“Scent is the strongest tie to memory.” Maggie Stiefvater, 2011.
Selalu ada nostalgia di setiap aroma yang kita hirup sehari-hari. Wangi vanilla manis nan hangat dari toko roti di pinggir jalan, persis seperti kue yang dipanggang nenek bertahun-tahun lalu. Aroma kertas buku tua di perpustakaan, mengingatkan pada kali pertama membaca novel hadiah dari sahabatmu dulu. Semerbak wangi popcorn dan pewangi ruangan bioskop, membawamu kembali ke masa-masa remaja, saat menonton film terbaru bersama keluarga. Parfum lama seakan menyemprotkan kenangan indah tertentu setiap dipakai. Memori silih berganti mengunjungi pikiran seiring aroma lain muncul, seperti mesin waktu yang tidak bisa dimatikan.
Tentu saja tak selamanya aroma-aroma tersebut membangkitkan memori indah. Beberapa aroma menyimpan kisah sedih, memalukan, menyebalkan, dan berbagai emosi tidak mengenakkan lainnya. Seperti aroma desinfektan dan obat-obatan rumah sakit yang kamu hirup saat mengunjungi anggota keluarga yang sakit parah, bisa saja membangkitkan emosi sedih, cemas, dan takut, karena kamu mengasosiasikan aroma tersebut dengan kenangan buruk. Atau seperti wangi ramen yang kamu santap saat sedang sedih, memaksamu mengingat kembali momen-momen penuh keterpurukan itu. Flashback tidak selamanya menyenangkan dan hangat di hati, namun setiap memori selalu berharga.
Fenomena ini biasa disebut momen proust atau efek proust, ketika pengalaman sensorik seperti aroma atau rasa memicu serbuan ingatan masa lalu yang telah lama terlupakan. Nama ini diambil dari novel karya sastrawan Prancis, Marcel Proust, yang banyak menuliskan momen ini di bukunya “Remembrance of Things Past”. Terutama ketika tokoh utamanya memakan kue madeleine dan teringat akan masa kecilnya. Hal ini sebenarnya merupakan proses biologis yang melibatkan indra penciuman dan bagian otak yang mengatur emosi dan memori.
Kira-kira mengapa hal ini bisa terjadi? Di antara suara dan visual, mengapa aroma begitu erat kaitannya dengan memori manusia? Yuk, simak penjelasannya!
Salah satu pertanyaan pertama yang memulai berbagai studi tentang fenomena ini adalah pertanyaan dari seorang psikolog sekaligus profesor dari Colgate University, Donald Laird, dalam studinya pada 1935. “What can you do with your nose?”. Apa yang dapat kamu lakukan dengan hidungmu?
Laird memiliki firasat bahwa hidung sebenarnya memiliki lebih banyak peran dalam sistem internal memori manusia. Dugaan tersebut ia coba buktikan bersama rekan-rekannya. Mereka melakukan penelitian dengan 254 partisipan, di mana ia meminta mereka untuk menandai momen-momen ketika mereka mengingat memori lama saat mencium aroma tertentu. Mereka menerima ratusan anekdot, mulai dari momen nostalgia seorang partisipan saat mencium sekilas suatu parfum lalu teringat akan canggungnya sebuah pesta dansa, sampai aroma jaket wol yang mengingatkan partisipan lain akan pamannya.
Salah satu partisipan, putra dari pekerja di pabrik penggergajian kayu, berkata bahwa bau dari serbuk kayu menghadirkan kilas balik yang begitu nyata, rasanya seakan-akan ia sedang menjalani adegan-adegannya lagi. Sementara saat memandang tumpukan serbuk kayu, tidak ada perasaan signifikan yang muncul. Datar.
Studi ini menerangkan bahwa memori yang dipicu aroma sangatlah intens, emosional, dan dalam. Lalu, se-abad kemudian, peneliti-peneliti lain mulai mengaitkan teori dari studi Laird, dan mencapai kesimpulan baru bahwa indra penciuman sangat terikat dengan pusat sistem kognitif, pusat sistem emosi, dan pusat sistem memori kita.
Sandeep Robert Datta, profesor neurobiologi di Harvard, turut meneliti tentang hal ini. Menurutnya, manusia sejak awal sudah bergantung pada indra penciuman untuk bertahan hidup. Membaui lingkungan sekitarnya, dan menandai daerah mana saja yang sudah mereka lalui. Aroma juga membantu mereka untuk mengenali bahaya yang akan datang. Ia mengatakan bahwa mungkin otak manusia sebelum berevolusi terdiri dari nalar penciuman, navigasi, dan sistem memori. Itulah mengapa ketiganya terikat kuat dan saling memengaruhi.
Asumsi tersebut pun masuk akal. Profesor John McGann dari Rutgers University menjelaskan bahwa aroma adalah satu-satunya indra yang tidak melewati talamus, pusat pemrosesan sensorik di otak. Ketika kita menghirup suatu aroma, partikel kimia tersebut akan masuk ke hidung dan diteruskan ke bulbus olfaktorius yang bertugas mengelola informasi, kemudian informasi itu dihantarkan pada sistem limbik. Lebih tepatnya, menuju amigdala yang memproses emosi dan hipokampus yang berperan banyak dalam membentuk memori jangka panjang. Begitu aroma tercium, otak akan langsung mengasosiasikannya dengan pengalaman, situasi, dan kondisi yang pernah dialami orang tersebut. Inilah sebabnya mengapa indra penciuman merupakan indra terkuat dalam membangkitkan memori dan emosi dibanding indra-indra lainnya.
Pengetahuan ini digunakan para peneliti untuk mempelajari banyak penyakit dalam saraf dan otak. Contohnya Alzheimer dan Parkinson, penelitian mengungkapkan bahwa penurunan kemampuan mencium merupakan salah satu gejala awal dari penyakit yang berkaitan dengan kehilangan ingatan. Ada pula terapi khusus yang melibatkan aroma familiar untuk menenangkan pengidap PTSD, seperti veteran perang yang dibimbing untuk mengembangkan memori-memori baru melalui aroma menenangkan untuk mengatasi kecemasan dan kepanikan berlebihan.
Tanpa kita sadari, bisnis-bisnis seperti perusahaan parfum atau lilin aromaterapi, juga ikut memadukan neurosains dengan pengembangan produk untuk menciptakan aroma yang membekas secara emosional di hati pelanggan. Mereka tak hanya menjual wewangian, namun juga pengalaman dan kenangan berkesan. Maka tak heran, banyak orang seringkali mengaitkan aroma parfum mereka dengan masa-masa tertentu dalam hidup.
Itulah keajaiban Proustian Moment, proses biologis yang terjadi di kala aroma dan waktu saling menari, menyisakan nostalgia di hati. So, what can you do with your nose? Apparently, recalling great memories!
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”





































































