Lamongan adalah tanah yang kaya. Kaya tradisi, kaya alam, tapi juga kaya tantangan—terutama bagi perempuan muda yang sedang tumbuh dalam sistem yang belum sepenuhnya berpihak padanya. Di balik geliat pembangunan dan geliat sosial yang tampak di permukaan, masih ada realitas pahit yang tak boleh didiamkan: tingginya angka perkawinan anak di Lamongan.
Sebagai kader perempuan KOPRI, dan lebih spesifik lagi sebagai bagian dari bidang kaderisasi, kami tidak bisa menutup mata. Pernikahan dini bukan hanya soal usia. Ia soal pengetahuan yang terampas, potensi yang terputus, dan hak-hak perempuan yang tersandera dalam kebijakan dan budaya yang menormalisasi ketimpangan.
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyebutkan bahwa Lamongan masuk dalam daftar kabupaten dengan kasus perkawinan anak yang masih tinggi di Jawa Timur. Meskipun cenderung menurun beberapa tahun terakhir, kasus dispensasi kawin masih banyak diajukan ke pengadilan agama. Ringkasannya, 2022 (462 kasus Diska), 2023 (turun menjadi 307 Diska (-155 kasus, +-33%)), 2024 (turun lagi menjadi 234 kasus Diska (-73% kasus, 246 tercatat di PA)).
Penurunan angka tidak boleh membuat kita lengah. Di sinilah pentingnya peran KOPRI sebagai laboratorium kaderisasi perempuan. Kami tidak hanya bicara soal kuantitas perempuan yang hadir di forum-forum organisasi, tapi lebih dari itu: bagaimana memastikan bahwa setiap kader KOPRI tumbuh dengan kesadaran gender yang kuat, keberanian bersuara, dan ketangguhan melawan struktur ketidakadilan—termasuk ketidakadilan yang menyamar dalam bentuk “restu” terhadap pernikahan dini.
Kaderisasi bagi kami bukanlah kegiatan tahunan. Ia adalah proses terus-menerus yang berakar pada kenyataan sosial. Dalam setiap diskusi, pelatihan, hingga pendidikan formal nonformal yang kami jalankan, isu pernikahan anak harus menjadi agenda utama. Bukan hanya untuk diketahui, tapi untuk dilawan.
Karena kader KOPRI bukan hanya mereka yang hafal teori feminisme. Mereka adalah perempuan yang berdiri di tengah masyarakatnya dan berani bertanya: “Mengapa anak perempuan lebih cepat dikawinkan daripada diberi ruang belajar?” Mereka adalah perempuan yang tidak diam saat mendapati adik atau tetangganya putus sekolah karena harus menikah. Mereka adalah pengingat bahwa menjadi perempuan tak pernah berarti menyerah.
Kami paham, menolak perkawinan anak tidak bisa diselesaikan dengan jargon saja. Perlu kerja nyata. Maka, di Lamongan, kaderisasi KOPRI kami arahkan untuk membentuk mentalitas kader sebagai agen perubahan sosial—perempuan yang paham akar persoalan, dan berani masuk ke ruang-ruang keluarga, desa, dan kebijakan untuk memperjuangkan usia minimal perkawinan bukan sebagai angka, tapi sebagai hak dasar untuk tumbuh dan berkembang.
Di setiap jenjang kaderisasi, kami tekankan bahwa perempuan KOPRI bukan “pelengkap forum”, bukan pula sekadar simbol. Ia adalah penentu arah gerakan. Maka, ketika persoalan seperti pernikahan anak masih terjadi di desa-desa kita, itu berarti tugas kita belum selesai.
Kami tidak ingin mendengar lagi cerita tentang anak perempuan yang disuruh menikah hanya karena dianggap “sudah cukup umur” secara biologis. Kami ingin mendengar cerita tentang perempuan muda yang lulus kuliah, berorganisasi, dan kembali ke kampung halamannya sebagai penggerak perubahan. Dan itu hanya bisa dicapai jika kaderisasi KOPRI benar-benar mengakar: menyentuh realita, mengasah nalar, dan membentuk keberanian.
KOPRI hari ini harus berani berdiri tegak, di tengah budaya yang masih memihak patriarki dan sistem sosial yang belum adil. Kita harus buktikan bahwa organisasi ini tidak hanya membentuk perempuan yang paham struktur, tetapi juga mampu meruntuhkan struktur yang menindas.
Perkawinan anak adalah bentuk kekerasan struktural yang masih dilegalkan oleh budaya dan abai oleh negara. Tapi sebagai kader KOPRI, kita punya satu hal yang tidak bisa dirampas oleh siapapun: kesadaran.
Dan dengan kesadaran itulah kita akan terus menjaga asa di tengah realita.
Ditulis Oleh: Nailul Barokah (Bidang Kaderisasi KOPRI PC PMII Lamongan)