Di tengah derasnya arus digitalisasi dan keragaman budaya yang semakin dinamis, Indonesia membutuhkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan sosial. Salah satu kunci untuk membentuk generasi seperti itu adalah melalui moderasi beragama—sikap beragama yang adil, toleran, inklusif, dan menolak kekerasan.
Moderasi beragama bukanlah konsep asing dalam Islam. Al-Qur’an sendiri menyebut umat Islam sebagai ummatan wasathan (umat yang moderat) dalam QS. Al-Baqarah ayat 143. Sayangnya, nilai luhur ini sering terlupakan dalam praktik pendidikan agama di sekolah, terutama saat peserta didik lebih akrab dengan doktrin yang kaku atau bahkan informasi ekstrem dari media sosial.
Di sinilah kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki peran vital. Kurikulum bukan hanya kumpulan materi pelajaran, tetapi juga alat transformasi nilai dan karakter. Melalui kurikulum PAI yang dirancang secara kontekstual dan adaptif terhadap era digital, nilai-nilai moderasi beragama bisa diinternalisasikan secara lebih efektif kepada peserta didik.
Namun, tantangannya tidak sedikit. Masih banyak guru yang belum terlatih dalam mengintegrasikan nilai-nilai moderasi dalam proses pembelajaran. Banyak sekolah masih berorientasi pada hafalan materi agama, bukan pembentukan sikap. Di sisi lain, anak-anak terpapar konten keagamaan ekstrem di media digital tanpa bimbingan kritis. Akibatnya, lahir generasi yang kaku dalam memahami agama, bahkan mudah terprovokasi oleh narasi intoleransi.
Padahal, jika dimanfaatkan secara bijak, media digital justru bisa menjadi alat efektif untuk menanamkan nilai-nilai Islam yang damai dan inklusif. Video pembelajaran, aplikasi interaktif, hingga podcast islami bisa menjadi media pembelajaran yang menarik dan mencerahkan. Kuncinya ada pada bagaimana guru dan kurikulum mampu merangkul teknologi, bukan malah alergi terhadapnya.
Lebih jauh lagi, moderasi beragama harus hadir bukan hanya sebagai materi pelajaran, tetapi juga dalam cara guru mengajar, cara siswa berdiskusi, serta dalam atmosfer sekolah secara keseluruhan. Sekolah seharusnya menjadi laboratorium toleransi—tempat perbedaan dipahami, bukan dijauhi.
Maka, pembaruan kurikulum PAI di era digital harus diarahkan pada tiga hal utama:
Integrasi nilai-nilai moderasi secara sistematis dalam materi dan metode pembelajaran,
Peningkatan kapasitas guru dalam memahami dan mengajarkan moderasi,
Pemanfaatan teknologi digital untuk memperluas jangkauan dan daya tarik pendidikan Islam yang damai.
Pendidikan agama yang tidak adaptif hanya akan melahirkan generasi yang rapuh dalam menyikapi keberagaman. Sebaliknya, pendidikan agama yang kontekstual, toleran, dan melek digital akan melahirkan pemuda-pemudi Indonesia yang menjadi agen perdamaian di tengah masyarakat multikultural.
Sudah saatnya kita tidak hanya mengajarkan apa itu agama, tetapi juga bagaimana beragama dengan damai, ramah, dan penuh kasih sayang.
Oleh: Humaira Mahasiswi Jurusan Pendidikan Agama Islam, UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe