Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah yang dengan rahmat dan kasih sayang-Nya kita masih diberikan kesempatan untuk bernapas, berpikir, dan merenung. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, sang pembawa risalah, sang pemimpin hijrah, yang perjuangannya menyinari hingga ke zaman ini, zaman di mana kita hidup dan sedang mencari terang di antara bayang-bayang dunia.
Saudaraku yang saya cintai karena Allah, hari ini izinkan saya, Ahmad Febryan, seorang mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam di IAIN Pontianak, menyampaikan sepenggal cahaya dari kisah perjalanan ruhani manusia yang dikenal dengan nama hijrah. Hijrah bukanlah sekadar kisah perpindahan Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Ia adalah konsep universal yang hidup dalam dada setiap manusia yang rindu perubahan, rindu ampunan, dan rindu cahaya.
Hijrah adalah nyala api kecil di hati kita, ketika kita mulai sadar bahwa hidup ini bukan hanya tentang berapa banyak uang yang kita kumpulkan, bukan tentang seberapa banyak pengikut media sosial yang kita punya, bukan tentang seberapa sering kita disanjung oleh manusia. Hijrah adalah tentang bangkit dari keterpurukan dosa, tentang membenahi langkah-langkah yang selama ini menjauh dari Allah. Ia adalah suara lirih di malam sunyi yang memanggil, “Ya Allah, aku ingin kembali.”
Aku ingin kita merenungkan makna sejati dari hijrah, bukan hanya sebagai peristiwa sejarah, tapi sebagai cermin kehidupan. Allah berfirman dalam QS. An-Nur ayat 35:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah adalah cahaya langit dan bumi.”
Cahaya yang dimaksud dalam ayat ini bukan sekadar sinar fisik, tapi petunjuk, ketenangan, kebeningan jiwa, dan hidayah. Ketika kita berhijrah, sejatinya kita sedang mencari kembali cahaya itu. Mungkin selama ini hati kita gelap karena banyaknya dosa yang menumpuk. Mungkin selama ini jiwa kita kosong karena terlalu sibuk mengejar dunia. Mungkin selama ini langkah kita berputar-putar dalam kebingungan, karena kita jauh dari Al-Qur’an, dari shalat yang khusyuk, dari sujud yang penuh air mata. Maka hijrah adalah langkah pertama menuju cahaya itu kembali.
Hijrah itu berat, karena ia adalah pertarungan antara ego dan iman. Di saat hati kita berkata ingin berubah, nafsu berkata, “Nanti saja.” Ketika kita ingin bangun malam untuk tahajud, setan membisikkan, “Tidurlah dulu.” Ketika kita ingin menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram, godaan datang bertubi-tubi. Tapi ketahuilah, justru di sanalah pahala hijrah berada. Setiap keringatmu untuk menjauhi maksiat, setiap airmatamu dalam istighfar, setiap detik perjuanganmu meninggalkan kebiasaan buruk, itu semua dicatat sebagai jejak emas hijrahmu.
Rasulullah ﷺ bersabda:
المُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.”
(HR. Bukhari)
Hijrah bukan hanya soal meninggalkan kampung halaman, tapi meninggalkan cinta yang salah, ambisi yang salah, teman yang menyeret ke jurang maksiat, dan dunia yang memperbudak kita. Hijrah adalah tentang keberanian. Berani untuk keluar dari zona nyaman dosa. Berani untuk dicaci karena berubah menjadi baik. Berani untuk menanggung kesendirian demi mendapatkan ridha Allah. Berani berkata, “Ya Allah, aku lelah dengan diriku yang lama, aku ingin kembali menjadi hamba-Mu yang bersih.”
Aku pribadi, sebagai mahasiswa yang sedang menapaki jalan ilmu dan dakwah, tahu benar betapa beratnya menjaga hati di era digital seperti ini. Semua serba cepat, semua ingin viral, semua ingin dikenal. Tapi di antara semua itu, kita harus bertanya: “Apakah Allah mengenalku?” Di antara sorak-sorai manusia, pernahkah kita mendengar panggilan lembut dari langit? Di antara semua notifikasi gadget, adakah kita sempat membaca firman-Nya walau satu ayat?
Hijrah dimulai dari kesadaran. Kesadaran bahwa hidup kita bukan milik kita. Bahwa jiwa ini perlu kembali. Bahwa waktu tak menunggu. Bahwa kematian bisa datang kapan saja. Maka jangan tunda. Jangan tunggu sempurna baru berhijrah. Karena kesempurnaan tidak datang sebelum kita melangkah. Bahkan para sahabat pun memulai hijrah dengan luka dan air mata, dengan keterbatasan, dengan rindu pada kampung halaman, tapi mereka tahu: hijrah adalah harga dari surga.
Dalam setiap sujud yang tulus, dalam setiap malam yang kita habiskan untuk menangis kepada-Nya, dalam setiap perasaan bersalah atas dosa masa lalu — itulah awal dari hijrah yang benar. Karena hijrah sejati tidak dilihat oleh manusia, tapi disaksikan oleh Allah. Ia tak butuh diumumkan, cukup dijaga dalam hati dan dibuktikan dengan amal.
Hijrah bukan garis akhir, tapi langkah pertama dari perjalanan yang panjang. Perjalanan menuju istiqamah. Dan istiqamah itulah yang sering kali lebih sulit dari hijrah itu sendiri. Tapi jangan takut. Karena Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya yang ingin kembali.
Lihatlah kisah sahabat-sahabat yang berhijrah. Lihatlah Umar bin Khattab yang dulunya membenci Islam, tapi ketika Allah membuka hatinya, ia menjadi pelindung Islam. Lihatlah Khalid bin Walid, sang pedang Quraisy, yang semula memusuhi Nabi, tapi akhirnya menjadi “Pedang Allah” yang tak terkalahkan. Mereka bukan manusia sempurna. Mereka adalah orang-orang yang mau berubah.
Kita pun bisa seperti mereka. Tak peduli seberapa kelam masa lalu kita, Allah membuka pintu hijrah bagi siapa pun yang mau mengetuknya. Tak peduli seberapa dalam kita tenggelam dalam dosa, Allah lebih dalam lagi rahmat-Nya. Karena Allah bukan Tuhan yang menilai masa lalu, tapi Tuhan yang melihat masa depan hamba-Nya.
Dan ketahuilah, dalam hijrahmu nanti, kamu akan kehilangan banyak hal. Tapi semua yang hilang akan diganti dengan sesuatu yang lebih mulia. Kamu mungkin kehilangan teman, tapi akan ditemukan oleh sahabat seiman. Kamu mungkin kehilangan kebebasan duniawi, tapi akan menemukan kedamaian yang tak tergantikan. Kamu mungkin merasa asing, tapi Allah menjanjikan:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
(QS. Al-Insyirah: 6)
Saudaraku, malam tak akan abadi. Fajar pasti datang. Begitu juga dengan hijrahmu. Gelap yang kau lalui akan berganti terang. Dan kelak, langkahmu menuju Allah akan membawamu ke tempat di mana kau akan berkata: “Sungguh, hijrahku tak sia-sia.”
Di akhir ceramah ini, aku ingin mengajak diriku dan kalian semua untuk berani hijrah. Bukan hanya hari ini. Tapi setiap hari. Setiap detik. Karena hidup adalah perjuangan panjang, dan hijrah adalah bagian dari perjalanan menuju husnul khatimah.
Semoga cahaya hijrah menyinari setiap langkah kita. Semoga Allah menjadikan kita bagian dari orang-orang yang diberi taufik untuk berubah. Dan semoga hidup kita, kelak, ditutup dengan kalimat yang paling agung:
لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Mahasiswa Prodi KPI
Ahmad febryan