satu sama lain, ruang digital akan jauh lebih aman dan nyaman. Karena kenyataannya ruang pribadi bukan ditangan dunia maya, tapi ada ditangan kita sendiri. Dan dari situlah perubahan kecil bisa dimulai, dari satu orang, menyebar jadi kesadaran bersama.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
































































