Di sebuah kelurahan di pinggiran kota, seorang warga datang membawa setumpuk berkas pengurusan KTP. Di tangannya terselip sebuah amplop kecil. Setelah petugas membantu dengan cepat, amplop itu berpindah tangan disertai senyum dan ucapan, “Sekadar tanda terima kasih, Pak.”
Bagi banyak orang, peristiwa seperti itu tampak sepele bahkan dianggap lumrah. Namun di balik kebiasaan kecil itu, tersimpan persoalan besar bernama gratifikasi, akar dari praktik korupsi yang sering tak disadari.
Dalam budaya Indonesia, memberi sesuatu sebagai tanda terima kasih merupakan hal yang wajar. Masalahnya, dalam konteks pelayanan publik atau jabatan tertentu, pemberian itu bisa berubah makna.
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas uang, barang, potongan harga, tiket perjalanan, hingga fasilitas yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara karena jabatannya.
“Banyak yang beralasan itu cuma ucapan terima kasih. Tapi ketika pemberian dilakukan karena ada hubungan jabatan, itu sudah termasuk gratifikasi yang wajib dilaporkan,” jelas Nurul Hidayati, analis gratifikasi KPK, saat ditemui dalam sebuah seminar antikorupsi di Jakarta (2025).
Masalahnya, garis antara ucapan terima kasih tulus dan imbalan untuk memperlancar urusan sering kali kabur. Akibatnya, masyarakat menjadi permisif terhadap perilaku yang secara hukum tergolong korupsi kecil.
Mulai dari penggunaan mobil dinas untuk urusan keluarga, pemberian “uang rokok” agar pelayanan publik dipercepat, hingga pejabat yang menerima bingkisan hari raya dari rekanan bisnis.
Dalam survei Indonesian Corruption Watch (ICW) tahun 2024, lebih dari 60% responden mengaku pernah menyaksikan praktik gratifikasi di lingkungan kerja, namun tidak melaporkannya karena takut dianggap tidak sopan atau “tidak tahu adat”.
“Di sinilah masalahnya,” kata Dr. Laila Rahman, pakar etika publik dari Universitas Gadjah Mada. “Kita sering mencampuradukkan antara nilai budaya dan integritas. Rasa sungkan justru membuat korupsi kecil jadi hal yang diterima secara sosial.”
Meski tampak remeh, dampak korupsi kecil sangat besar. Ia menciptakan lingkaran ketidakadilan, di mana pelayanan publik menjadi tidak setara. Mereka yang mampu memberi “hadiah” lebih cepat dilayani, sementara yang tidak punya uang harus menunggu lebih lama. Lebih jauh lagi, perilaku ini membentuk budaya permisif yang membuka jalan bagi korupsi skala besar.
“Korupsi besar tidak akan tumbuh kalau korupsi kecil tidak dipelihara,” ujar Sofyan Hidayat, mantan penyidik tindak pidana korupsi. “Kebiasaan kecil seperti memberi imbalan atau mengambil sedikit keuntungan dari jabatan adalah pembuka pintu bagi kejahatan yang lebih besar.”
Beberapa komunitas kini mulai bergerak menanamkan nilai antikorupsi sejak dini. Di Yogyakarta, misalnya, Komunitas Sekolah Jujur mengadakan program “Hadiah Tanpa Uang” bagi siswa SD. Setiap tindakan baik diberi apresiasi berupa sertifikat atau kesempatan tampil di panggung sekolah bukan barang atau uang. “Kami ingin anak-anak paham bahwa penghargaan tidak selalu berbentuk materi,” kata pendiri komunitas, Rani Pramesti.
Di sektor pemerintahan, sejumlah instansi mulai menerapkan Zona Integritas dan sistem pelaporan gratifikasi digital yang mudah diakses. KPK pun menyediakan aplikasi GOL (Gratifikasi Online) agar pegawai negeri dapat melaporkan setiap pemberian yang diterima dengan transparan.
Pada akhirnya, korupsi bukan hanya urusan pejabat tinggi. Ia bisa hidup di rumah, di kantor, bahkan di antara interaksi sehari-hari kita. Mungkin kita tidak pernah menyelewengkan anggaran miliaran rupiah, tapi apakah kita benar-benar bebas dari korupsi kecil?
Seperti kata pepatah lama, “Air setetes pun bisa melubangi batu jika dibiarkan terus-menerus”. Begitu pula dengan korupsi kecil ia mungkin tampak remeh, tapi bila dibiarkan, ia bisa menggerogoti fondasi moral dan keadilan dalam masyarakat.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”





































































