Perkembangan sains modern sering dipuji sebagai puncak pencapaian rasionalitas manusia. Kita menyaksikan bagaimana teknologi digital, kecerdasan buatan, rekayasa genetika, hingga eksplorasi ruang angkasa berkembang dengan laju yang sulit dibayangkan satu abad lalu. Namun, di balik prestasi tersebut, muncul kegelisahan baru: apakah sains yang dilepaskan dari nilai-nilai ketuhanan justru melahirkan teknologi yang kehilangan akhlak?
Pertanyaan ini semakin relevan ketika kita membaca ulang sejarah perkembangan sains Barat yang selama berabad-abad mengalami proses sekularisasi. Dari sudut pandang Islam, hubungan antara ilmu pengetahuan dan nilai moral tidak pernah bisa dipisahkan. Ilmu adalah cahaya—dan cahaya sejatinya tidak bergerak tanpa petunjuk. Oleh karena itu, kritik terhadap perkembangan sains yang tumbuh tanpa fondasi spiritual bukanlah penolakan terhadap kemajuan, melainkan ajakan untuk kembali menyeimbangkan antara akal dan wahyu, antara teknologi dan akhlak.

Warisan Sains Barat dan Jejak Sekularisasi
Sejarah sains Barat tidak dapat dilepaskan dari peristiwa besar abad pertengahan dan modern: konflik gereja dengan ilmuwan, revolusi industri, dan lahirnya paham-paham baru seperti rasionalisme, dan humanisme. Sejak Galileo dan Copernicus dipertentangkan dengan otoritas gereja, Barat perlahan membangun paradigma bahwa kebenaran hanya sah jika dapat diukur secara empiris. Tuhan dipandang sebagai entitas privat, bukan sumber epistemologi.
Paradigma inilah yang kemudian melahirkan pemisahan antara “sains” dan “agama”. Sains ditempatkan sebagai domain objektif dan rasional, sementara agama dianggap bersifat subjektif dan emosional. Akibatnya, ketika revolusi industri meledak pada abad ke-18, ilmu pengetahuan berkembang dengan orientasi yang sepenuhnya bersifat duniawi. Sains yang tidak lagi disandarkan pada nilai ketuhanan telah membuka ruang kosong: siapa yang bertanggung jawab atas etika penggunaan teknologi?
Sudut Pandang Islam: Ilmu yang Terikat Wahyu
Dalam tradisi Islam, ilmu tidak pernah berdiri sendiri. Sejak masa para ulama klasik, seperti Al-Ghazali, Ibn Sina, Ibn Haytham, Al-Biruni, hingga Ibn Rushd, sains berkembang dalam kerangka tauhid. Bahkan, motivasi utama lahirnya sains Islam klasik adalah memahami sunnatullah dalam ciptaan-Nya.
Alquran menyebut pencarian ilmu sebagai ibadah: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan…” (QS. Al-‘Alaq: 1).
Ayat ini tidak hanya memerintahkan membaca, tetapi juga mensyaratkan bahwa proses memahami realitas harus dimulai “dengan nama Tuhan”. Artinya, ada kesadaran transendental yang mendasari setiap pencarian ilmu.
Karena itu, sains dalam Islam tidak bebas nilai. Ia selalu diarahkan pada kemaslahatan, pada upaya menghadirkan rahmat bagi alam semesta. Inilah yang membuat para ilmuwan Muslim masa keemasan merumuskan etika penelitian, membatasi eksperimen tertentu, serta menempatkan nilai spiritual di pusat metodologi ilmiah.
Krisis Etika Teknologi di Dunia Modern
Ketika sains dilepaskan dari nilai-nilai moral, lahirlah berbagai krisis baru di era modern. Kita melihat bagaimana perkembangan teknologi digital menciptakan masalah privasi, dan manipulasi informasi. Di sisi lain, kemajuan bioteknologi menghadirkan dilema tentang rekayasa genetika, bayi hasil desain (designer babies), dan komersialisasi organ manusia.
Semua ini menunjukkan bahwa teknologi tidak pernah netral. Setiap inovasi membawa konsekuensi moral. Pertanyaannya: tanpa Tuhan, siapa yang menjadi kompas moral? Tanpa akhlak, teknologi akan dikendalikan oleh kepentingan pasar, politik, dan kekuasaan.
Contoh paling ekstrem adalah industri persenjataan. Sains modern telah melahirkan bom nuklir yang mampu melenyapkan jutaan nyawa dalam hitungan detik. Ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi jalan bagi kemajuan manusia justru berubah menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup itu sendiri.
Di sinilah kritik terhadap sains Barat menjadi relevan. Bukan karena sains Barat salah, melainkan karena ia telah terlepas dari etika universal yang dipegang teguh oleh peradaban Islam. Tanpa nilai-nilai ketuhanan, sains kehilangan tujuan; ia bergerak tanpa arah, tanpa batas.
AI sebagai Bukti Kemajuan Teknologi—dan Tantangan Akhlak
Salah satu contoh paling nyata dari kemajuan teknologi modern adalah kecerdasan buatan (AI). Kehadiran AI telah mengubah berbagai aspek kehidupan: pendidikan, kesehatan, transportasi, komunikasi, hingga ibadah.

AI mampu menganalisis data dalam hitungan detik, membantu diagnosis penyakit, mengoptimalkan sistem transportasi, dan bahkan menjadi alat dakwah digital melalui penyediaan tafsir, hadis, dan literatur Islam secara cepat dan akurat.
Di satu sisi, AI adalah bukti nyata bahwa manusia telah mencapai tingkat kecanggihan teknologi yang luar biasa. Namun, di sisi lain, keberadaan AI menghadirkan pertanyaan moral yang tidak kalah penting:
Siapa yang bertanggung jawab jika AI digunakan untuk menyebarkan hoaks, fitnah, atau pornografi?
Bagaimana jika data pribadi pengguna dimanfaatkan tanpa izin?
Bagaimana dengan potensi AI menggantikan pekerjaan manusia dan menimbulkan ketimpangan ekonomi?
Pertanyaan-pertanyaan ini jelas menunjukkan bahwa perkembangan AI membutuhkan panduan etik yang kuat. Dari kacamata Islam, akhlak menjadi kunci dalam mengarahkan penggunaan AI agar tidak menimbulkan mudarat. Prinsip kejujuran, amanah, kehati-hatian, dan tanggung jawab harus menjadi dasar setiap inovasi dan pengaplikasian teknologi.
Dengan demikian, AI mengajarkan kepada kita bahwa teknologi yang canggih sekalipun tetap membutuhkan bimbingan akhlak. Tanpa itu, kecerdasan buatan dapat berubah menjadi kecerdasan yang membahayakan.
Membaca Ulang Sains Barat dengan Kacamata Islam
Membaca ulang sejarah sains Barat bukan berarti menolak seluruh capaian peradabannya. Islam menghargai ilmu, dari mana pun ia datang. Rasulullah SAW bahkan memerintahkan umatnya untuk belajar sampai ke negeri Cina—sebuah simbol keterbukaan terhadap berbagai peradaban.
Namun, membaca ulang berarti menempatkan sains Barat dalam konteks yang lebih kritis. Bahwa kemajuan teknologi bukan hanya soal kecanggihan, tetapi juga soal tujuan dan etika. Islam menawarkan paradigma yang lebih menyeluruh: ilmu harus terintegrasi dengan akhlak, dan akhlak bersumber dari nilai ilahiah.
Kita dapat menerima teknologi modern, tetapi juga memberi kritik terhadap orientasinya. Kita dapat mengembangkan sains kontemporer, tetapi tetap menjaga nilai-nilai tauhid sebagai fondasi.
Menuju Peradaban yang Berkeadaban
Di tengah booming teknologi digital dan revolusi artificial intelligence, dunia semakin membutuhkan pendekatan ilmu yang berpijak pada moralitas. Sains yang tidak memiliki batas moral akan menciptakan dunia yang tidak manusiawi. Karena itu, kembalinya nilai ketuhanan dalam sains bukanlah langkah mundur, melainkan langkah maju menuju peradaban yang lebih beradab.
Islam menawarkan salah satu solusi: mengintegrasikan akal dan wahyu, mengharmonikan teknologi dan akhlak, serta memastikan bahwa kemajuan tidak mengorbankan kemanusiaan.
Jika Barat telah membuktikan keberhasilan sains tanpa Tuhan, Islam menawarkan koreksinya: teknologi tanpa akhlak bukanlah kemajuan sejati, melainkan ancaman masa depan.
Pada akhirnya, krisis moral yang muncul dari perkembangan teknologi modern menunjukkan betapa pentingnya nilai spiritual dalam memahami dan mengarahkan sains. Dengan membaca ulang sejarah sains Barat dari kacamata Islam, kita dapat menemukan kembali prinsip bahwa ilmu bukan hanya alat, tetapi juga amanah.
Oleh karena itu, membaca ulang sains Barat dari kacamata Islam bukan sekadar kritik, tetapi ajakan untuk membangun peradaban yang seimbang: canggih secara teknologi, kuat secara spiritual, dan luhur secara moral.
Sains tanpa Tuhan mungkin mampu menghasilkan teknologi yang menakjubkan. Tetapi hanya sains yang berakhlak yang mampu menghasilkan kemajuan yang benar-benar berkeadaban.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”










































































