Artikel ini membahas peran hukum sebagai instrumen sosial dalam mendorong pembangunan ekonomi di Provinsi Sulawesi Tenggara. Melalui pendekatan sosiologi hukum, artikel ini menelaah sejauh mana struktur dan sistem hukum berperan dalam menunjang aktivitas ekonomi masyarakat, termasuk bagaimana hukum mampu merespons kebutuhan sosial dan lokalitas. Dengan merujuk pada data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) serta laporan tahunan Komnas HAM, diperoleh gambaran bahwa hukum belum sepenuhnya hadir sebagai kekuatan fasilitatif dalam konteks lokal. Masih terdapat tantangan dalam bentuk konflik agraria, rendahnya akses masyarakat terhadap hukum, serta dualisme antara hukum formal dan hukum adat.
Pendahuluan
Hukum memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk struktur sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam konteks pembangunan ekonomi, hukum idealnya menyediakan kepastian, perlindungan hak, dan tata kelola yang adil bagi seluruh pelaku usaha dan masyarakat. Namun kenyataannya, banyak wilayah di Indonesia masih menghadapi masalah dalam hal akses terhadap hukum, termasuk di Provinsi Sulawesi Tenggara. Pendekatan sosiologi hukum melihat hukum bukan sekadar norma tertulis, melainkan bagian dari interaksi sosial yang kompleks.
Provinsi Sulawesi Tenggara menyimpan potensi ekonomi besar di sektor pertanian, perikanan, dan pertambangan. Namun, potensi tersebut sering terhambat oleh konflik agraria, lemahnya pengakuan terhadap hukum adat, serta minimnya literasi hukum masyarakat. Dalam artikel ini, kami menelaah bagaimana hukum dapat menjadi instrumen pendukung pembangunan ekonomi lokal yang responsif dan inklusif.
2. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teoretis
Dalam kajian sosiologi hukum, dikenal dua pendekatan utama yakni small theory dan middle theory.
Small theory berfokus pada praktik-praktik hukum dalam konteks lokal, mikro, dan spesifik. Teori ini melihat bagaimana masyarakat menggunakan dan memaknai hukum dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam penyelesaian konflik agraria, transaksi ekonomi informal, hingga relasi adat. Misalnya, masyarakat adat di Sulawesi Tenggara lebih mempercayai penyelesaian sengketa berbasis adat karena dianggap lebih adil dan cepat. Namun, pendekatan ini sering kali tidak diakui secara formal oleh negara.
Sementara itu, middle theory melihat hukum dalam struktur yang lebih luas, yaitu hubungan antara institusi hukum negara, regulasi, kebijakan publik, dan kekuatan pasar. Teori ini menjelaskan bagaimana struktur hukum nasional bisa menjadi sumber ketimpangan ketika tidak sinkron dengan konteks lokal. Dalam kasus Sulawesi Tenggara, misalnya, kebijakan tata ruang nasional dan izin tambang acap kali tidak sejalan dengan hak masyarakat adat atas lahan.
Penggabungan kedua teori ini menunjukkan bahwa hukum harus fleksibel, adaptif terhadap lokalitas, namun tetap dalam kerangka hukum nasional yang adil dan transparan.
Metode Penelitian
Artikel ini disusun dengan pendekatan kualitatif-deskriptif menggunakan metode studi pustaka dan analisis dokumen. Sumber data diperoleh dari publikasi resmi Badan Pusat Statistik (BPS), laporan tahunan Komnas HAM, dan literatur akademik tentang sosiologi hukum serta pembangunan ekonomi. Penulis menganalisis relevansi data tersebut dalam konteks penerapan hukum di Sulawesi Tenggara dengan menggunakan pisau analisis teori small dan middle theory.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Kondisi Ekonomi Masyarakat Sulawesi Tenggara
Provinsi Sulawesi Tenggara mencatat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku sebesar Rp176,18 triliun pada tahun 2023, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,35 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sektor utama penggerak ekonomi adalah pertanian, kehutanan, dan perikanan (23,02 persen), diikuti sektor pertambangan dan penggalian (22,18 persen), serta perdagangan besar dan eceran (12,41 persen).
Namun, pertumbuhan ekonomi tersebut belum mampu menekan tingkat kemiskinan secara signifikan. Pada Maret 2023, tingkat kemiskinan tercatat sebesar 11,43 persen, atau sekitar 321.530 jiwa. Ketimpangan distribusi pendapatan pun berada di tingkat menengah dengan Gini ratio sebesar 0,371.
4.2 Permasalahan Akses Hukum dan Konflik Sosial
Komnas HAM mencatat bahwa sepanjang 2022–2023, aduan terkait konflik agraria dan pelanggaran hak atas tanah mendominasi laporan masyarakat. Banyak kasus terjadi di wilayah yang secara ekonomi potensial, namun status lahan tidak jelas dan tumpang tindih antara hak ulayat, izin usaha, dan klaim masyarakat. Di Sulawesi Tenggara, daerah seperti Konawe dan Kolaka Timur sering menjadi lokasi sengketa antara masyarakat lokal dan perusahaan tambang atau perkebunan.
Mekanisme penyelesaian konflik seringkali tidak efektif karena terbatasnya pengakuan hukum negara terhadap hukum adat dan proses mediasi lokal. Dalam banyak kasus, masyarakat adat menggunakan pendekatan tradisional untuk menyelesaikan sengketa, namun hasilnya tidak diakui oleh otoritas hukum formal.
4.3 Hukum sebagai Instrumen Sosial dan Ekonomi
Dari perspektif sosiologi hukum, hukum seharusnya bukan sekadar perangkat formal melainkan juga mencerminkan nilai-nilai sosial dan kebutuhan masyarakat. Namun, realitas menunjukkan adanya ketimpangan antara hukum formal dan kebutuhan lokal. Misalnya, sebagian besar pelaku UMKM di Sulawesi Tenggara belum memiliki legalitas usaha akibat birokrasi yang kompleks dan biaya yang tinggi.
Akses hukum juga sangat terbatas di daerah pedesaan dan kepulauan. Rendahnya literasi hukum menyebabkan masyarakat enggan menggunakan saluran hukum formal dalam menyelesaikan masalah ekonomi atau sengketa lahan. Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan hukum yang lebih partisipatif dan mendekatkan institusi hukum kepada masyarakat akar rumput.
5. Kesimpulan
Hukum seharusnya menjadi fondasi pembangunan ekonomi yang adil dan berkelanjutan. Namun di Provinsi Sulawesi Tenggara, peran hukum masih dihadapkan pada tantangan implementatif dan sosial. Diperlukan reformasi kebijakan hukum yang tidak hanya mengandalkan prosedur formal, tetapi juga menyesuaikan dengan struktur sosial-budaya masyarakat. Integrasi antara hukum negara dan hukum adat harus diperkuat agar hukum tidak menjadi sumber ketimpangan, tetapi jembatan menuju kesejahteraan bersama.
6. Penutup
Artikel ini menunjukkan bahwa peran hukum dalam pembangunan ekonomi di Sulawesi Tenggara belum sepenuhnya optimal. Masih terdapat berbagai hambatan struktural, termasuk lemahnya pengakuan terhadap hukum adat, kompleksitas birokrasi dalam perizinan usaha, serta akses hukum yang terbatas bagi masyarakat di wilayah pedalaman dan kepulauan. Pendekatan sosiologi hukum, khususnya melalui kerangka small theory dan middle theory, menggarisbawahi pentingnya melihat hukum tidak hanya sebagai norma formal, tetapi sebagai refleksi dari kebutuhan dan nilai-nilai sosial masyarakat.
Dalam konteks Sulawesi Tenggara, hukum harus berfungsi secara adaptif dengan mempertimbangkan realitas sosial yang beragam, termasuk praktik adat dan sistem ekonomi lokal. Diperlukan reformasi hukum yang lebih partisipatif, inklusif, dan kontekstual, agar hukum benar-benar mampu menjadi instrumen fasilitatif dalam pembangunan ekonomi yang adil dan berkelanjutan. Upaya ini membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, masyarakat adat, dan pelaku usaha agar tercipta harmoni antara kepentingan hukum negara dan kebutuhan masyarakat lokal.
Daftar Pustaka
https://sultra.bps.go.id/id/publication/2024/04/04/a00fd9cb20e9d1a86dbb9dd1 /produk-domestik-regional-bruto-provinsi-sulawesi-tenggara-menurut-lapangan-usaha-2019–2023.html
https://sultra.bps.go.id/id/pressrelease/2023/07/17/1066/gini-ratio-maret-2023-tercatat-sebesar-0-371.html
https://www.siej.or.id/id/ekuatorial/menguatkan-pemenuhan-hak-atas-tanah-warga-sulawesi-tenggara-melalui-pendidikan
https://journal.unikaltar.ac.id/index.php/JB/article/view/47/20