Stres kini telah menjadi bagian yang tak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia. Stres sendiri muncul ketika terdapat tekanan atau tuntutan dari lingkungan maupun dalam diri manusia itu sendiri lebih besar melebihi kemampuan individu tersebut mengatasinya. Dalam kondisi tersebut, tubuh secara ototmatis menghasilkan hormon stress seperti hormon kortisol dan adrenalin. Hal tersebutlah yang pada akhirnya memunculkan respons fisik seperti gangguan tidur maupun respons psikologis seperti gelisah hingga penurunan konsentrasi.
Stres dapat muncul dalam bentuk konflik internal maupun eksternal yang kemudian dipersepsikan sebagai sesuatu yang mengancam. Namun pada kondisi tertentu, stres dapat bersifat positif artinya stres dapat memberikan dorongan atau motivasi seseorang untuk memperoleh hasil yang dinginkan. Hal tersebut berhubungan dengan bagaimana cara seseorang dalam menghadapi konflik tersebut. Ketika seseorang menyadari bahwa terdapat ketidakseimbangan antara tuntutan dan kapasitas dalam dirinya, secara otomatis individu tersebut akan melakukan akan mencari cara untuk menstabilkannya. Di sinilah coping mechanism mulai berperan.
Coping mechanism atau mekanisme koping adalah cara yang digunakan individu dalam menyelesaikan masalah, mengatasi perubahan yang terjadi, dan situasi yang mengancam, baik secara kognitif maupun perilaku. Koping adalah proses dimana seseorang mencoba untuk mengatur perbedaan yang diterima antara keinginan (demands) dan pendapatan (resources) yang dinilai dalam suatu keadaan yang penuh tekanan, koping dapat diarahkan untuk memperbaiki atau menguasai suatu masalah dapat juga membantu mengubah persepsi atas ketidaksesuaian, menerima bahaya, melepaskan diri atau mengindari situasi stres (Nasir dan Muhith, 2011).
Proses koping tersebut tidak selalu bertujuan untuk menyelesaikan masalah secara langsung. Tak jarang, seseorang menggunakan coping mechanism ini untuk mengubah cara pandang terhadap tekanan baik dari lingkungan maupun dari dalam diri, menekan keadaan yang tidak dapat diubah, atau sebagai bentuk pengalihan dari sumber stress untuk menjaga kondisi emosional. Semua respons tersebut merupakan bentuk dari respons tubuh terhadap ketidakseimbangan antara tekanan yang dihadapi dan kemampuan diri dalam menghadapi tekanan tersebut.
Setiap individu memiliki cara tersendiri untuk mengalihkan tekanan-tekanan tersebut. Pada sebagian orang yang memiliki kemampuan regulasi emosi yang baik, stres dapat dikelola melalui coping mechanism adaptif seperti bersosialisasi untuk mendapatkan dukungan sosial, berolahraga, ataupun melakukan penyelesaian masalah atau konflik secara langsung. Namun bagi mereka yang mengalami trauma emosional ataupun mereka yang tidak mendapatkan akses dukungan dari orang-orang terdekat, stres yang ada justru memicu mekanisme koping maladaptif. Ketika keadaan semakin memburuk dan hal tersebut tidak seimbang dengan kemampuan individu untuk mengatasinya serta terlebih lagi individu tersebut tidak mendapatkan dukungan fisik maupun psikologis, mereka cenderung mencari jalan pintas untuk mengatasi ketidakseimbangan tersebut.
Salah satu bentuk coping mechanism maladaptif yang sering muncul adalah dengan melukai diri sendiri (self-harm) atau Non-Suicidal Self-Injury (NSSI). Bentuk coping mechanism maladaptif tersebut muncul sebagai cara yang dianggap mudah untuk mengalihkan perhatian individu tersebut dari stress atau tekanan psikologis yang dirasakan menuju luka fisik yang menurut mereka dapat dikontrol secara nyata. Dengan kata lain, self-harm umumnya dilakukan bukan untuk mengakhiri hidup, melainkan menjadi “pelampiasan” untuk mengelola tekanan psikologis yang dirasakan.
Namun, tak jarang perilaku NSSI tersebut tidak hanya terjadi beberapa kali saja, akan tetapi terus berulang dan berubah menjadi kecanduan bahkan kebutuhan atau dapat dikenal juga sebagai behavioral addiction. Hal tersebut berhubungan dengan bagaimana otak memproses rasa sakit. Rasa sakit tersebut tidak hanya diartikan sekadar sensasi, tetapi juga melibatkan proses neurobiologis kompleks, seperti transduksi, transmisi, persepsi, modulasi, dan sensitisasi. Pada tahap transduksi, rangsangan berbahaya seperti sayatan pada permukaan kulit diubah oleh nociceptor menjadi sinyal listrik. Sinyal ini kemudian dikirim melalui sumsum tulang belakang menuju otak dalam proses transmisi. Di otak, sinyal nyeri dipersepsi dan dievaluasi oleh berbagai area seperti thalamus, somatosensory cortex, anterior cingulate cortex (ACC), dan prefrontal cortex. Mekanisme modulasi diatur oleh jalur desenden yang dapat memperkuat atau menurunkan intensitas nyeri.
Lalu, bagaimana self-harm atau Non-Suicidal Self-Injury (NSSI) ini dapat berubah menjadi behavioral addiction? Proses yang telah dijelaskan di atas ternyata berhubungan dengan sistem reward. Pada konteks tersebut, ketika seseorang menyakiti dirinya sendiri hingga memunculkan luka fisik, tubuh melepaskan opioid endogen yang dikenal sebagai zat pereda nyeri alami seperti endorfin sebagai respons alami untuk meredakan nyeri yang dihasilkan. Selain itu, sistem saraf secara otomatis menghasilkan senyawa di otak sejenis “chemical reward” seperti dopamin terutama melalui jalur Ventral Tegmental Area (VTA) menuju Nucleus Accumbens (NAc) yang kemudian kedua hal tersebut menciptakan perasaan nyaman, lega, atau pelepasan emosional sementara. Dari situlah sebagian orang merasa sensasi fisik dari “rasa sakit” yang nyata tersebut dianggap sebagai “obat” untuk dapat menenangkan psikologis orang yang sebelumnya merasa hampa akibat dari tekanan yang telah lama berlangsung.
Di sisi lain, stres kronis juga melemahkan fungsi prefrontal cortex (PFC) yang berperan dalam kontrol impuls dan pengambilan keputusan. Hal tersebutlah yang menyebabkan seseorang menjadi semakin sulit menahan dorongan kompulsif dan self-harm menjadi respons otomatis terhadap tekanan emosional tersebut. Ketika perilaku tersebut terus diulang, otak akan beradaptasi dengan cara menjadi lebih responsif dan sensitif, sekaligus mulai membentuk toleransi terhadap rangsangan serupa. Ketika otak menjadi lebih responsif dan sensitif, individu menjadi lebih reaktif terhadap tekanan sehingga dorongan untuk melukai diri menjadi lebih besar. Apabila hal tersebut terus dilakukan, efek kelegaan akibat dari self-harm tersebut menjadi menurun sehingga seseorang akan meningkatkan intensitas dan frekuensi self-harm untuk memperoleh efek yang sama. Menurut penelitian neuroimaging, dengan adanya peningkatan intensitas dan frekuensi self-harm tersebut dapat mengubah aktivitas dan konektivitas otak pada seseorang dengan Non-Suicidal Self-Injury (NSSI), terlebih pada bagian sistem reward dan regulasi emosi. Hal tersebut menguatkan pandangan bahwa perilaku ini melibatkan sistem reward, kontrol diri, dan memori emosional. Hal tersebut memiliki mekanisme yang sama seperti halnya adiksi. Dalam konteks tersebut, self-harm telah berubah menjadi kebutuhan neuropsikologis seseorang.
Dengan demikian, self-harm dapat dipahami sebagai coping maladaptif yang bertransformasi menjadi perilaku adiktif melalui interaksi antara stres emosional, regulasi emosi yang buruk, sistem nyeri, sistem reward otak, dan lemahnya kontrol diri. Oleh karena itu, penanganan self-harm tidak cukup hanya dengan pertolongan krisis jangka pendek, tetapi membutuhkan pendekatan jangka panjang seperti pada penanganan adiksi yaitu dengan melakukan terapi psikologis, pemulihan trauma, penguatan coping adaptif, serta dukungan sosial yang berkelanjutan.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”





































































