“Jangan tanyakan apa yang bisa bangsa berikan padamu, tapi tanyakan apa yang bisa kamu berikan untuk bangsamu.” – John F. Kennedy
Kutipan itu bisa jadi terlalu besar untuk mahasiswa. Tapi jika dibawa ke ruang lingkup kampus, ia tetap relevan. Terutama ketika banyak orang mulai sinis terhadap organisasi kampus, menuduhnya sebagai sarang pencitraan, ajang sibuk pura-pura, tempat rapat panjang yang berakhir nihil, dan ladang drama mahasiswa sok penting. Tapi tunggu dulu, benarkah itu masalah organisasinya, atau justru kita sendiri yang terlalu malas melihat sisi lain dari proses?
Kritik terhadap organisasi kampus itu sah. Tapi menyederhanakan organisasi sebagai kumpulan orang-orang “sok sibuk” adalah penghakiman sepihak yang malas berpikir. Memangnya lebih baik apa? Nongkrong sambil menyumpahi rapat yang tak selesai-selesai? Menonton dari jauh dan menertawakan orang-orang yang setidaknya berusaha menciptakan perubahan kecil?
Organisasi kampus adalah ruang belajar paling mentah, paling berisik, dan paling jujur. Di sana tidak ada dosen yang mengampuni keterlambatan, tidak ada nilai A yang bisa didapat tanpa kerja nyata. Ada ego, ada konflik, ada keputusan yang gagal. Tapi justru dari kekacauan itulah kita belajar tentang kepemimpinan yang bukan sekadar jabatan, tentang komunikasi yang bukan hanya basa-basi, dan tentang solidaritas yang lebih dari sekadar story Instagram.
Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menyebut bahwa “pendidikan sejati adalah praksis, refleksi dan aksi terhadap dunia untuk mengubahnya.” Organisasi adalah bentuk praksis itu. Di sana mahasiswa belajar action, bukan hanya komentar. Belajar memimpin, bukan cuma mengeluh. Dan ya, mungkin dalam prosesnya ada yang lebay, ada yang cari muka, tapi bukankah itu bagian dari proses pematangan?
Orang-orang yang menyebut organisasi hanya sibuk ngurus banner dan proposal lupa satu hal, banner itu dibuat untuk menyuarakan sesuatu, proposal itu dibuat untuk mewujudkan program nyata. Kalau kamu cuma duduk mengkritik dari tribun penonton, tentu semua tampak seperti sandiwara. Tapi coba turun ke lapangan, dan kamu akan sadar, dunia nyata jauh lebih rumit dari sekadar narasi sinis.
Soekarno pernah bilang, “Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Tapi bagaimana mungkin melahirkan 10 pemuda tangguh kalau kita terus menanamkan narasi bahwa organisasi hanya buang-buang waktu?
Kita boleh muak pada sistem yang toksik, pada kultur senioritas, pada rapat-rapat kosong. Tapi membuang organisasi kampus sama dengan membuang peluang kita menjadi manusia yang lebih siap menghadapi dunia. Bukan organisasi yang gagal. Yang gagal, adalah kita yang menyerah tanpa mencoba memperbaiki dari dalam.
Jadi, jika kamu melihat ada yang “sok sibuk” di organisasi, jangan buru-buru mencibir. Mungkin dia sedang belajar jadi pemimpin, sementara kamu… masih sibuk nyinyir di kolom komentar.