Pahlawan itu diakui oleh semua kalangan bangsa bukan hanya segelintir orang apalagi hanya keturunannya.
Muhammad Soeharto atau Soeharto yang merupakan Bapak Presiden Indonesia ke-2 yang menjabat selama 32 tahun. Tidak dapat disangkal bahwa Soeharto adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia modern. Selama lebih dari 30 tahun ia memimpin negara ini, meninggalkan warisan pembangunan ekonomi, stabilitas politik, dan pertumbuhan infrastruktur yang pesat. Namun pada saat yang sama, masa pemerintahannya juga dipenuhi catatan kelam yang tak dapat dihapus begitu saja seperti pembungkaman kebebasan politik, korupsi dalam skala besar, intervensi militer dalam pemerintahan, serta pelanggaran HAM termasuk tragedi 1965,1966 sampai tragedi 98 yang mencetak sejarah kelam Indonesia yang menyebabkan represi terhadap aktivis, buruh, hingga mahasiswa.
Keputusan Presiden Prabowo Subianto menetapkan Soeharto sebagai salah satu dari sepuluh Pahlawan Nasional pada peringatan Hari Pahlawan tahun ini memunculkan gelombang perdebatan yang luas di tengah masyarakat. Polemik tersebut bukan hanya soal sebuah gelar, melainkan tentang bagaimana bangsa ini memaknai sejarah, menilai masa lalu, dan menentukan arah moral masa depan. Gelar pahlawan, pada hakikatnya, bukan sekadar tanda jasa ia adalah simbol nilai yang diabadikan negara dan dikenang sepanjang masa. Ketika sebuah rezim yang penuh kontroversi dan catatan kelam tiba-tiba ditempatkan di posisi kepahlawanan, wajar jika publik mempertanyakan: apakah ini langkah rekonsiliasi sejarah, atau justru normalisasi pelanggaran masa lalu atau karena prabowo mantan menantu soeharto atau ada kepentingan politik lainnya?

Pemerintah menyatakan bahwa pengangkatan Soeharto dilakukan melalui mekanisme resmi: pengajuan melalui Dewan Gelar, verifikasi dokumentasi, hingga persetujuan presiden. Dalam argumen resmi, pemerintah berfokus pada kontribusi Soeharto terhadap pembangunan ekonomi, stabilitas nasional, dan keberhasilan pembangunan pedesaan. Dari sisi politik, keputusan Presiden Prabowo juga dapat dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada salah satu tokoh yang pernah menjadi pusat kekuatan politik Indonesia.
Namun, publik tentu memahami bahwa kebijakan presiden tak pernah berada dalam ruang hampa. Prabowo memiliki sejarah kedekatan dengan keluarga Cendana dan pernah menjadi bagian dari lingkaran Orde Baru. Hubungan tersebut, baik simbolik maupun politis, membuat keputusan ini dianggap oleh sebagian pihak bukan semata-mata keputusan moral, tetapi keputusan politik.
Pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan di masa pemerintahan Prabowo menyampaikan pesan: negara saat ini ingin menempatkan Orde Baru bukan sebagai rezim gelap yang harus dikritisi, tetapi sebagai bagian dari prestasi nasional yang perlu ditonjolkan. Jika dulu masyarakat berjuang keras meruntuhkan praktik otoritarianisme dan korupsi Orde Baru, kini rezim itu tampak diberi “pangkat moral” oleh negara.
Salah satu orang yang merasakan hidup pada orde baru Ross (59 tahun) “era pak soeharto itu memang ekonomi naik dan harga barang murah, namun dimasa itu kita tidak boleh sembarang komentar tentang pemerintah takutnya hilang tiba-tiba”. ujar nya pada 16 November 2025.
Pahlawan: Gelar, Simbol, atau Senjata Politik?
Pertanyaan besar berikutnya: apa yang sebenarnya dimaksud negara ketika menyematkan gelar “Pahlawan Nasional”?
Jika pahlawan adalah simbol moral tertinggi bangsa, maka keputusan ini menunjukkan perubahan orientasi nilai dalam negara. Pahlawan bukan lagi tentang keteladanan moral yang bersih, tetapi tentang kontribusi yang dianggap “besar”, terlepas dari cara mencapainya. Jika yang diprioritaskan adalah keberhasilan pembangunan, maka tokoh apa pun bahkan yang memiliki catatan kelam dalam demokrasi atau kemanusiaan dapat masuk dalam daftar kepahlawanan.
Dalam perspektif politik, keputusan ini juga menunjukkan bagaimana gelar kepahlawanan bisa digunakan sebagai alat legitimasi. Mengangkat sosok kontroversial menjadi pahlawan bisa memperkuat narasi politik tertentu, memperhalus citra masa lalu yang kelam, dan memengaruhi persepsi generasi muda yang tidak mengalami langsung masa Orde Baru. Gelar ini bukan hanya sejarah ia adalah investasi ideologi.
Memaknai Rekonsiliasi: Apa yang Harusnya Dilakukan Negara?
Ada dua jalur ketika sebuah bangsa berhadapan dengan masa lalu yang
penuh luka: rekonsiliasi atau penghapusan narasi. Rekonsiliasi membutuhkan dialog terbuka, pengakuan terhadap kesalahan, pemulihan bagi korban, dan pendidikan sejarah yang jujur. Sebaliknya, penghapusan narasi adalah ketika negara memilih untuk merayakan prestasi sambil mengubur sisi gelap sejarah.
Jika keputusan untuk mengangkat Soeharto sebagai pahlawan dimaksudkan sebagai rekonsiliasi, maka langkah-langkah berikut semestinya menjadi bagian dari proses:
Pengakuan resmi negara terhadap pelanggaran HAM masa Orde Baru, termasuk korban politik dan kekerasan militer.
Pembukaan arsip-arsip negara yang selama ini tertutup, agar publik memahami sejarah secara objektif.
Pemulihan martabat dan hak para korban, baik melalui kompensasi maupun rehabilitasi sosial.
Pendidikan sejarah yang jujur, yang tidak hanya menonjolkan prestasi pembangunan, tetapi juga menjelaskan pengekangan kebebasan dan pelanggaran kemanusiaan.
Tanpa langkah tersebut, gelar pahlawan justru menjadi upaya pembungkaman, bukan penyembuhan.
Pemberian Gelar Bukan Sekadar Penghormatan, Tapi Pesan Moral Juga Menjadi Dasarnya
Dalam situasi bangsa yang sedang berusaha menemukan arah politik baru, keputusan untuk mengangkat Soeharto sebagai Pahlawan Nasional menjadi sinyal kuat tentang nilai apa yang ingin diprioritaskan oleh negara. Apakah nilai pembangunan dan stabilitas cukup untuk menutupi catatan pelanggaran kemanusiaan? Atau, apakah bangsa ini sedang diarahkan untuk melihat masa lalu dengan kacamata yang lebih sempit: hanya pada keberhasilan yang terlihat, bukan pada luka yang tersembunyi?
Penetapan Soeharto sebagai pahlawan mungkin saja dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan atas kontribusinya. Namun gelar itu juga membawa konsekuensi moral yang besar. Ia menantang kita untuk merenung: kepada siapa gelar pahlawan seharusnya diberikan kepada mereka yang membangun negara, atau kepada mereka yang menjunjung tinggi martabat manusia?
Pada akhirnya, bangsa yang dewasa bukanlah bangsa yang melupakan luka masa lalu, tetapi bangsa yang berani menatap sejarah secara jujur dan belajar darinya. Keputusan hari ini akan tercatat, bukan hanya sebagai kebijakan politik, tetapi sebagai cermin nilai moral yang dipilih negara untuk diwariskan kepada generasi mendatang.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”






































































