Pernah nggak sih kamu dengar cerita tentang anak yang baru lulus SMP tapi sudah menikah? Kadang kita cuma bisa diam dan bilang, “Ya, mungkin sudah waktunya.” Padahal, di balik keputusan itu ada banyak hal yang nggak sederhana. Pernikahan anak bukan cuma soal status, tapi juga tentang masa depan, kesehatan, dan hak yang hilang terlalu dini.
Pernikahan seharusnya menjadi keputusan dua orang dewasa yang sudah matang secara fisik dan mental. Tapi bagi sebagian anak, pernikahan datang terlalu cepat—bahkan sebelum mereka sempat memahami arti cinta dan tanggung jawab.
Pernikahan Anak: Antara Budaya dan Tekanan Sosial
Di banyak daerah di Indonesia, menikahkan anak masih dianggap solusi dari berbagai persoalan: menutup aib, menghindari zina, atau meringankan beban ekonomi keluarga. Padahal, praktik ini justru mengorbankan hak anak untuk tumbuh dan berkembang.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, sekitar 8,9% perempuan berusia 20–24 tahun menikah sebelum mencapai usia 18 tahun. Angka itu menunjukkan bahwa ribuan anak perempuan di Indonesia kehilangan masa remajanya karena pernikahan dini. Akibatnya, banyak dari mereka berhenti sekolah dan sulit mendapatkan pekerjaan. Kondisi ini memperkuat lingkar kemiskinan antar generasi yang sulit diputus.

Anak yang Belum Siap, Dipaksa Jadi Dewasa
Bayangkan anak berusia 15 atau 16 tahun yang baru belajar memahami hidup, tiba-tiba harus menjadi istri dan ibu rumah tangga. Mereka dipaksa berperan sebagai orang dewasa, padahal secara emosional belum siap.
Ketidaksiapan mental sering berujung pada konflik rumah tangga. Banyak pasangan muda yang akhirnya bercerai karena tekanan ekonomi dan beban tanggung jawab yang berat. Anak yang seharusnya bermain dan belajar, justru hidup dalam kekhawatiran dan tekanan.
Risiko Terhadap Kesehatan Reproduksi
Masalah paling serius dari pernikahan anak adalah risiko terhadap kesehatan reproduksi. Tubuh anak perempuan belum siap untuk mengalami kehamilan dan persalinan. Menurut UNICEF Indonesia (2024), anak perempuan yang hamil sebelum usia 18 tahun berisiko dua kali lebih tinggi mengalami komplikasi kehamilan dan kematian saat melahirkan dibanding perempuan dewasa.
Selain itu, kurangnya pendidikan tentang seks dan kesehatan reproduksi membuat mereka tidak memahami hak atas tubuhnya sendiri. Banyak anak yang bahkan tidak tahu bagaimana menjaga kebersihan organ reproduksi, atau tidak sadar bahwa mereka berhak menolak hubungan yang tidak diinginkan.
Hak Kesehatan Reproduksi adalah Hak Asasi
Hak atas kesehatan reproduksi merupakan bagian dari hak asasi manusia. Setiap orang berhak mendapatkan informasi dan layanan kesehatan yang aman, termasuk hak untuk menentukan kapan dan dengan siapa ingin menikah.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh derajat kesehatan yang optimal.Sedangkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan telah menetapkan usia minimum menikah adalah 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan.
Namun, di lapangan masih banyak pengadilan agama yang memberikan dispensasi nikah bagi anak di bawah umur. Hal ini menunjukkan bahwa hukum belum sepenuhnya efektif tanpa kesadaran masyarakat yang kuat.
Peran Keluarga dan Negara
Keluarga seharusnya menjadi tempat anak belajar tentang kasih sayang dan perlindungan, bukan lembaga yang menikahkan anak sebelum waktunya. Orang tua perlu memahami bahwa menikahkan anak bukan solusi untuk kemiskinan atau ketakutan sosial, tapi justru membuka masalah baru.
Negara pun wajib hadir, bukan hanya dengan undang-undang, tapi juga dengan edukasi dan pemberdayaan. Program seperti Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (GEBER PPA) yang dijalankan Kemen PPPA harus diperkuat agar benar-benar menyentuh lapisan masyarakat paling bawah.
Menunda Pernikahan Bukan Menolak Bahagia
Menunda pernikahan bukan berarti menolak takdir, tapi memberi waktu untuk tumbuh dan memahami arti tanggung jawab. Menikah di usia yang matang berarti menghormati diri sendiri dan pasangan.Karena cinta sejati tidak diukur dari seberapa cepat bisa menikah, tapi seberapa siap kita membangun masa depan bersama.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”


































































