- Yogyakarta, 27 April 2025 – Langit Yogyakarta yang cerah pada hari Ahad kemarin menyambut dengan hangat semangat dan antusiasme mahasiswa Bima dan Dompu dalam Festival Pawai Budaya Bima. Acara yang digelar dari kantor DPRD Yogyakarta hingga titik Nol Kilometer itu tak hanya menyuguhkan pawai yang meriah, tetapi juga menghidupkan kembali kenangan akan budaya luhur yang telah ada sejak zaman nenek moyang.
Para peserta pawai yang sebagian besar merupakan mahasiswa Bima, Dompu yang menetap di Yogyakarta, melangkah bersama, mengenakan pakaian adat yang kaya akan simbol-simbol sejarah dan kehidupan. Mereka menampilkan tarian, musik tradisional, dan berbagai seni budaya yang menggugah siapa saja yang menyaksikannya. Namun, lebih dari sekadar hiburan, acara ini menjadi jembatan yang menghubungkan hati mereka dengan akar budaya yang telah lama tertanam di tanah kelahiran.
Tujuan dari acara ini sederhana, namun mendalam: untuk mengingatkan kembali betapa pentingnya merawat budaya asli Bima yang mungkin mulai terlupakan oleh sebagian generasi muda. “Festival ini adalah cara kami untuk mengenang apa yang telah diwariskan oleh sesepuh kami,” ujar Fadli, salah satu peserta pawai. “Selain itu, ini adalah kesempatan untuk saling mengenal sesama perantau Bima di Yogyakarta. Kami datang dari berbagai latar belakang, tapi di sini, di tanah ini, kami bersatu.”
Pawai budaya ini bukan hanya sebuah ajang ekspresi seni semata. Lebih dari itu, ia menjadi ruang bagi para mahasiswa untuk mempererat silaturahmi, membangun kedekatan antar sesama, dan menciptakan kenangan yang kelak akan dikenang. Di sela-sela parade yang penuh warna, tawa dan sapaan antar sesama perantau Bima terasa begitu hangat, menyatu dalam satu rasa: kerinduan akan kampung halaman yang terbalut dalam kebanggaan akan budaya mereka.
Sesampainya di titik Nol Kilometer, suasana semakin hidup. Di sini, berbagai organisasi daerah Bima dan Dompu menampilkan pertunjukan khas daerah, mengajak semua yang hadir untuk sejenak terhanyut dalam lantunan musik dan gerakan tari yang kaya akan makna. Setiap gerakan dan irama seolah bercerita tentang kehidupan, perjuangan, dan harapan para pendahulu mereka.
Acara ini, meskipun sederhana, memberi pesan yang mendalam: pentingnya melestarikan budaya di tengah derasnya arus globalisasi. Mahasiswa Bima yang tinggal di Yogyakarta kini menjadi penerus yang tak hanya mengejar ilmu pengetahuan, tetapi juga merawat dan menjaga tradisi yang telah diwariskan dengan penuh cinta oleh generasi sebelumnya. Sebuah generasi yang, meski jauh dari tanah kelahiran, tetap berdiri teguh membawa kebanggaan budaya Bima di tanah yang jauh.
“Di sini kami bisa lebih mengenal satu sama lain, berbagi cerita tentang tanah kelahiran kami, dan merayakan kebudayaan yang menyatukan kami,” tambah Fadli, saat acara berlangsung. Suasana penuh keakraban ini tidak hanya dirasakan oleh para peserta, tetapi juga oleh masyarakat Yogyakarta yang turut menyaksikan.
Festival Pawai Budaya Bima 2025 ini mengingatkan kita semua tentang pentingnya menghargai dan merawat warisan budaya, serta tentang bagaimana perantau dari berbagai daerah bisa tetap menjalin hubungan dan mempererat persaudaraan di tanah yang jauh. Pesan yang ditinggalkan oleh acara ini jelas: budaya adalah jembatan yang menyatukan kita, meski jarak dan waktu terus berlalu.
Oleh: Alfin syahrin