Pengaruh Kurang Tidur terhadap Regulasi Emosi pada Mahasiswa
Kurang Tidur, Emosi Meledak: Apa yang Terjadi pada Otak Kita?
Dalam beberapa tahun terakhir, para peneliti neurosains menemukan satu pola menarik namun mengkhawatirkan manusia modern semakin jarang tidur nyenyak, dan pada saat yang sama menjadi semakin mudah tersinggung, cemas, dan emosional. Fenomena ini tidak muncul secara kebetulan. Ada hubungan erat antara kurang tidur dan kemampuan otak dalam mengatur emosi. Di balik perilaku sehari-hari mulai dari mudah marah saat macet, cepat tersinggung terhadap komentar kecil, hingga merasa kewalahan tanpa sebab ada proses biologis yang sangat kompleks di dalam otak.
Bagi mahasiswa, terutama yang sering begadang demi tugas, pekerjaan paruh waktu, atau sekadar menonton serial hingga larut malam, hubungan ini lebih terasa nyata. Kurang tidur bukan hanya soal rasa kantuk di pagi hari, ia menyentuh inti kemampuan otak untuk bertahan dan merespons tekanan hidup.
Ketika Tidur Berkurang, Amygdala Mengambil Alih
Salah satu temuan paling konsisten dalam riset neurosains adalah hiperaktivitas amygdala, struktur kecil berbentuk almond yang berperan sebagai pusat emosi dan deteksi ancaman. Dalam kondisi tidur cukup, amygdala bekerja harmonis dengan prefrontal cortex (PFC), wilayah otak yang bertugas meredam impuls emosional dan membuat penilaian rasional.
Namun, riset pencitraan otak menunjukkan bahwa pada saat seseorang kurang tidur, hubungan komunikasi antara PFC dan amygdala menurun drastis. Akibatnya, amygdala menjadi lebih reaktif terhadap stimulus emosional. Hal-hal yang sebenarnya sepele seperti suara berisik, komentar ringan, atau tugas mendadak maka tiba-tiba terasa mengganggu atau bahkan mengancam.
Ini menjelaskan mengapa seseorang yang kurang tidur mudah sekali “nge-trigger”, sensitif, atau cepat marah. Otak, dalam arti tertentu, kehilangan rem emosinya.
Prefrontal Cortex: Rem Emosi yang Tidak Berfungsi
Prefrontal cortex merupakan wilayah otak yang sangat penting bagi manusia modern. Ia terlibat dalam pengambilan keputusan, pengendalian diri, penilaian moral, dan kemampuan berpikir panjang. Ketika tidur seseorang berkurang, PFC bekerja jauh di bawah kapasitas optimalnya. Riset menunjukkan penurunan aktivitas di area ventromedial PFC dan dorsolateral PFC setelah satu malam kurang tidur.
Dalam kondisi ini, otak kehilangan kemampuan untuk “menenangkan” sinyal dari amygdala. Situasi yang biasanya bisa disikapi dengan sabar berubah menjadi pemicu ledakan emosional. Kurang tidur, pada dasarnya, menempatkan kita dalam mode bertahan hidup, bukan mode berpikir rasional.
Neurotransmitter pun Ikut Terganggu
Tidak hanya itu, kurang tidur juga berdampak pada sistem neurotransmitter yang berperan dalam pengaturan suasana hati. Serotonin, dopamin, dan norepinefrin adalah tiga neurotransmitter utama yang sangat dipengaruhi pola tidur. Riset menunjukkan bahwa tubuh yang kurang tidur mengalami ketidakseimbangan serotonin yang berdampak pada penurunan stabilitas emosi. Pada saat bersamaan, dopamin yang biasanya membantu memodulasi reward dan motivasi juga mengalami disregulasi, menyebabkan penurunan motivasi aktivitas sehari-hari serta peningkatan perilaku impulsif. Kondisi ini makin memperkuat hubungan negatif antara kurang tidur dan kesehatan emosional.
Kurang Tidur Mengubah Cara Kita Melihat Dunia
Efek kurang tidur tidak berhenti pada sekadar “emosi meledak”. Sistem jaringan otak lain seperti salience network, yang melibatkan insula dan anterior cingulate cortex (ACC), menjadi lebih sensitif. Jaringan ini bertugas menilai mana stimulus yang penting dan mana yang tidak.
Saat kurang tidur, jaringan ini mengalami hiperaktivitas. Stimulus biasa yang sebenarnya tidak berbahaya dapat ditafsirkan sebagai ancaman atau gangguan. Tidak heran jika individu yang kurang tidur merasa seperti “overwhelmed” oleh lingkungan sekitar, meski tidak ada sesuatu yang benar-benar salah.
Dampaknya pada Mahasiswa: Produktivitas Turun, Konflik Sosial Naik
Bagi mahasiswa, pola tidur tidak teratur sering kali dianggap hal biasa. Namun dampaknya meluas pada banyak aspek kehidupan. Kurang tidur terbukti menyebabkan:
1. penurunan kemampuan menilai situasi dengan tenang,
2. meningkatnya kecemasan akademik,
3. penurunan kualitas hubungan sosial,
4. kesulitan memahami ekspresi wajah orang lain,
5. kesalahan dalam pengambilan keputusan,
6. hingga penurunan empati.
Interaksi kecil di kelas atau dengan teman bisa berubah menjadi kesalahpahaman hanya karena otak tidak berada dalam kondisi regulasi emosi yang optimal.
Mengatasi kurang Tidur/ Kembali ke Ritme Sirkadin
Perbaikan regulasi emosi dapat dicapai hanya dengan mengembalikan kualitas tidur, riset menunjukkan beberapa cara sederhana namun efektif :
1. Tidur dan bangun pada jam yang sama setiap hari
2. Kurangi paparan Cahaya biru 1-2 jam sebelum tidur
3. Hindari kafein (kopi) setelah pukul 15.00
4. Ciptakan lingkungan tidur yang gelap (mematikan lampu saat tidur) dan sejuk
5. Bangun pagi dan terpapar Cahaya matahari
Kebiasaan kecil ini, bila dilakukan konsisten, membantu memulihkan fungsi PFC dan menstabilkan hubungan dengan amygdala.
Riset neurosains kontemporer menyimpulkan satu hal penting: tidur adalah fondasi utama keseimbangan emosi. Kurang tidur tidak hanya membuat kita lelah, tetapi juga mengganggu hubungan antarstruktur otak yang berperan dalam pengaturan emosi. Amygdala menjadi hiperaktif, prefrontal cortex melemah, neurotransmitter terganggu, dan jaringan otak membaca dunia dengan cara yang lebih negatif.
Di era yang penuh tekanan, tidur cukup bukan lagi sekadar gaya hidup sehat melainkan kebutuhan biologis yang melindungi kesehatan mental, hubungan sosial, dan kemampuan kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Temuan ini menegaskan bahwa tidur adalah komponen vital dalam menjaga kesehatan emosional dan performa akademik, terutama bagi mahasiswa. Dengan memahami mekanisme biopsikologis di balik hubungan antara tidur dan emosi, mahasiswa dapat lebih menyadari pentingnya menjaga kualitas tidur sebagai bagian dari strategi pengelolaan diri.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”




































































