Semarang – Manchester United terus jadi sorotan, bukan karena prestasi, tapi karena krisis identitas yang menghantui klub sejak diambil alih keluarga Glazer pada 2005. Dari klub rakyat, MU berubah menjadi korporasi penuh utang dan dividen, memicu kritik dari legenda klub hingga basis fans global.
Gary Neville, eks kapten sekaligus pundit Sky Sports, secara terbuka menyebut kepemilikan Glazer telah membentuk “budaya keserakahan, disiplin yang buruk, keragu-raguan, dan ketidakpastian,” empat racun yang menurutnya menghancurkan fondasi klub sejak awal musim 2023-24.
David Beckham juga tak tinggal diam. Ia mendesak Glazer hengkang karena tak kunjung membenahi utang klub dan stagnannya fasilitas. Sementara itu, Rene Meulensteen, eks asisten Sir Alex Ferguson, menilai Glazer tak punya kepedulian terhadap klub dan membandingkannya dengan pemilik Wrexham yang lebih terbuka dan terlibat langsung.
Klub Bola Rasa Korporasi, keluarga Glazer mengakuisisi MU dengan skema leveraged buyout—membeli klub menggunakan utang yang justru dibebankan ke klub itu sendiri. Hasilnya, utang melonjak dari nol jadi £540 juta saat itu, dan mendekati £1 miliar per 2024.
Beban bunga pun luar biasa. Laporan resmi di Bursa Efek New York menunjukkan MU telah membayar lebih dari £1 miliar untuk bunga utang sejak 2005. Meskipun klub meraup £661,8 juta per tahun dan sponsor mencapai £189,5 juta, operasional klub justru mengalami kerugian £113,2 juta.
Lebih ironis lagi, dividen tetap mengalir ke pemilik, Glazer tercatat menarik lebih dari £150 juta, meskipun klub tengah terpuruk secara finansial maupun prestasi.
Boros Belanja, Minim Gelar, Sejak kepergian Sir Alex Ferguson, Manchester United telah menunjuk tujuh manajer tetap dan membelanjakan lebih dari £1 miliar untuk transfer pemain. Namun, hanya segelintir trofi berhasil diraih: Piala FA 2016, Liga Europa 2017, Piala Liga 2023 dan Piala FA 2024.
Dalam waktu yang sama, rival seperti Manchester City memborong gelar utama dan membangun skuad tangguh dengan efisiensi yang lebih tinggi.
Perlawanan Suporter Tak Pernah Padam, puncak kemarahan fans terjadi pada 2021 saat ribuan suporter menyerbu Old Trafford, menyebabkan laga melawan Liverpool ditunda. Sejak itu, gelombang protes makin menguat dengan kampanye #GlazersOut yang konsisten menggema tiap pekan.
Kelompok seperti The 1958 dan Red Army Protest terus mengorganisir aksi damai dan boikot merchandise. Namun, keluarga Glazer tetap bergeming. Penjualan saham yang dilakukan pun hanya menambah kekayaan mereka, tanpa mengurangi kendali atas klub.
Dari Old Trafford ke Wall Street, Manchester United bukan lagi klub sepak bola biasa. Ia kini lebih menyerupai entitas bisnis global, tempat pemilik mendulang keuntungan meski performa klub tak sejalan. Stadion legendaris Old Trafford pun mulai tertinggal dibandingkan stadion modern milik rival.
Suara-suara dari mantan pemain, pelatih, dan fans makin lantang. Tapi selama MU tetap menjadi mesin uang, akankah ada perubahan nyata di dalam tubuh klub?