Mengangkat Tradisi Pijat dalam Modul Biologi, Langkah Edukasi Berakar Budaya
Sebagai generasi muda yang sedang menempuh pendidikan di dunia sains, saya merasa bangga melihat arah baru dalam sistem pembelajaran di sekolah, khususnya pada pelajaran Biologi. Salah satu contoh yang inspiratif adalah modul ajar yang disusun oleh Ellys Veronika mahasiswa Universitas Lancang Kuning. Modul ini membahas pertumbuhan dan perkembangan dalam Biologi, namun dengan sentuhan unik: keterkaitan antara pijat tradisional masyarakat Bali dan Jawa dengan proses biologis tersebut.
Modul ini membuktikan bahwa pendekatan etnopedagogi—pembelajaran berbasis budaya lokal—tidak hanya relevan, tetapi juga penting. Materi yang biasanya diajarkan dengan teori dan grafik kini dikemas melalui praktik hidup yang telah lama dilakukan oleh masyarakat kita. Pijat bukan hanya tradisi turun-temurun, tapi juga contoh nyata bagaimana intervensi fisik bisa mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan manusia, terutama pada masa bayi dan anak-anak.
Pendekatan seperti ini sangat cocok diterapkan di era sekarang. Ketika siswa merasa pelajaran Biologi tidak hanya berasal dari laboratorium atau buku pelajaran, tapi juga dari budaya mereka sendiri, maka belajar akan menjadi lebih bermakna. Modul ini juga sejalan dengan nilai-nilai Profil Pelajar Pancasila, khususnya dalam dimensi akhlak kepada alam, gotong royong, dan berkebinekaan global.
Sebagai mahasiswa, saya menilai inisiatif seperti ini adalah bentuk pendidikan yang berpihak pada akar budaya bangsa. Sayangnya, belum banyak guru yang menyadari potensi besar dari pendekatan ini. Modul seperti ini seharusnya tidak hanya berhenti di satu sekolah, tapi diperluas dan dibagikan ke sekolah-sekolah lain sebagai bahan ajar inspiratif.
Pendidikan tidak boleh hanya membentuk siswa menjadi pintar secara akademis, tapi juga sadar budaya, menghargai warisan leluhur, dan mampu melihat hubungan antara ilmu pengetahuan dan praktik lokal. Tradisi seperti pijat tidak boleh hanya dilihat sebagai “pengetahuan kuno,” tapi justru sebagai pintu masuk untuk memahami sains dari sudut pandang yang membumi.
Saya berharap, ke depan, akan semakin banyak modul ajar yang mengangkat kekayaan budaya lokal kita. Karena sejatinya, sains dan tradisi bukanlah dua kutub yang berseberangan—keduanya bisa bersinergi untuk membentuk generasi muda yang cerdas, tangguh, dan berakar.
Oleh: Ellys Veronika
Mahasiswa Pendidikan Biologi, Universitas Lancang Kuning