Dalam hiruk-pikuk kemajuan teknologi dan temuan ilmiah modern, manusia seolah semakin berkuasa atas alam. Kita mampu membaca genetik manusia, memetakan galaksi jauh, hingga menciptakan kecerdasan buatan yang meniru nalar manusia. Namun di balik semua itu, muncul pertanyaan yang lebih dalam: apakah kemajuan sains benar-benar menjauhkan manusia dari Tuhan, atau justru menjadi jalan untuk menemukan-Nya?
Sebagai seorang muslim, penulis meyakini bahwa ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang berdiri di luar nilai-nilai spiritual. Ilmu pengetahuan justru merupakan cerminan dari keagungan Sang Pencipta. Setiap hukum dalam alam semeseta ini, setiap keteraturan kosmos, hingga rumitnya sel dalam tubuh manusia adalah bagian dari salah satu tanda atau dalam istilah Al-Qur’an disebut ayat kauniyah yang mengarahkan manusia untuk mengenal Tuhan melalui ciptaan-Nya. Allah swt. berfirman:
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ ١٩٠
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190)
Bagi penulis, ayat ini menjadi panggilan agar manusia tidak sekadar mengagumi keindahan alam semesta, tapi juga merenungi atau mentadabburi makna dibaliknya. Ketika para ilmuwan menemukan teori Big Bang, mereka menjelaskan bahwa alam semesta bermula dari satu titik tunggal yang kemudian mengembang. Konsep ini sejalan dengan firman Allah swt. :
اَوَلَمْ يَرَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنَّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنٰهُمَاۗ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاۤءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّۗ اَفَلَا يُؤْمِنُوْنَ ٣٠
“langit dan bumi dahulu merupakan satu kesatuan, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.” (QS. Al-Anbiya: 30)
Temuan ilmiah seperti ini tidak menegasikan agama, melainkan memperkuat keyakinan bahwa wahyu dan sains berbicara dalam bahasa yang berbeda tentang satu kebenaran yang sama.
Dalam pandangan penulis, orang yang meneliti sains sejatinya adalah orang yang sedang mencari Tuhan. Ia menelusuri tanda-tanda kebesaran-Nya yang tersebar di seluruh penjuru alam. Setiap eksperimen, setiap pengamatan, dan setiap teori yang dilahirkan merupakan upaya untuk memahami bagaimana Tuhan bekerja melalui hukum-hukum-Nya. Bedanya hanya pada kesadaran, sebagian menyebutnya “pengetahuan”, sementara sebagian lain menyebutnya “keimanan”.
Para ilmuwan Muslim di masa keemasan Islam memahami hal ini dengan sangat baik. Ibnu Sina, Al-Biruni, dan Al-Khawarizmi memandang ilmu bukan semata hasil logika, tapi juga sarana untuk mengenal Sang Pencipta. Mereka membaca kitab Allah untuk memahami ayat qauliyah (wahyu dalam Al-Qur’an) dan ayat kauniyah (tanda-tanda di alam semesta). Dari cara berpikir seperti inilah lahir peradaban ilmiah yang tetap berakar pada nilai spiritual.
Sayangnya, sains modern kini sering kehilangan dimensi maknanya. Banyak ilmuwan yang begitu tenggelam dalam data dan rumus hingga lupa bahwa pengetahuan tidak selalu menjawab pertanyaan “mengapa”. Maka ketika sains terlepas dari nilai-nilai etika dan spiritualitas, ia bisa menimbulkan krisis kemanusiaan seperti penyalahgunaan teknologi, kerusakan lingkungan, atau eksperimen yang menyalahi moralitas. Dan di sinilah Islam hadir untuk menyeimbangkan antara akal dengan iman, serta penjelasan rasional dan kesadaran spiritual.
Menurut penulis, tugas umat Islam hari ini bukan sekadar menjadi konsumen pengetahuan, tetapi juga menjadi penafsir makna di baliknya. Kita perlu menghidupkan kembali semangat iqra’ membaca, meneliti, dan merenungi. Sebab, membaca dalam Islam bukan hanya sekedar membaca teks, tapi juga dapat membaca realitas. Ketika seorang fisikawan mempelajari partikel, seorang ahli biologi meneliti kehidupan, atau seorang astronom menatap bintang, mereka semua sebenarnya sedang berdialog dengan kebesaran Tuhan, entah mereka menyadarinya atau tidak.
Penulis percaya bahwa semakin jauh sains menggali rahasia alam semesta, semakin jelas pula tanda-tanda keberadaan Tuhan yang dapat kita lihat. Alam ini tidak mungkin tercipta dari kebetulan belaka; terlalu banyak keteraturan, keseimbangan, dan keindahan yang mustahil muncul tanpa rancangan. Justru melalui sains, manusia diajak untuk merenung dan bersyukur karena setiap penemuan baru sesungguhnya membuka tabir baru dari keagungan-Nya.
Maka, ketika sains menemukan hukum-hukum alam, sebenarnya ia sedang membaca wahyu Tuhan yang lain. Ketika seorang ilmuwan meneliti fenomena alam, sesungguhnya ia sedang menelusuri jejak Sang Pencipta. Sains yang sejati tidak menjauhkan manusia dari Tuhan, melainkan membimbingnya kembali pada sumber segala pengetahuan.
Hemat penulis, pada akhirnya sains dan iman bukanlah dua jalan yang berlawanan, melainkan dua cahaya yang saling menerangi.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”










































































