Ketimpangan Sosial dan Peran Hukum dalam Mewujudkan Keadilan Struktural
Artikel ini membahas peranan hukum dalam menanggapi ketimpangan sosial serta hubungan antara kondisi sosial dengan substansi dan pelaksanaan hukum. Pembahasan dilakukan melalui pendekatan kualitatif berbasis studi literatur dengan analisis isi terhadap fenomena hukum dan realitas sosial. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa hukum dapat berperan sebagai sarana rekayasa sosial untuk mendorong keadilan struktural. Namun, pelaksanaan hukum kerap terhambat oleh dominasi kekuasaan, budaya hukum yang lemah, dan ketimpangan akses terhadap keadilan. Oleh karena itu, diperlukan reformulasi pendekatan hukum yang lebih berpihak pada masyarakat rentan.
Keywords: ketimpangan sosial, peran hukum, keadilan, struktur sosial, budaya hukum
Pendahuluan
Ketimpangan sosial merupakan salah satu persoalan struktural yang terus membayangi kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Ketimpangan ini tampak dari adanya perbedaan mencolok dalam akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hingga keadilan hukum. Dalam konteks ini, hukum memegang peranan penting, tidak hanya sebagai seperangkat aturan normatif, tetapi juga sebagai instrumen sosial yang mampu membentuk, mengatur, dan mengarahkan perubahan masyarakat. Sosiologi hukum memandang hukum tidak berdiri di ruang hampa, melainkan lahir dan berkembang dari realitas sosial, serta dipengaruhi oleh dinamika politik, budaya, dan ekonomi yang melingkupinya.
Namun, dalam praktiknya, hukum tidak selalu hadir sebagai kekuatan yang netral. Di tengah struktur masyarakat yang timpang, hukum sering kali diproduksi, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan bias kekuasaan. Akibatnya, mereka yang berada dalam posisi sosial-ekonomi rendah kerap menjadi korban ketidakadilan hukum, baik dalam proses legislasi maupun dalam sistem penegakan hukum. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji peranan hukum dalam merespons ketimpangan sosial serta menjelaskan bagaimana kondisi sosial tertentu dapat memengaruhi substansi hukum dan pelaksanaannya di lapangan. Dengan menggunakan perspektif sosiologi hukum, tulisan ini mengulas pentingnya membangun sistem hukum yang tidak hanya legal secara prosedural, tetapi juga adil secara struktural dan substantif.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode normatif-sosiologis, yaitu mengkaji hukum tidak hanya sebagai norma tertulis (law in the books), tetapi juga sebagai realitas sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat (law in action). Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis dan bertujuan untuk memahami peran hukum dalam mengatasi ketimpangan sosial serta bagaimana kondisi sosial, ekonomi, dan politik memengaruhi substansi dan pelaksanaan hukum. Data yang digunakan terdiri dari data primer berupa peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta data sekunder berupa buku, jurnal, laporan organisasi internasional, dan sumber literatur lainnya. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan analisis dokumen hukum, sementara teknik analisis data dilakukan secara kualitatif-interpretatif dengan mengacu pada teori-teori sosiologi hukum dari Donald Black, Pierre Bourdieu, Lawrence Friedman, dan Roscoe Pound untuk menafsirkan hubungan antara struktur sosial dengan fungsi dan efektivitas hukum dalam mewujudkan keadilan struktural.
Pembahasan
1. Peranan Hukum terhadap Kondisi Sosial dan Perkembangannya
Dalam perspektif sosiologi hukum, hukum tidak sekadar dipahami sebagai kumpulan norma normatif, tetapi sebagai institusi sosial yang hidup dalam interaksi dengan masyarakat. Dengan kata lain, hukum memiliki kapasitas sebagai agen perubahan sosial (agent of social change). Peranan ini tampak dalam tiga bentuk utama:
a. Hukum sebagai Sarana Rekayasa Sosial (Social Engineering)
Konsep ini diperkenalkan oleh Roscoe Pound, yang menyatakan bahwa hukum dapat digunakan untuk mengatur dan mengarahkan perubahan sosial ke arah yang dikehendaki. Misalnya, peraturan tentang affirmative action dalam pendidikan dan ketenagakerjaan bertujuan mengurangi ketimpangan struktural dengan memberi peluang lebih kepada kelompok marjinal. Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas merupakan contoh nyata di mana hukum berfungsi untuk memberikan perlindungan dan kesempatan yang lebih baik bagi penyandang disabilitas, sehingga mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat.
b. Hukum sebagai Refleksi Dinamika Sosial
Hukum mencerminkan nilai, norma, dan kebutuhan masyarakat yang berubah dari waktu ke waktu. Ketika kesadaran masyarakat terhadap ketimpangan meningkat, maka tekanan terhadap perubahan hukum juga ikut meningkat. Contohnya, tuntutan terhadap RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) mencerminkan kesadaran masyarakat akan perlunya perlindungan hukum bagi kelompok yang selama ini terabaikan. Hal ini menunjukkan bahwa hukum tidak hanya bereaksi terhadap kondisi sosial, tetapi juga dapat menjadi alat untuk mendorong perubahan sosial yang lebih adil.
c. Hukum sebagai Mekanisme Legitimasi Kekuasaan Sosial
Dalam masyarakat yang timpang, hukum kerap digunakan untuk melegitimasi status quo kekuasaan. Di sinilah peran hukum menjadi ambivalen, di satu sisi bisa menjadi sarana keadilan, tetapi di sisi lain menjadi alat dominasi kelas penguasa. Ini sesuai dengan small theory Donald Black, yang menilai bahwa hukum lebih aktif (lebih banyak digunakan dan ditegakkan) terhadap kelompok subordinat ketimbang kelompok elit. Misalnya, dalam kasus penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan, sering kali perusahaan besar yang memiliki kekuasaan ekonomi dapat menghindari sanksi, sementara masyarakat kecil yang melanggar aturan lingkungan justru mendapatkan hukuman yang lebih berat. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan hak setiap warga negara untuk memperoleh perlakuan hukum yang adil dan tidak diskriminatif. Namun, dalam praktiknya, ketimpangan sosial sering kali menghambat pemenuhan hak-hak tersebut, terutama bagi kelompok rentan.
2. Kondisi Sosial sebagai Penjelas Substansi dan Pelaksanaan Hukum
Perbedaan kondisi sosial masyarakat memengaruhi substansi hukum (isi dan orientasi kebijakan hukum) serta pelaksanaannya. Hal ini dapat dijelaskan melalui beberapa dimensi:
a. Pengaruh Modal Sosial, Budaya, dan Ekonomi (Bourdieu)
Pierre Bourdieu melihat hukum sebagai bagian dari field (medan sosial) yang beroperasi dalam kerangka distribusi modal sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam konteks ini, substansi hukum yang lahir cenderung mencerminkan kepentingan kelas dominan yang memiliki modal simbolik dan modal ekonomi lebih besar. Misalnya, pengaturan pertanahan dan perizinan usaha lebih berpihak kepada korporasi besar ketimbang masyarakat adat atau petani kecil. Hal ini menciptakan ketidakadilan dalam akses terhadap sumber daya dan kesempatan.
b. Struktur dan Budaya Hukum (Lawrence Friedman)
Friedman membagi sistem hukum menjadi tiga komponen: struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Ketimpangan sosial memengaruhi ketiganya:
- Struktur hukum: lemahnya institusi hukum dan korupsi struktural berdampak pada rendahnya akses masyarakat miskin terhadap keadilan. Misalnya, banyak masyarakat yang tidak mampu membayar biaya pengacara atau tidak memiliki pengetahuan hukum yang memadai untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
- Substansi hukum: kebijakan hukum seringkali tidak inklusif atau tidak mempertimbangkan kebutuhan kelompok marginal. Contohnya, undang-undang yang mengatur tentang perumahan sering kali tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga mereka terpaksa tinggal di daerah kumuh tanpa akses terhadap layanan dasar.
- Budaya hukum: ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum (legal cynicism) menyebabkan rendahnya partisipasi hukum dan tingginya penyelesaian konflik secara informal. Hal ini menciptakan siklus ketidakadilan, di mana masyarakat merasa bahwa hukum tidak berpihak kepada mereka.
c. Kesenjangan dalam Penegakan Hukum (Law in Action)
Pendekatan law in action menunjukkan bahwa keberlakuan hukum di lapangan tidak selalu sejalan dengan law in the books. Kondisi sosial seperti tingkat pendidikan rendah, ketidakmampuan membayar pengacara, serta diskriminasi sosialmenjadi hambatan bagi masyarakat miskin untuk memperoleh keadilan yang sepadan. Dalam banyak kasus, hukum lebih represif kepada kelompok miskin, sedangkan kelompok kaya atau elit politik dapat menghindari hukuman melalui negosiasi hukum. Contoh nyata adalah kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi, di mana mereka sering kali mendapatkan hukuman ringan atau bahkan bebas, sementara masyarakat biasa yang terlibat dalam kasus kecil mendapatkan hukuman yang lebih berat.
Refleksi Kritis dan Rekomendasi
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa hukum memiliki potensi besar dalam mengubah struktur sosial menuju keadilan. Namun, potensi tersebut tidak akan tercapai jika:
- Proses legislasi masih elitis dan tertutup.
- Aparat penegak hukum tidak netral.
- Budaya hukum masyarakat tidak mendukung perubahan.
Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan hukum yang lebih transformatif, yaitu:
- Penguatan akses keadilan (access to justice), untuk kelompok rentan, termasuk penyediaan layanan hukum gratis dan pendidikan hukum bagi masyarakat.
- Demokratisasi proses legislasi, agar hukum mencerminkan kebutuhan rakyat dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan.
- Pendidikan hukum kritis, untuk membentuk budaya hukum yang partisipatif dan sadar hak, sehingga masyarakat dapat lebih aktif memperjuangkan hak-hak mereka.
Kesimpulan dan Saran
Dari pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa hukum memiliki peran strategis dalam merespons dan memengaruhi ketimpangan sosial. Sebagai sarana rekayasa sosial, hukum mampu mendorong perubahan yang lebih adil dan inklusif, terutama jika dirancang berdasarkan kepentingan kelompok rentan dan marginal. Namun demikian, dalam realitas sosial yang timpang, hukum sering kali dipengaruhi oleh dominasi kekuasaan ekonomi dan politik, sehingga pelaksanaannya justru memperkuat ketidakadilan struktural. Substansi hukum, struktur lembaga hukum, dan budaya hukum masyarakat saling terkait dalam menciptakan kondisi hukum yang adil atau sebaliknya, diskriminatif. Oleh karena itu, untuk mewujudkan keadilan struktural, diperlukan pembaruan hukum secara menyeluruh, baik dari sisi kebijakan, penegakan hukum, maupun peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Pemerintah dan pembentuk kebijakan perlu mereformulasi regulasi agar lebih inklusif dan berpihak pada kelompok yang selama ini terpinggirkan. Di samping itu, akses terhadap keadilan harus diperluas melalui penguatan lembaga bantuan hukum serta pemberdayaan masyarakat dalam memahami dan memperjuangkan hak-haknya. Hukum harus dibangun bukan hanya untuk menertibkan, melainkan juga untuk membebaskan dan mengangkat martabat manusia, terutama mereka yang berada dalam posisi sosial-ekonomi yang paling lemah.
Daftar Pustaka
Black, D. (1976). The Behavior of Law. Academic Press.
Bourdieu, P. (1987). “The Force of Law: Toward a Sociology of the Juridical Field.” Hastings Law Journal, 38(5), 814-853.
Friedman, L. M. (1975). The Legal System: A Social Science Perspective. Russell Sage Foundation.
Pound, R. (1951). Social Control Through Law. Yale University Press.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Transparency International. (2022). “Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2022.”