Satu hal yang sering luput dari perhatian dalam perbincangan tentang hak perempuan adalah hal yang paling dasar dan paling dekat dengan tubuh: akses terhadap sanitasi yang layak.
Di Lamongan—sebuah kabupaten yang terkenal dengan kekayaan pertanian, religiusitas pesantren, dan geliat perempuan yang aktif di berbagai ruang sosial—fakta yang diam-diam kita abaikan adalah betapa banyak perempuan masih kesulitan mengakses toilet bersih, air bersih, dan ruang aman untuk menjaga kebersihan dirinya, terutama saat menstruasi.
Masalah ini tidak hanya terjadi di pelosok desa, tetapi juga nyata di sekolah-sekolah, pesantren, bahkan kampus-kampus di wilayah Lamongan. Sebagai aktivis perempuan dan alumni bidang Kesehatan Lingkungan, saya tidak hanya melihatnya dari data dan teori, tetapi juga dari cerita sehari-hari para perempuan muda yang harus mengandung rasa malu, ketidaknyamanan, bahkan gangguan kesehatan karena minimnya fasilitas sanitasi yang manusiawi.
Pernahkah kita membayangkan bagaimana rasanya menjadi siswi di sekolah menengah atau santriwati di pesantren yang harus menahan buang air karena toilet terlalu kotor, tidak berpintu, atau tidak memiliki air sama sekali? Pernahkah kita bertanya-tanya, bagaimana seorang mahasiswi yang sedang haid di tengah jadwal kuliah yang padat, tetapi tidak menemukan tempat yang layak untuk mengganti pembalut, apalagi tempat untuk mencuci tangan dengan layak? Itu belum termasuk stigma sosial yang membuat mereka harus “sembunyi-sembunyi” membawa pembalut atau meminta izin ke toilet. Di banyak ruang publik, suara tubuh perempuan masih dianggap tabu. Dan dari ketabuan itu, lahirlah ketidakpedulian sistemik. Padahal, sanitasi bukan semata-mata urusan udara dan bangunan. Ia adalah tentang martabat, tentang rasa aman dan tentang hak dasar manusia yang paling mendasar—terutama bagi perempuan.
Sayangnya, banyak kebijakan pembangunan infrastruktur, termasuk sanitasi, tidak dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan spesifik perempuan. Di beberapa kecamatan di Lamongan, hasil penelitian kecil yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Kopri PC PMII Lamongan menunjukkan bahwa toilet umum di sekolah seringkali digabung tanpa visibilitas yang aman antara laki-laki dan perempuan. Bahkan di beberapa pesantren putri, jumlah toilet tidak sebanding dengan jumlah santri, dan seringkali udara menjadi masalah utama ketika musim kemarau.
Inilah bentuk ketimpangan yang tidak selalu terlihat, tetapi efeknya sangat besar. Ketika perempuan tidak mempunyai akses terhadap sanitasi yang layak, mereka lebih berisiko mengalami infeksi saluran kemih, gangguan reproduksi, bahkan bisa memicu putus sekolah hanya karena rasa malu atau tidak nyaman saat menstruasi.
Sebagai aktivis KOPRI, kami terus menyuarakan bahwa perempuan harus dilibatkan dalam setiap proses perencanaan pembangunan, termasuk pembangunan sanitasi dan sarana air bersih. Tidak cukup hanya menyediakan toilet, tetapi juga harus menyediakan fasilitas ramah perempuan, aman, bersih, dan menjaga privasi.
Kami mendorong agar pemerintah desa, pihak sekolah, yayasan pesantren, hingga pengelola kampus di Lamongan mulai memprioritaskan hak sanitasi sebagai bagian dari pembangunan manusia. Kampus jangan hanya bangga dengan gedung megah dan Wi-Fi cepat, tapi toilet perempuan tidak terurus. Pesantren jangan hanya fokus pada hafalan dan adab, tapi lupa bahwa kebersihan dan sanitasi adalah bagian dari thaharah yang wajib dijaga.
Dalam perjuangan kesetaraan gender, hal-hal besar memang penting—hak politik, ruang kepemimpinan, akses ekonomi. Tapi perjuangan yang tak kalah penting justru ada di ruang yang sering diremehkan, toilet, air bersih, tempat sampah, dan ruang istirahat yang aman. Kita tidak sedang berbicara tentang kemewahan. Kita sedang berbicara tentang hak hidup yang layak. Jika hari ini perempuan di Lamongan masih harus menahan pipis karena toilet rusak, atau sembunyi-sembunyi saat haid karena fasilitasnya tidak mendukung, maka kita belum benar-benar adil.
Sebagai aktivis perempuan, saya ingin mengingatkan, keadilan gender bisa dimulai dari air bersih dan toilet yang layak. Karena dari sanalah martabat perempuan dijaga, atau dilukai.
Oleh:
Finda Dwi Faridatul Jannah (Koordinator Bidang Advokasi dan Gerakan KOPRI PC PMII Lamongan)