Generasi Z, yang umumnya mencakup individu yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, dikenal sebagai generasi yang sangat terampil dalam teknologi. Mereka tumbuh di dalam dunia yang sepenuhnya digital, di mana informasi dapat diakses dengan cepat melalui perangkat pintar dan media sosial. Namun, di balik kemudahan akses ini, terdapat kekhawatiran serius mengenai tingkat literasi mereka. Ini bukan berarti mereka tidak dapat membaca, tetapi kedalaman pemahaman, minat terhadap bacaan panjang, dan kemampuan berpikir kritis terhadap informasi yang mereka konsumsi sering kali tidak memadai.
Fenomena ini dapat dilihat dari rendahnya minat baca buku fisik atau karya sastra yang mendalam. Banyak dari Generasi Z lebih memilih konten instan seperti video pendek, cuplikan berita, atau postingan di media sosial ketimbang membaca artikel panjang atau buku non-fiksi. Literasi dalam pengertian yang lebih luas yaitu kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mengevaluasi informasi menjadi tantangan yang besar. Hal ini berimplikasi langsung terhadap kemampuan mereka dalam mengambil keputusan, berkomunikasi secara efektif, serta menghadapi banjir informasi yang kadang menyesatkan.
Minimnya literasi juga berdampak pada kualitas diskursus publik. Di media sosial, sering kali kita melihat perdebatan yang dangkal dan opini yang tidak didasarkan pada data atau bacaan yang kredibel. Generasi Z yang aktif di ruang digital sering kali terlibat dalam penyebaran hoaks tanpa disadari, hanya karena mereka tidak terbiasa untuk memeriksa ulang sumber atau membaca hingga tuntas. Ini menjadi ironi, mengingat mereka adalah generasi yang paling terhubung secara informasi, namun belum tentu yang paling paham.
Tentu saja, tidak semua anggota Generasi Z mengalami krisis literasi. Ada juga banyak anak muda yang aktif membaca, berdiskusi secara kritis, bahkan menulis opini atau karya sastra. Namun, jumlah mereka belum mencerminkan arus utama. Budaya membaca yang dulunya menjadi ciri khas kaum intelektual kini kalah bersaing dengan budaya menonton dan menggulir layar. Bahkan, di lingkungan sekolah dan kampus, kegiatan membaca sering dianggap sebagai kewajiban, bukan kebutuhan atau kesenangan.
Penyebab rendahnya literasi ini cukup kompleks. Selain pengaruh media sosial dan gaya hidup yang serba cepat, sistem pendidikan juga berperan. Kurikulum yang terlalu padat, kurangnya metode pembelajaran yang menarik, dan minimnya akses terhadap bacaan berkualitas turut memperparah keadaan. Bahkan, di beberapa daerah, akses terhadap buku dan internet yang edukatif masih sangat terbatas.
Solusinya jelas tidak instan, namun harus dimulai dari kebiasaan kecil. Orang tua, guru, dan pembuat kebijakan harus berupaya menciptakan lingkungan yang mendukung budaya baca sejak usia dini. Literasi tidak harus dimulai dengan buku tebal, bisa juga dari artikel, cerita pendek, atau esai ringan yang terpenting adalah menumbuhkan rasa ingin tahu dan kemampuan untuk memahami konteks secara mendalam. Selain itu, media digital juga dapat digunakan sebagai alat, bukan sebagai musuh. Konten edukatif di YouTube atau podcast dapat menjadi jembatan menuju literasi yang lebih luas.
Sebagai generasi penerus, Generasi Z memiliki potensi yang sangat besar. Namun, potensi tersebut bisa terbuang sia-sia tanpa adanya pondasi literasi yang kuat. Dunia masa depan menuntut lebih dari sekadar kemampuan teknis ia juga menuntut pemikiran kritis, komunikasi yang efektif, dan pemahaman yang mendalam. Jika Generasi Z dapat membangun kembali tradisi membaca dan literasi yang kuat, maka mereka tidak hanya akan menjadi pengguna informasi, tetapi juga pencipta pengetahuan yang cerdas dan bertanggung jawab.