Fenomena Squid Game: Antara Hiburan, Kritik Sosial, dan Ancaman Moral
Kita hidup di masa ketika penderitaan bukan hanya kenyataan sosial, tapi juga bahan tontonan. Serial Korea Selatan Squid Game yang dirilis pada 2021 mungkin salah satu contoh terbaik: bagaimana ketimpangan ekonomi bisa dikemas dalam bentuk hiburan visual yang menghibur sekaligus mengganggu.
Banyak yang melihat serial ini sekadar sebagai drama survival, penuh aksi, misteri, dan intrik. Tapi jika ditonton lebih dalam, Squid Game sebenarnya adalah kritik tajam terhadap cara dunia bekerja hari ini—terutama bagaimana sistem kapitalisme bisa membuat orang percaya bahwa mereka punya pilihan, padahal sedang terjebak dalam permainan besar yang nyaris tak bisa dimenangkan.
Pilihan yang Sebenarnya Tidak Gratis
Di permukaan, para peserta Squid Game tampak datang secara sukarela. Bahkan mereka diberi kesempatan untuk keluar dari permainan. Tapi kenyataannya, sebagian besar dari mereka kembali, karena dunia nyata lebih kejam dari game berdarah itu sendiri.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana kekuasaan bekerja bukan melalui paksaan langsung, tapi melalui struktur yang membuat orang merasa tak punya alternatif. Seperti dijelaskan oleh Antonio Gramsci, kekuasaan modern bukan hanya soal siapa yang punya senjata, tapi siapa yang bisa mengontrol cara berpikir masyarakat (Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, 1971).
Hiburan dari Penderitaan
Salah satu adegan paling mencolok adalah ketika para “VIP” berkostum mewah menonton game sebagai hiburan eksklusif. Mereka mewakili segelintir elit global yang menjadikan penderitaan orang miskin sebagai tontonan. Mirisnya, para penonton Squid Game di dunia nyata pun tidak berbeda jauh. Kita menonton penderitaan fiktif itu sambil rebahan, tertawa, menangis, lalu melanjutkan hidup seolah tak ada yang salah.
Di sinilah ironi industri hiburan bekerja: tragedi yang diderita oleh banyak orang di dunia nyata, terutama dari kelas pekerja dan masyarakat termarjinalkan, dikemas menjadi cerita yang “menjual”. Ini yang dikritisi oleh Sarah Banet-Weiser dalam bukunya Empowered (2018)—bagaimana kekritisan dalam budaya pop seringkali ditelan oleh logika pasar, hingga hilang daya gigitnya.
Siapa yang Diwakili?
Karakter-karakter dalam Squid Game sangat beragam: ada pekerja migran dari Pakistan, pengungsi dari Korea Utara, mantan buruh tambang, hingga ibu rumah tangga yang terjebak utang. Tapi perlu dicatat, meski representasi ini terlihat inklusif, mereka tetap ditampilkan dalam posisi terpinggirkan. Identitas mereka hadir bukan untuk memberi mereka kuasa, tapi lebih sebagai simbol penderitaan global.
Menurut Stuart Hall, representasi bukan hanya soal “siapa yang muncul”, tapi juga soal “bagaimana dan dalam konteks apa” mereka ditampilkan (Hall, Representation: Cultural Representations and Signifying Practices, 1997). Dalam Squid Game, representasi itu bekerja untuk memperkuat gambaran tentang dunia yang penuh ketimpangan—tapi belum tentu memberi ruang pada suara mereka yang direpresentasikan.
Apakah Masih Ada Harapan?
Karakter utama Gi-hun memenangkan permainan. Tapi ia tidak menggunakan uangnya, tidak kembali ke kehidupan normal, dan justru memilih menghadapi sistem yang membuat hidup manusia jadi seperti taruhan. Di sinilah letak harapan, sekaligus ironi.
Squid Game tidak menawarkan solusi instan. Ia hanya memperlihatkan realitas pahit yang selama ini kita abaikan: bahwa dalam sistem yang digerakkan oleh kompetisi ekstrem dan eksploitasi, bahkan pemenang pun bisa merasa kalah. Seperti ditulis oleh Slavoj Žižek, dalam masyarakat sekarang, lebih mudah membayangkan akhir dunia ketimbang akhir dari sistem kapitalisme itu sendiri (Žižek, Living in the End Times, 2010).
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Serial ini mungkin tidak mengubah sistem, tapi bisa menjadi pintu masuk untuk membangun kesadaran. Bukan hanya tentang ekonomi, tapi tentang bagaimana kita sebagai masyarakat memandang hidup, keadilan, dan kemanusiaan.
Beberapa langkah kecil yang bisa dilakukan:
Mengembangkan literasi media: menyadari bahwa apa yang kita tonton bukan netral, tapi bagian dari produksi makna.
Mendukung karya dari komunitas akar rumput: suara-suara yang biasanya tak terdengar perlu panggung.
Mempertanyakan sistem: mulai dari cara kerja, pendidikan, hingga industri hiburan—apa yang dilanggengkan, dan siapa yang diuntungkan?
Kesadaran kolektif ini mungkin tidak langsung menjatuhkan sistem, tapi bisa menjadi benih resistensi. Dan seperti dalam permainan, siapa tahu itu adalah awal dari kemenangan yang sebenarnya.
Referensi:
Gramsci, Antonio. Pilihan dari Catatan Penjara . Penerbit Internasional, 1971.
Hall, Stuart. Representasi: Representasi Budaya dan Praktik Penandaan . Sage, 1997.
Banet-Weiser, Sarah. Empowered: Feminisme Populer dan Misogini Populer . Duke University Press, 2018.
Žižek, Slavoj. Hidup di Akhir Zaman . Buku Verso, 2010.
Choi, Jinhee. Kebangkitan Film Korea Selatan: Pembuat Film Lokal, Provokator Global . Wesleyan University Press, 2010.