Kita, sejatinya dilahirkan untuk bersama dengan yang lainnya, inilah yang menjadikan kita sebagai makhluk sosial, individu yang tidak bisa berdiri sendiri, dan membutuhkan sesamanya. Rasa membutuhkan tersebut dapat tertuang dalam bentuk sentuhan afektif, khususnya berpelukan. Namun, berpelukan bukan hanya sebatas simbol afeksi, tetapi jauh daripada itu, juga mengandung arti neurobiologis didalamnya. Di tengah dunia modern saat ini, di mana interaksi lebih banyak terjadi di media maya, pemahaman tentang bagaimana otak dan hormon merespons “sentuhan afektif” menjadi penting.
Nyatanya, kurangnya sentuhan afektif sendiri dapat memengaruhi kesejahteraan mental. Merujuk pada penelitian yang dilakukan saat pandemi, menunjukkan bahwa penurunan frekuensi kontak fisik positif dikaitkan dengan peningkatan gejala kecemasan, stress, dan depresi (Francesco Bruno et al., 2023). Hal ini menegaskan bahwa berpelukan sebagai bentuk dari sentuhan afektif semakin penting bagi kita yang tengah hidup di kehidupan yang serba digital.
Tubuh manusia memang didesain untuk dapat merasakan berbagai jenis dari sentuhan yang mereka dapatkan. Terlepas dari discriminative touch yang hanya dirasakan jika mendapatkan sensasi fisik biasa seperti memegang benda atau tekanan kuat, kulit manusia juga dapat merasakan affective touch melalui C-tactile (CT) fibers, yaitu saraf sensorik bermielin rendah yang responsif terhadap usapan mekanis yang lambat, lembut, dan menyerupai belaian (Qin Li et al., 2022). Affective touch sendiri adalah bentuk komunikasi sosial yang menyampaikan dukungan emosional, kasih sayang, dan afiliasi melalui stimulasi sensorik yang menyenangkan (India Morrison, 2016). Peran C-tactical (CT) fibers inilah yang membuat sentuhan lembut tidak hanya dirasakan sebagai sentuhan fisik biasa, tetapi juga diproses sebagai pengalaman emosional yang menghangatkan sekaligus menyenangkan.
Ketika kita menerima pelukan dari orang yang dekat dan dipercaya (pasangan, keluarga), C-tactile (CT) fibers akan mengirimkan sinyal menuju otak, terutama ke area yang memproses aspek emosional dan afektif dari sentuhan, yaitu insula. Insula adalah area korteks serebral yang terletak jauh di dalam otak, di balik lobus frontal, parietal, dan temporal. Insula sendiri dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu anterior insula, serta posterior insula (pIC) sebagai bagian yang paling pertama menerima sinyal dari CT fibers. Kedua bagian tersebut akan mengalami peningkatan konektivitas fungsional ketika mendapatkan stimulus tertentu (Monika Davidovic et al., 2017). Peningkatan konektivitas tersebut menandakan adanya komunikasi yang lebih sinkron dan lebih intens, dimana pada kasus affective touch, hal tersebut terlihat pada posterior insula yang akan menentukan sensasi (apakah nyaman atau tidak) dari berpelukan, sementara anterior insula akan bertanggung jawab untuk mengubah sensasi tersebut menjadi perasaan emosional dan bermakna, seperti rasa aman dan nyaman, ketenangan, penurunan kecemasan, dan penguatan ikatan sosial.
Dalam menciptakan perasaan nyaman melalui berpelukan, insula tidak bekerja sendirian. Insula manusia nyatanya terhubung dengan sistem limbik yang berada di otak, termasuk dengan hipotalamus. Hipotalamus merupakan bagian dari otak yang menjadi penghubung utama antara sistem saraf dan sistem hormonal (Bear et al., 1995). Hal ini berarti bahwa hipotalamus berfungsi untuk mengubah sinyal saraf, termasuk dari sinyal CT fibers yang telah diproses oleh insula menjadi perintah hormon. Ketika dua individu saling berpelukan, hipotalamus akan melepaskan hormon oksitosin. Hormon yang kerap dikenal sebagai hormon cinta ini, tidak hanya sebagai hormon reproduksi saja, tetapi ia juga dapat membuat affective touch terasa lebih menyenangkan dan lebih meningkatkan perasaan positif (Yuanshu Chen et al., 2020). Dengan kata lain, Oksitosin dapat menjadi penguat transisi dari sensasi fisik, menjadi sensasi yang mengandung makna emosional.
Di lain sisi, terdapat amigdala yang berfungsi untuk mendeteksi emosi penting, baik emosi positif maupun negatif. Amigdala juga memiliki reseptor oksitosin yang akan merespon hormon oksitosin ketika dilepaskan oleh hipotalamus. Dalam hasil fMRI, oksitosin terbukti dapat menurunkan aktivitas amigdala, dimana setelah oksitosin menempel pada reseptor, alarm amigdala dalam mendeteksi hal-hal yang biasanya menciptakan perasaan takut dan cemas akan menjadi kurang sensitif, sehingga tidak akan dianggap sebagai ancaman. Pada saat yang sama, oksitosin juga membuat amigdala lebih peka dan cepat dalam membaca sentuhan atau pelukan dari orang terdekat sebagai rasa aman dan nyaman. Efek ini membuat amigdala lebih fokus pada rasa aman, bukan ancaman. Hal tersebut pun sejalan dengan temuan bahwa semakin aktif amidala dalam konteks sentuhan yang aman dan nyaman, semakin besar pula rasa menyenangkan (Yuansu Chen et al., 2020).
Rangkaian proses saraf dan hormonal yang terjadi saat berpelukan tidak hanya menghasilkan perasaan emosional, tetapi juga menciptakan fenomena yang dikenal sebagai social buffering. Social buffering merujuk pada regulasi stres melalui interaksi sosial, terutama melalui figura kelekatan seperti pasangan, orang tua, ataupun teman dekat (Hostinar et al., 2014). Social Buffering sendiri bisa terjadi karena semua proses integrasi antara saraf hingga hormonal yang terjadi di dalam otak kita. Semua proses integrasi tersebut membuat beban stres menjadi lebih ringan karena dukungan sosial. Pelukan merupakan salah bentuk paling kuat dari social buffering dan dapat meningkatkan oksitosin, menenangkan amigdala, dan memperkuat ikatan sosial.
Semua proses ini menunjukkan bahwa pelukan, sebagai salah satu dari bentuk affective touch, bukan hanya sensasi fisik biasa, tetapi proses biologis yang secara langsung mendasari regulasi emosi kita. Mulai dari CT fibers yang mengirimkan pesan kenyamanan, melalui insula yang mengolah pesan-pesan tersebut menjadi pengalaman emosional, hipotalamus yang melepaskan oksitosin, hingga amigdala yang menenangkan dan meningkatkan sensitivitas terhadap sinyal keamanan. Seluruh rangkaian ini bekerja sama untuk menurunkan stres, mengusir kecemasan, dan menciptakan rasa tenang. Dengan kata lain, sentuhan lembut membantu kita berpindah dari keadaan terancam. Oleh karena itu, pelukan sebagai bentuk affective touch bukanlah hal sepele, karena kekurangannya dapat membuat keadaan emosional kita tidak stabil dan tidak aman, terlebih bagi kita yang hidup di dunia yang serba digital.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”





































































