Tanggal 26 Juni setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Anti Narkoba Internasional. Momentum ini sejatinya bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi menjadi refleksi bersama atas tragedi panjang yang ditinggalkan oleh narkotika di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, dan lebih spesifiknya, di tanah kelahiran kita: Lamongan.
Sebagai aktivis perempuan yang hari ini mendapatkan amanah sebagai Ketua KOPRI PC PMII Lamongan, saya melihat bahwa persoalan narkoba bukan hanya isu kesehatan dan hukum, tetapi juga persoalan sosial, ekonomi, dan terutama: persoalan kemanusiaan yang menghantam banyak generasi tanpa pandang bulu.
Lamongan dikenal sebagai kota religius dengan semangat masyarakatnya yang kuat dalam mempertahankan nilai-nilai budaya dan agama. Namun siapa sangka, di balik wajah religius itu, Lamongan tak luput dari cengkeraman jaringan narkoba.
Data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan bahwa Jawa Timur menempati posisi tinggi dalam hal penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Di tingkat kabupaten, Lamongan juga tak luput dari daftar daerah rawan. Beberapa pengungkapan kasus besar beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa narkoba telah menyusup ke berbagai lapisan: dari kalangan pelajar, mahasiswa, pekerja, hingga ibu rumah tangga.
Ironisnya, dalam beberapa kasus yang kami temui, perempuan bukan hanya menjadi korban penyalahgunaan, tetapi juga tak jarang diperalat dalam jaringan pengedaran. Ini menambah daftar panjang kekerasan struktural dan sosial yang selama ini membebani perempuan.
Perempuan, terutama di daerah pinggiran dan pedesaan Lamongan, hidup dalam ruang yang tidak selalu aman dan setara. Tekanan ekonomi, rendahnya akses pendidikan, dan terbatasnya ruang partisipasi sosial membuat mereka rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi—termasuk dijadikan kurir atau ‘tumbal’ dalam kejahatan narkotika.
Sebagai KOPRI, kami tidak memandang persoalan narkoba semata-mata sebagai pelanggaran hukum. Kami melihatnya sebagai akibat dari ketimpangan sistemik yang gagal memberi ruang aman dan sejahtera bagi perempuan dan generasi muda. Karenanya, pendekatan penanganan narkoba haruslah lebih humanis, berkeadilan gender, dan melibatkan komunitas secara aktif.
Peringatan Hari Anti Narkoba Internasional tahun ini seharusnya menjadi pemantik semangat, bukan sekadar pengulangan retorika. Lamongan butuh roadmap nyata untuk mencegah penyebaran narkoba, terutama di kalangan remaja dan perempuan muda. Kami mendesak agar program rehabilitasi diperluas, pendampingan hukum bagi perempuan korban narkoba diperkuat, dan kampus-kampus serta pesantren dijadikan basis edukasi pencegahan yang berbasis nilai-nilai moral dan kemanusiaan.
Di tengah gempuran globalisasi, narkoba menjadi bagian dari penjajahan gaya baru yang menghancurkan generasi tanpa senjata. Karenanya, kita tidak bisa berdiri netral. Sebagai aktivis perempuan, saya menyerukan: kita harus melawan, dengan ilmu, dengan solidaritas, dan dengan keberanian.
Akhirnya, mari kita jadikan Hari Anti Narkoba Internasional ini sebagai momen menyalakan harapan baru—bahwa dunia tanpa narkoba bukan utopia, tetapi bisa jadi kenyataan jika kita bekerja bersama, dari Lamongan untuk Indonesia yang lebih sehat dan bermartabat.
Ditulis Oleh: Ike Nurul Fitrotus Shoimah – Ketua KOPRI PC PMII Lamongan