SANGGAU — Di sudut-sudut kota yang bernafas tenang di Sanggau Kalimantan Barat, warung kopi bukan sekadar tempat ngaso. Ia adalah jantung percakapan, ruang dialog antar warga, dan kadang-kadang—secara mengejutkan—forum kebijakan informal.
Di Sanggau, ritual ngopi memiliki peran sosial yang jauh melampaui kopi itu sendiri. Di tengah aroma robusta lokal, pejabat daerah, tokoh adat, pemuda digital, dan ibu rumah tangga kerap bersua dan berdiskusi tentang isu-isu besar maupun remeh yang menyentuh hidup mereka. Dari usulan program desa hingga cerita kelakar, semua melebur dalam hangatnya cangkir kopi dan kayu bangku yang bersahaja.
“Di warung kopi, kami bisa bicara soal pembangunan, adat, bahkan keluh kesah kehidupan—tanpa formalitas,” tutur Teli, salah satu pengunjung warung di kawasan Ilir Kota
Lebih dari itu, identitas visual warung kopi di Sanggau memancarkan pesona lokal. Ornamen Daerah, poster penuh pesan lucu, hingga papan menu bergaya retro menjadi daya tarik tersendiri. Hal ini menjadikan warung kopi tak hanya tempat ngopi, tapi juga ruang branding budaya yang otentik.
Bahkan beberapa komunitas lokal mulai melihat potensi warung kopi sebagai arena edukasi. Diskusi tentang geospasial, lingkungan hidup, hingga literasi kebijakan kini kerap digelar di ruang sederhana nan egaliter ini.
“Kami ingin ngopi tidak hanya soal santai, tapi juga menjadi gerakan literasi sosial,” ungkap Dani, aktivis muda dari Sanggau Kreatif.
Ngopi di Sanggau membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari hal sederhana. Bahwa sebuah ruang kecil bisa menampung aspirasi besar. Bahwa budaya bisa tetap hidup—dalam aroma kopi dan tawa warga.