Mengapa Gerakan Protes Sosial di Era Prabowo-Gibran Marak?
Sejak pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pada Oktober 2024, Indonesia memasuki babak baru dalam dinamika politik dan sosialnya. Namun, dalam kurun waktu singkat, berbagai gerakan protes sosial bermunculan di berbagai daerah. Dari demonstrasi mahasiswa hingga aksi masyarakat sipil, gelombang protes ini mencerminkan keresahan publik terhadap sejumlah kebijakan dan dinamika pemerintahan baru. Artikel ini mengulas faktor-faktor utama yang memicu maraknya gerakan protes sosial di era Prabowo-Gibran.
1. Kebijakan Ekonomi yang Kontroversial
Salah satu pemicu utama protes adalah kebijakan ekonomi yang dianggap kurang berpihak pada rakyat. Pemerintahan Prabowo-Gibran menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan janji kampanye, seperti program makan bergizi gratis yang menelan anggaran besar. Namun, implementasi program ini menuai kritik karena dianggap kurang matang dan membebani anggaran negara. Selain itu, wacana pemotongan anggaran di sektor pendidikan dan kesehatan untuk mendanai program prioritas memicu reaksi keras dari kalangan mahasiswa dan aktivis, yang melihatnya sebagai ancaman terhadap kesejahteraan sosial.
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% juga menjadi sorotan. Ketidakjelasan komunikasi publik mengenai kebijakan ini memicu kekhawatiran akan kenaikan harga barang dan jasa, yang pada akhirnya memengaruhi daya beli masyarakat. Ekonom dan masyarakat sipil menilai bahwa kebijakan ini memperburuk ketimpangan ekonomi, terutama di tengah pemulihan pasca pandemi.
2. Kekecewaan terhadap Janji Politik
Prabowo-Gibran memenangkan pemilu dengan janji-janji populis, seperti peningkatan kesejahteraan, industrialisasi, dan pemberantasan korupsi. Namun, dalam 100 hari pertama pemerintahan, banyak pihak merasa bahwa janji-janji tersebut belum terwujud secara substansial. Program-program besar sering kali dianggap lebih mengedepankan pencitraan ketimbang dampak nyata. Hal ini memicu kekecewaan, terutama di kalangan pemilih muda yang sebelumnya mendukung pasangan ini karena citra “pragmatis” dan “modern” yang mereka usung.
Selain itu, isu ketimpangan sosial, khususnya terkait kesetaraan gender dan perlindungan kelompok rentan, juga menjadi sorotan. Beberapa kalangan menilai bahwa pemerintahan baru belum menunjukkan komitmen kuat untuk mengatasi isu-isu ini, sehingga memicu aksi dari organisasi masyarakat sipil dan kelompok advokasi.
3. Kontroversi Politik dan Dinasti Politik
Pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden menuai kontroversi sejak awal, terutama karena perubahan aturan usia kandidat yang dianggap memihak. Banyak pihak melihat ini sebagai bentuk penguatan dinasti politik keluarga Joko Widodo, yang memicu ketidakpercayaan terhadap integritas demokrasi. Gerakan seperti “Adili Jokowi” yang muncul di berbagai daerah mencerminkan keresahan terhadap dugaan penyalahgunaan kekuasaan pada pemilu 2024, termasuk penggunaan sumber daya negara untuk memenangkan Prabowo-Gibran.
Protes ini tidak hanya menyasar Gibran, tetapi juga Prabowo, yang memiliki latar belakang militer dan pernah dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Bagi sebagian aktivis, kepemimpinan Prabowo membangkitkan kekhawatiran akan kembalinya gaya otoriter, meskipun pemerintahan baru berupaya menampilkan wajah yang inklusif.
4. Gaya Komunikasi Pemerintahan yang Kurang Efektif
Gaya komunikasi pemerintahan Prabowo-Gibran juga menjadi faktor pemicu protes. Pernyataan-pernyataan Prabowo yang dianggap tidak berdasar data, seperti terkait kebijakan ekonomi atau isu lingkungan, sering kali memicu kebingungan dan kritik. Sementara itu, “diamnya” Gibran dalam beberapa isu krusial dianggap sebagai ketidakmampuan untuk menjawab ekspektasi publik. Ketidaksinkronan antara janji dan realitas ini memicu persepsi bahwa pemerintahan kurang transparan dan responsif.
Media sosial memperkuat dinamika ini. Rendahnya literasi digital di kalangan masyarakat memudahkan penyebaran misinformasi, yang kemudian memicu protes spontan. Di sisi lain, aktivis memanfaatkan platform daring untuk mengorganisasi aksi, seperti gerakan “Indonesia Gelap” yang menyoroti kebijakan yang dianggap merugikan.
5. Reaksi terhadap Ketimpangan Sosial dan Lingkungan
Isu lingkungan juga menjadi pemicu protes. Pemerintahan Prabowo-Gibran dinilai belum menunjukkan ambisi kuat dalam menghadapi krisis iklim, meskipun ada janji untuk mempercepat target nol emisi. Kebijakan hilirisasi sumber daya alam, yang menjadi salah satu program unggulan, menuai kritik karena dianggap lebih menguntungkan korporasi ketimbang masyarakat lokal. Aksi protes dari kelompok lingkungan dan masyarakat adat pun meningkat, menuntut keadilan ekologis.
Selain itu, ketimpangan sosial, seperti kesenjangan antara perkotaan dan pedesaan, serta kurangnya perlindungan terhadap kelompok marginal, memicu gerakan sosial yang menuntut perubahan sistemik. Gerakan ini sering kali melibatkan kaum muda, yang merasa terpinggirkan oleh kebijakan yang lebih mengutamakan stabilitas ekonomi ketimbang keadilan sosial.
Kesimpulan
Maraknya gerakan protes sosial di era Prabowo-Gibran tidak terjadi dalam ruang hampa. Ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi, kekecewaan atas janji politik, kontroversi dinasti politik, gaya komunikasi yang bermasalah, serta isu ketimpangan sosial dan lingkungan menjadi pemicu utama. Protes ini mencerminkan semangat masyarakat untuk menuntut akuntabilitas dan keadilan, sekaligus tantangan bagi pemerintahan baru untuk membuktikan komitmennya kepada rakyat.
Bagi Prabowo-Gibran, gelombang protes ini adalah ujian awal untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam mendengar aspirasi publik dan mewujudkan perubahan yang dijanjikan. Tanpa langkah konkret untuk mengatasi akar masalah, gerakan sosial ini berpotensi terus berkembang, membentuk dinamika politik yang semakin kompleks di masa depan. (RS)