Bahasa Indonesia mungkin tidak selalu terdengar sebagai “bahasa internasional” di telinga banyak orang. Namun, di ruang-ruang kelas BIPA yang tersebar di berbagai negara, ada begitu banyak wajah yang justru datang dengan ketertarikan kuat untuk mempelajarinya. Mereka bukan hanya peserta kursus, tetapi individu yang membawa latar belakang, motivasi, dan persoalan hidup yang berbeda, dan pada akhirnya pulang dengan pengalaman yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Dari percakapan-percakapan sederhana hingga interaksi sosial yang penuh kehangatan, mereka menemukan bahwa belajar bahasa Indonesia bukan sekadar menguasai struktur atau kosakata, tetapi proses memahami manusia, budaya, dan diri mereka sendiri. Karena itu, tulisan ini mencoba membaca ulang pengalaman tersebut, bukan hanya sebagai rangkaian cerita, tetapi sebagai petunjuk penting tentang bagaimana pebelajar asing sesungguhnya memaknai kehadiran bahasa Indonesia dalam hidup mereka, sebuah proses belajar yang jauh lebih emosional, personal, dan dinamis daripada yang sering kita bayangkan.
Mengapa Mereka Jatuh Cinta pada Bahasa Kita?
Pertanyaan “mengapa mereka belajar bahasa Indonesia?” sering terdengar sederhana. Namun ternyata, jawabannya jauh lebih kompleks daripada alasan-alasan formal yang biasanya kita bayangkan. Bagi banyak pebelajar asing, keputusan itu tidak berhenti pada kebutuhan akademik atau tuntutan program studi, tetapi tumbuh dari keinginan untuk memahami Indonesia secara lebih intim. Bahasa bagi mereka bukan sekadar kumpulan aturan tata bahasa, tetapi sebuah jalan untuk mendekat, untuk merasa terhubung dengan lingkungan sosial yang mereka temui sehari-hari. Karena itu, motivasi mereka sering kali muncul bukan dari ruang kelas, tetapi dari interaksi kecil yang memberi makna, mulai dari sapaan ramah, bantuan spontan, atau undangan makan yang menghangatkan.

Dalam berbagai penuturan narasumber BIPA, terlihat jelas bahwa banyak dari mereka justru jatuh cinta pada kehangatan masyarakat Indonesia, cara kita menyapa orang asing, cara kita menanggapi kesulitan mereka, atau keramahan yang terasa tulus sejak pertemuan pertama. Dari situlah bahasa Indonesia mendapatkan ruang dalam hidup mereka. Proses belajar terjadi bukan karena kewajiban, tetapi karena adanya rasa diterima dan keinginan untuk membalas keramahan itu melalui bahasa yang sama. Dengan kata lain, mereka belajar bukan hanya karena “perlu”, tetapi karena menemukan sesuatu yang membuat mereka ingin terlibat lebih jauh, lebih dekat, dan lebih menyatu dengan budaya yang mereka tinggali.
Konsep ini sangat selaras dengan Integrative Motivation yang diperkenalkan Gardner & Lambert (1972). Menurut teori ini, seseorang akan lebih termotivasi mempelajari bahasa ketika ia ingin memahami budaya, berinteraksi secara otentik, dan menjadi bagian dari komunitas penuturnya. Pengalaman narasumber BIPA menunjukkan bahwa motivasi semacam ini memang bekerja kuat: kehangatan sosial Indonesia menjadi salah satu alasan paling emosional dan paling jujur mengapa mereka memilih bahasa kita dibanding bahasa lain yang secara global mungkin lebih populer.
Titik Awal yang Sederhana: Ketertarikan yang Tidak Direncanakan
Menariknya, banyak pebelajar asing tidak pernah menargetkan diri untuk mempelajari bahasa Indonesia sejak awal. Mereka datang dengan rencana hidup yang sama sekali tidak berkaitan dengan BIPA, namun sebuah peristiwa kecil, bertemu teman Indonesia, terlibat dalam kegiatan kampus, mendengar musik Indonesia, atau sekadar menemukan bahwa orang Indonesia ramah diajak bicara. Narasumber pada refleksi pertemuan kedua juga mengatakan hal serupa, ia awalnya hanya mencoba-coba, tetapi tanpa disadari mulai jatuh cinta pada makanan Indonesia, tarian tradisional, hingga pemandangan alam yang ia kunjungi. Ketidaksengajaan itulah yang kemudian berubah menjadi ketertarikan yang stabil.
Titik awal yang sederhana ini memperlihatkan bahwa motivasi belajar bahasa tidak selalu muncul dari rencana besar. Justru, motivasi yang tumbuh dari pengalaman sehari-hari, dari percakapan spontan dan interaksi sosial yang hangat sering kali menjadi fondasi yang lebih kuat. Zoltán Dörnyei (2001) menyebut fase ini sebagai pre-actional stage, yaitu tahap ketika motivasi masih berupa rasa penasaran dan dorongan kecil yang belum terstruktur. Namun, justru pada fase awal inilah arah perjalanan belajar ditentukan. Begitu mereka mulai hidup berdampingan dengan bahasa Indonesia, melihat senyum orang-orang di pasar, mendengar sapaan yang terasa tulus, dan mencicipi budaya yang mereka temui, motivasi itu berkembang menjadi komitmen yang lebih dalam.

Landasan Personal: Bahasa sebagai Ruang Rasa dan Pengalaman
Dari berbagai pengalaman yang muncul, salah satu hal yang paling mencolok adalah bahwa landasan belajar BIPA ternyata tidak sesederhana “ingin tahu bahasa baru”. Banyak pebelajar asing memulai pembelajaran bukan karena target akademik, tetapi karena kebutuhan emosional untuk merasa nyaman dan diterima di lingkungan baru. Mereka ingin memahami percakapan sederhana di warung, merespons sapaan tetangga, atau sekadar menghindari rasa canggung ketika berada di tengah budaya yang asing. Dengan kata lain, bahasa menjadi jembatan agar kehidupan sehari-hari tidak terasa seperti ruang yang harus terus ditebak.
Dalam proses ini, bahasa berubah menjadi ruang rasa. Ada yang merasa bangga saat pertama kali dipuji karena melafalkan kata “terima kasih” dengan benar. Ada pula yang merasa terharu karena seorang ibu warung memberi senyum hangat hanya karena ia mencoba berbicara pelan-pelan. Pengalaman-pengalaman sederhana seperti ini menyentuh sisi manusiawi mereka, memberikan rasa dimengerti, dan membuat Indonesia terasa lebih dekat. Justru momen-momen kecil inilah yang menjadi fondasi motivasi jangka panjang; mereka tidak datang dari kurikulum, tetapi lahir dari interaksi sehari-hari.
Kedalaman pengalaman ini sangat sejalan dengan Teori Humanistik Carl Rogers (1969), yang menegaskan bahwa belajar yang paling bermakna adalah belajar yang berangkat dari kebutuhan personal dan pengalaman autentik. Rogers menempatkan perasaan aman, kebebasan berekspresi, dan hubungan emosional sebagai inti pembelajaran. Jika kita melihat perjalanan banyak pebelajar BIPA, mereka tidak hanya mempelajari struktur gramatika atau kosakata; mereka sedang membangun rasa memiliki dan menciptakan “rumah kecil” melalui bahasa. Dalam arti tertentu, setiap kata yang mereka pelajari bukan sekadar simbol linguistik, melainkan bagian dari upaya mereka menemukan tempat pulang di tanah yang jauh dari rumah asalnya.
Masa Depan di Depan Mata: Ketika Bahasa Menjadi Jalan Karier
Walaupun banyak motivasi awal bersifat emosional atau berangkat dari pengalaman budaya, tujuan profesional tetap menjadi bagian penting dalam perjalanan para pebelajar asing. Setelah melewati fase adaptasi dan kedekatan emosional, mereka mulai melihat bahasa Indonesia sebagai sebuah peluang konkret. Beberapa ingin menjadi penerjemah, sebagian tertarik menjadi pengajar, ada yang ingin menekuni penelitian lintas budaya, dan ada pula yang memanfaatkan kemampuan berbahasa Indonesia untuk melanjutkan pendidikan hingga jenjang magister atau doktoral. Pada titik ini, bahasa bukan lagi sekadar alat untuk memahami percakapan sehari-hari, tetapi sudah berubah menjadi bagian dari strategi hidup mereka.
Dalam banyak pengalaman narasumber BIPA, keinginan berkarier di bidang bahasa bahkan menjadi salah satu tujuan jangka panjang. Ketika seseorang mengatakan ingin menjadi penerjemah atau mengajar bahasa Indonesia di negaranya, hal itu menunjukkan bahwa pembelajaran BIPA telah memasuki dimensi yang lebih serius. Bahasa Indonesia tiba-tiba menjadi modal sosial dan profesional yang bernilai. Tidak sedikit juga yang menyadari bahwa memahami bahasa berarti memahami cara berpikir masyarakatnya, sebuah keterampilan penting untuk bekerja dalam konteks lintas budaya.
Pada fase inilah motivasi yang dijelaskan oleh Zoltán Dörnyei (2001) menjadi sangat relevan. Proses belajar mereka telah bergerak dari tahap pre-actional—yang awalnya hanya sekadar penasaran—ke tahap actional, ketika mereka mulai merancang strategi belajar, memilih lingkungan pergaulan yang mendukung, dan menetapkan target kemampuan tertentu. Pada akhirnya, mereka memasuki tahap post-actional, yaitu tahap di mana mereka menilai sejauh mana kemampuan bahasa Indonesia dapat membuka jalan baru dalam hidup mereka. Evaluasi diri seperti inilah yang membuat para pebelajar semakin sadar bahwa kemampuan bahasa yang mereka bangun bukan semata-mata untuk saat ini, tetapi juga untuk masa depan yang mereka bayangkan.
Dengan demikian, motivasi belajar BIPA terlihat sebagai sesuatu yang dinamis—bergerak dari pengalaman emosional, berkembang menjadi pemahaman akademik, lalu mengkristal sebagai pilihan karier. Bahasa Indonesia membuka cakrawala baru, menawarkan peluang yang sebelumnya tidak pernah mereka pikirkan, dan mempertemukan mereka dengan pengalaman yang memperkaya hidup. Hal ini menunjukkan bahwa mempelajari bahasa Indonesia bukan hanya tentang kemampuan linguistik, tetapi tentang membuka pintu menuju masa depan yang lebih luas. Bahasa akhirnya menjadi ruang baru, tempat mereka menanamkan harapan, membangun hubungan, dan menyusun masa depan yang mungkin sekali berawal dari perjumpaan kecil di kelas BIPA.

Bahasa dan Budaya: Dua Hal yang Tidak Bisa Dipisahkan
Tidak ada pebelajar BIPA yang benar-benar belajar bahasa tanpa sekaligus bersentuhan dengan budaya. Setiap kata yang mereka pelajari selalu membawa konteks budaya yang menyertainya, ketika mereka mengucapkan “selamat makan”, mereka juga mempelajari cara masyarakat Indonesia menghormati kebersamaan di meja makan. Ketika mereka memahami kata “permisi”, mereka ikut belajar tentang sopan santun dan penghargaan terhadap ruang orang lain, sesuatu yang sangat melekat dalam kehidupan sosial kita. Bahkan kata sederhana seperti “kampung” mengantarkan mereka pada pemahaman lebih dalam tentang nilai kekeluargaan, gotong royong, dan identitas kolektif yang begitu kuat di Indonesia.
Hal ini sejalan dengan pandangan Gardner & Lambert (1972) mengenai integrative motivation, bahwa dorongan kuat untuk mempelajari bahasa muncul dari keinginan memahami nilai budaya dan berhubungan lebih dekat dengan penuturnya. Bahasa Indonesia hanyalah salah satu pintu, yang mereka cari adalah pengalaman hidup yang lebih otentik. Karena itu, tujuan program BIPA tidak cukup dipahami sebagai upaya menguasai kosakata atau kaidah tata bahasa semata. Tujuan utamanya adalah membuka ruang bagi pebelajar asing untuk memasuki dunia baru, sebuah ruang yang memadukan bahasa, nilai, identitas, dan kebiasaan masyarakat Indonesia.
Mengapa Kita Perlu Mendengar Cerita Mereka?
Akhirnya, esai ini ingin menegaskan bahwa memahami tujuan dan motivasi pebelajar asing jauh lebih penting daripada sekadar mengajar struktur bahasa. Pengalaman mereka memperlihatkan bahwa proses belajar BIPA bukanlah proses mekanis, tetapi perjalanan personal yang menyentuh banyak lapisan, mulai dari rasa ingin tahu, kebutuhan untuk diterima, keinginan memahami budaya, hingga impian membangun masa depan di Indonesia. Bahasa Indonesia bagi mereka bukan hanya sistem tata bahasa, tetapi rumah baru yang mulai mereka bangun melalui interaksi sehari-hari. Di balik setiap kata yang mereka pelajari, ada perasaan ingin terhubung dan keinginan untuk menghapus batas antara “aku” dan “mereka”.
Dengan mendengarkan cerita-cerita ini, kita belajar bahwa tujuan belajar bahasa tidak pernah bersifat tunggal ataupun statis. Sesuai dengan gagasan Dörnyei (2001), motivasi mereka bergerak dan berevolusi seiring pengalaman yang mereka alami, dari fase penasaran, menuju keterlibatan sosial yang semakin dalam, hingga membentuk tujuan akademik dan profesional. Perubahan tujuan ini menunjukkan bahwa pembelajaran bahasa kedua selalu melibatkan aspek emosional dan sosial yang tak bisa diabaikan. Ketika seseorang merasa dihargai dan didengarkan, seperti yang ditegaskan Rogers (1969), proses belajar itu akan menjadi lebih bermakna dan membentuk perubahan diri yang nyata.
Pada titik inilah kita memahami bahwa keindahan program BIPA tidak hanya terletak pada kemampuan mereka menyusun kalimat dengan benar, tetapi pada ruang perjumpaan antarbudaya yang tercipta sepanjang perjalanan. Bahasa Indonesia menjadi jembatan yang memungkinkan pebelajar asing melihat Indonesia dengan mata yang lebih dekat dan hati yang lebih hangat. Dan mungkin, dengan mendengar pengalaman mereka, kita sebagai penutur asli juga diajak untuk lebih mencintai bahasa kita sendiri, bukan karena kewajiban nasional, tetapi karena melihat bagaimana bahasa ini mampu mengubah hidup orang lain.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”









































































