Jakarta, 19 Juni 2025 — Kebebasan sipil di Indonesia kian mengalami kemunduran. Laporan terbaru Freedom House 2024 menempatkan Indonesia dalam kategori “partly free” dengan skor 59 dari 100, menandai penurunan signifikan dalam kebebasan berbicara, berorganisasi, dan menyampaikan pendapat. Di tengah kondisi ini, sorotan kini mengarah pada peran mahasiswa yang selama ini menjadi garda terdepan penjaga demokrasi.
Radityo Satrio, Presiden Mahasiswa Universitas Saintek Muhammadiyah, dalam kajiannya yang berjudul Ruang Sipil Direpresi, Mahasiswa Menepi: Apa yang Salah? mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi gerakan mahasiswa saat ini. “Sejarah mencatat, mahasiswa berperan vital dalam perubahan bangsa, baik pada 1966 maupun 1998. Namun kini, wajah gerakan mahasiswa tampak melemah, kehilangan arah, bahkan menepi,” ujar Radityo.
Menurut Radityo, represi negara menjadi faktor utama menurunnya partisipasi mahasiswa. Larangan aktivitas kritis di kampus, pelabelan radikal, hingga ancaman sanksi akademik membuat mahasiswa enggan bersuara. Ditambah lagi dengan budaya individualisme, tekanan prestasi akademik, serta kuatnya pengaruh media sosial yang lebih mendorong pencitraan pribadi ketimbang solidaritas sosial.
Tak hanya represi fisik, represi digital juga marak. SAFEnet mencatat peningkatan penggunaan UU ITE terhadap warga, termasuk mahasiswa, yang menyuarakan kritik di media sosial. Polarisasi informasi memperparah situasi, membuat mahasiswa terpecah dalam gelembung informasi yang memperlemah dialog dan kerja kolektif.
“Mahasiswa tetap menjadi elemen strategis dalam menjaga demokrasi. Di tengah lemahnya fungsi kontrol dari institusi negara, mahasiswa masih memegang legitimasi moral dan kekuatan massa,” tegas Radityo. Ia menegaskan pentingnya membangun kembali kesadaran politik, memperkuat literasi digital, serta menghidupkan kembali diskusi kritis di kampus.
Radityo juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas kampus dan lintas isu. “Gerakan mahasiswa tak akan kuat jika berjalan sendiri. Konsolidasi nasional seperti di era Reformasi 1998 perlu dibangkitkan kembali,” ujarnya. Teknologi, menurutnya, bisa menjadi alat advokasi efektif jika digunakan secara kreatif dan substansial.
Kajian ini sekaligus menjadi alarm bagi seluruh elemen bangsa. Diamnya mahasiswa di tengah represi ruang sipil bukan sekadar kegagalan gerakan, melainkan ancaman serius bagi masa depan demokrasi Indonesia. “Keberanian mahasiswa untuk bangkit adalah tanda bahwa republik ini masih hidup,” pungkas Radityo.