Laut Adalah Rumah Kami, Tapi Kami Tak Dianggap Penghuninya
Tiap pagi, sebelum matahari benar-benar naik dari timur, halaman rumah-rumah di pesisir Lamongan sudah sibuk. Seorang ibu menjemur ikan asin, seorang lainnya menyortir hasil laut, lalu bersiap ke pasar menjualnya. Di banyak rumah, perempuan bangun lebih awal dari nelayan laki-laki. Tapi tak satu pun dari mereka disebut “nelayan”.
Kata itu—nelayan—di kepala banyak orang, selalu berarti laki-laki berperahu. Yang mengarungi laut, melempar jaring, lalu kembali membawa hasil tangkapan. Padahal kenyataannya, laut tidak dihidupi sendirian. Di belakang setiap perahu yang pulang, ada tangan-tangan perempuan yang bekerja menyambut, mengolah, menjual, dan menopang ekonomi keluarga dari balik dapur hingga pasar.
Di Hari Laut, Suara Perempuan Masih Tercecer Ombak
Setiap tanggal 8 Juni, dunia merayakan Hari Laut Sedunia. Poster-poster muncul: jaga terumbu karang, lawan sampah plastik, selamatkan biota laut. Namun tidak banyak yang berbicara tentang perempuan yang hidup dari laut. Perempuan yang tidak turun melaut, tapi hidupnya menyatu dengan irama pasang surut.
Di Lamongan, mereka tersebar di Paciran, Brondong, Kranji, dan desa-desa pesisir lainnya. Mereka mengolah ikan jadi abon, menjajakan udang rebon, mencatat utang-piutang hasil jualan, dan memastikan dapur tetap mengepul bahkan saat perahu tak kembali karena cuaca buruk.
Namun mereka tidak masuk daftar penerima bantuan. Mereka tidak dianggap sebagai pelaku usaha perikanan. Bahkan status di KTP-nya seringkali hanya tertulis “ibu rumah tangga.”
Padahal hukum di negeri ini jelas: nelayan adalah siapa saja yang terlibat dalam proses penangkapan, pengolahan, penyimpanan, hingga pemasaran hasil laut. Tapi perempuan-perempuan ini tidak dianggap masuk dalam definisi itu.
Antara Garam, Ikan Jemuran, dan Tak Ada Nama
Beberapa perempuan di pesisir Lamongan bercerita: mereka tak punya Kartu KUSUKA (Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan), tak pernah ikut pelatihan dari dinas, dan belum pernah didata sebagai pelaku usaha meski tiap hari hidup dari laut.
Sebagian mencoba mengganti status pekerjaan di KTP menjadi “nelayan”, tapi ditolak. Alasannya, mereka tidak turun ke laut. Padahal jika tidak ada mereka, banyak hasil laut itu tak sampai ke pasar, tak berubah bentuk jadi nilai, tak menjadi pemasukan keluarga.
Ini bukan soal sebutan. Ini soal pengakuan. Karena pengakuan, lahir hak: ikut pelatihan, mendapat asuransi, dibantu alat produksi, dilibatkan dalam forum desa.
Perempuan Pesisir Tidak Butuh Kasihan. Mereka Butuh Pengakuan.
Sudah terlalu lama peran perempuan pesisir dikecilkan. Dalam cerita, mereka disebut “pendamping nelayan”. Dalam programnya, mereka disebut “kelompok ibu-ibu”. Dalam data, mereka tidak disebut sama sekali.
Padahal mereka adalah penjaga rantai ekonomi laut. Mereka adalah penopang keluarga ketika hasil tangkapan sepi. Mereka juga menjadi korban pertama ketika iklim tak bersahabat dan laut mulai sulit ditebak.
Mereka tidak butuh dikasihani. Mereka hanya ingin diakui: sebagai nelayan, sebagai pekerja, sebagai bagian dari kebijakan kelautan.
Di tepi laut, kami berdiri
Peringatan Hari Laut seharusnya bukan hanya tentang ikan dan karang. Tapi juga tentang manusia yang hidup dari laut—terutama yang suaranya selama ini hilang di antara deru ombak.
Perempuan-perempuan pesisir Lamongan, dan di seluruh Indonesia, hanya ingin satu hal: menjadi bagian yang sah dari dunia yang telah lama mereka jaga.
Karena laut adalah rumah kami. Dan kami ingin dianggap sebagai penghuninya.
—
Ditulis oleh: Ike Nurul Fitrotus Shoimah (Ketua KOPRI PC PMII Lamongan)
Penulis adalah perempuan muda yang hidup dan tumbuh di pesisir Lamongan, menulis ini untuk perempuan-perempuan yang selama ini tak tercatat, tapi tak pernah absen bekerja demi laut dan kehidupan.