Pekerja Perempuan Berhak Aman: Mengapa Tempat Kerja Masih Penuh Ancaman?
Isu perlindungan pekerja perempuan di Indonesia masih menjadi persoalan serius yang belum terselesaikan. Banyak pekerja perempuan menghadapi diskriminasi, pelecehan, hingga kekerasan di tempat kerja, baik secara fisik maupun verbal. Meski regulasi ketenagakerjaan telah mengatur hak dan perlindungan bagi pekerja perempuan, praktik di lapangan menunjukkan masih banyak pelanggaran yang terjadi. Masalah ini bukan sekadar urusan individu, tetapi juga menyangkut kesejahteraan sosial dan keadilan bagi seluruh pekerja.
Ketika perempuan merasa tidak aman di tempat kerja, produktivitas menurun, kesejahteraan terganggu, dan ketimpangan gender semakin mengakar. Oleh karena itu, memastikan tempat kerja yang aman bagi perempuan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga perusahaan dan masyarakat luas. Dalam tulisan ini, penulis berpendapat bahwa upaya perlindungan pekerja perempuan di Indonesia masih lemah dan belum berjalan dengan efektif. Peraturan yang ada perlu ditegakkan secara lebih ketat, sementara perusahaan harus mengambil langkah konkret untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan bebas dari ancaman.
Pekerja perempuan di Indonesia masih menghadapi berbagai ancaman yang menghambat hak dan kesejahteraan mereka. Bentuk ancaman ini mencakup diskriminasi dalam penerimaan kerja, kesenjangan upah, pelecehan seksual, hingga eksploitasi tenaga kerja. Berdasarkan data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2023, terdapat 500 kasus kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja yang masuk ke pengaduan Komnas Perempuan sepanjang 2023. Angka ini menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang seharusnya menjadi tempat produktif justru masih penuh ancaman bagi pekerja perempuan.
Salah satu bentuk diskriminasi yang paling umum adalah kesenjangan upah antara pekerja laki-laki dan perempuan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata upah pekerja perempuan di Indonesia lebih rendah dibandingkan laki-laki, meskipun memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman yang setara. Hal ini mencerminkan adanya bias gender yang masih melekat dalam dunia kerja, di mana perempuan sering kali dianggap sebagai tenaga kerja sekunder yang tidak layak menerima upah setara. Selain itu, pelecehan seksual di tempat kerja masih menjadi isu yang sulit diatasi. Studi yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa 75,93% perempuan pekerja pernah mengalami pelecehan di tempat kerja, baik secara verbal, fisik, maupun psikologis. Sayangnya, banyak kasus yang tidak dilaporkan karena korban takut kehilangan pekerjaan atau tidak mendapatkan dukungan dari perusahaan.
Contoh kasus nyata yang mencerminkan lemahnya perlindungan pekerja perempuan terjadi di PT Aice. Perusahaan produsen es krim ini dilaporkan melakukan pelanggaran hak tenaga kerja, khususnya terhadap buruh perempuan. Pada tahun 2019, di PT Aice telah terjadi 14 kasus keguguran dan 6 kematian bayi baru lahir pada pekerja perempuan akibat beban kerja yang berat, sementara hak cuti haid dan kehamilan tidak diberikan secara layak. Kondisi kerja yang tidak manusiawi ini menunjukkan bahwa masih banyak perusahaan yang mengabaikan kesehatan dan keselamatan pekerja perempuan demi keuntungan bisnis.
Kasus lainnya terjadi di PT Sumalindo Lestari Jaya yang mengungkap adanya diskriminasi terhadap buruh perempuan, termasuk stereotip negatif dan marginalisasi. Buruh perempuan sering dianggap kurang kompeten dibandingkan laki-laki, yang memengaruhi kesempatan mereka untuk mendapatkan posisi atau promosi tertentu. Selain itu, kasus pelecehan seksual juga dilaporkan, namun seringkali sulit mendapatkan keadilan karena kurangnya mekanisme pengaduan yang efektif. Meskipun terdapat berbagai peraturan seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 8 Per-04/Men/1989 tentang Syarat-syarat Kerja Malam dan Tata Cara Mempekerjakan Pekerja Perempuan pada Malam Hari, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep. 224/Men/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00, implementasinya masih jauh dari harapan.
Banyak perusahaan yang belum memiliki kebijakan perlindungan yang jelas, serta minimnya mekanisme pengaduan yang efektif bagi korban pelecehan atau kekerasan di tempat kerja. Selain itu, lemahnya penegakan hukum juga menjadi faktor utama mengapa kasus-kasus pelanggaran hak pekerja perempuan terus berulang. Ketidaktegasan dalam memberikan sanksi kepada perusahaan yang melanggar aturan menyebabkan banyak pelaku tetap bebas beroperasi tanpa perbaikan kondisi kerja. Untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi pekerja perempuan, diperlukan solusi konkret yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, perusahaan, dan masyarakat.
Salah satu langkah utama yang dapat dilakukan adalah dengan memperkuat regulasi dan penegakan hukum. Meskipun sudah terdapat berbagai peraturan perundang-undangan maupun konvensi internasional untuk melindungi pekerja perempuan, hingga kini belum semua hak mereka terpenuhi. Pemerintah harus meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan melalui inspeksi rutin dan sanksi tegas bagi pelanggar. Perusahaan juga memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan lingkungan kerja yang bebas dari diskriminasi dan pelecehan. Kebijakan perusahaan harus mencakup aturan ketat terkait pelecehan seksual, dengan mekanisme pengaduan yang jelas dan perlindungan bagi korban. Selain itu, perusahaan harus memberikan hak-hak dasar pekerja perempuan, seperti upah yang setara, fasilitas ruang laktasi, serta cuti haid dan kehamilan tanpa ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).
Selain kebijakan internal, edukasi kepada pekerja juga sangat penting. Banyak pekerja perempuan yang belum sepenuhnya memahami hak-haknya sehingga rentan mengalami eksploitasi. Sosialisasi mengenai hak-hak pekerja dan cara melaporkan pelanggaran harus diperluas, baik melalui serikat pekerja maupun lembaga advokasi. Kritik utama terhadap kebijakan saat ini adalah lemahnya penegakan hukum dan minimnya perlindungan bagi korban.
Banyak kasus yang tidak terselesaikan karena perusahaan masih bisa menghindari sanksi atau menekan pekerja agar tidak melaporkan pelanggaran. Jika kebijakan hanya sebatas aturan tanpa implementasi yang nyata, maka pekerja perempuan akan terus berada dalam kondisi rentan. Dengan adanya perubahan nyata dalam sistem ketenagakerjaan, diharapkan pekerja perempuan dapat bekerja dengan aman dan bermartabat, tanpa rasa takut akan diskriminasi atau pelecehan. Reformasi dalam pengawasan ketenagakerjaan serta perlindungan hukum bagi pekerja perempuan harus menjadi prioritas utama.
Pekerja perempuan berhak mendapatkan lingkungan kerja yang aman, bebas dari diskriminasi, pelecehan, dan eksploitasi. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa hak-hak mereka masih sering diabaikan, baik dalam bentuk kesenjangan upah, pelecehan seksual, hingga kebijakan perusahaan yang merugikan. Meskipun regulasi telah ada, lemahnya penegakan hukum membuat banyak kasus pelanggaran terus berulang tanpa konsekuensi yang jelas bagi pelaku. Oleh karena itu, diperlukan upaya serius dari pemerintah, perusahaan, dan masyarakat untuk memastikan perlindungan bagi pekerja perempuan benar-benar berjalan. Penegakan hukum yang tegas, kebijakan perusahaan yang lebih inklusif, serta peningkatan kesadaran pekerja tentang hak-haknya menjadi langkah penting yang harus segera diwujudkan. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka ketidakadilan terhadap pekerja perempuan akan terus terjadi, menghambat kesetaraan dan kesejahteraan di dunia kerja.
Penulis: Happy Malinda Aisha Wardhani | Mahasiswa Aktif Prodi Pendidikan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Hukum dan Ilmu Politik, Universitas Negeri Yogyakarta
Referensi:
BPS. Upah Rata-Rata Per Jam Pekerja Menurut Jenis Kelamin. Diakses 22 Maret 2025, https://www.bps.go.id/id
ILO. (2024). Laporan Hasil Survei Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja Indonesia 2022. Diakses 22 Maret 2025, https://www.ilo.org/sites/default/files/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/documents/publication/wcms_857049.pdf
Khasanah, N. M. A., & Nanang, M. (2023). ANALISIS DISKRIMINASI GENDER DI PT. SUMALINDO LESTARI JAYA (SLJ GLOBAL TBK) MENURUT PERSPEKTIF BURUH PEREMPUAN. eJournal Pembangunan Sosial, 11(1), 276-290.
Komnasperempuan.go.id. (2024). Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Peringatan Hari Buruh Internasional 2024 “Keadilan Sosial dan Kerja Layak bagi Buruh Perempuan”. Diakses 22 Maret 2025, https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-peringatan-hari-buruh-internasional-2024
Kompas.com. (2020). Banyak Kasus Keguguran, Ratusan Buruh Es Krim Aice Mogok dan Tuntut “Shift” Malam Dihapus. Diakses 22 Maret 2025, https://regional.kompas.com/read/2020/02/28/20550061/banyak-kasus-keguguran-ratusan-buruh-es-krim-aice-mogok-dan-tuntut-shift?page=all
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep. 224/Men/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 8 Per-04/Men/1989 tentang Syarat-syarat Kerja Malam dan Tata Cara Mempekerjakan Pekerja Perempuan pada Malam Hari
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan