Reformasi Penilaian sebagai Pilar Mutu Pendidikan
Transformasi pendidikan di Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada perubahan kurikulum atau pembangunan infrastruktur. Salah satu elemen krusial yang kerap luput dari perhatian adalah sistem penilaian terhadap tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Padahal, penilaian yang objektif, berkelanjutan, dan berbasis pembinaan adalah fondasi penting dalam membangun mutu pendidikan secara sistemik.
Sistem penilaian konvensional yang berorientasi administratif, terpusat, dan minim umpan balik kini semakin ditinggalkan. Sebagai gantinya, lahirlah pendekatan baru yang lebih humanistik, partisipatif, dan ditopang oleh teknologi digital. Tangerang Selatan menjadi salah satu daerah yang mulai memelopori pendekatan ini dan patut dijadikan percontohan nasional.
Tangerang Selatan: Studi Kasus Praktik Baik
Di Tangerang Selatan, sejumlah sekolah telah menerapkan penilaian kinerja guru dan tenaga kependidikan berbasis digital dan reflektif, salah satunya melalui platform EduAssessment. Inovasi ini tidak hanya mengubah cara guru dievaluasi, tetapi juga membangun budaya pembelajaran yang lebih terbuka, adaptif, dan berorientasi pada pengembangan diri.
Dalam sistem ini, penilaian dilakukan secara kolaboratif: melibatkan kepala sekolah, guru sejawat, siswa, dan penilaian diri. Portofolio digital berisi dokumen pembelajaran, refleksi, dan inovasi menjadi alat utama dalam menilai kinerja. Bahkan tenaga kependidikan seperti pustakawan, petugas administrasi, dan teknisi laboratorium juga dievaluasi melalui log aktivitas digital dan survei kepuasan pengguna.
Pergeseran Paradigma: Dari Evaluasi ke Pembinaan
Menurut Dr. Hj. Sri Utaminingsih, S.H., S.Pd., M.MPd., M.H., dosen Universitas Pamulang yang membimbing kajian ini, penilaian tidak boleh lagi hanya menjadi instrumen evaluasi pasif. “Transformasi penilaian harus berfungsi sebagai alat pembinaan, bukan sekadar pengukuran. Guru dan staf harus diberdayakan, bukan diawasi secara birokratis,” jelasnya.
Beliau menekankan pentingnya pelatihan evaluator sekolah, pembekalan teknologi, dan penyusunan indikator kinerja yang kontekstual. Dengan begitu, hasil penilaian akan benar-benar menggambarkan potensi dan tantangan nyata di lapangan.
Komentar Mahasiswa Pascasarjana: Wajah Baru Penilaian Pendidikan
Kami, mahasiswa Pascasarjana Universitas Pamulang, melakukan studi dan pengamatan lapangan sebagai bagian dari tugas akhir mata kuliah Pengembangan Sumber Daya Manusia. Berdasarkan temuan di sekolah-sekolah mitra, kami menarik beberapa kesimpulan penting:
Romadhona Diah Mustikarini melihat adanya pergeseran budaya di kalangan guru. “Penilaian kini lebih reflektif. Guru bisa menyusun rencana pengembangan diri berdasarkan umpan balik konkret, bukan sekadar angka atau penilaian formalitas.”
Sunanto menilai bahwa transparansi indikator sangat berpengaruh terhadap motivasi kerja. “Ketika indikator jelas dan berbasis data, guru lebih percaya terhadap sistem dan lebih terdorong untuk berkembang.”
Moh. Ihwanudin menyoroti tantangan pada sisi kepala sekolah. “Belum semua kepala sekolah dibekali pelatihan sebagai asesor. Padahal peran mereka sangat krusial dalam menjaga obyektivitas penilaian.”
Vina Riani menekankan perlunya inklusivitas dalam penilaian. “Selama ini peran tenaga kependidikan sering terpinggirkan. Padahal kontribusi mereka sangat vital, terutama dalam sistem manajemen dan pelayanan pendidikan.”
Teknologi sebagai Enabler, Bukan Sekadar Alat
Peran teknologi tidak bisa diabaikan dalam transformasi ini. Aplikasi seperti SIPK, SIMPATIKA, LMS, hingga EduAssessment menjadi sarana yang memungkinkan integrasi data, dokumentasi digital, dan pelaporan yang real-time. Namun, teknologi hanyalah alat. Yang jauh lebih penting adalah membangun budaya evaluatif yang sehat di lingkungan sekolah—budaya yang menerima kritik, terbuka terhadap umpan balik, dan terus mendorong pembelajaran berkelanjutan.
Menuju Model Nasional Penilaian Pendidikan
Model yang kini diterapkan di beberapa sekolah di Tangerang Selatan menunjukkan hasil yang menggembirakan. Lebih dari 80% guru mengalami peningkatan skor kinerja dalam dua siklus penilaian. Kualitas pembelajaran meningkat, keterlibatan siswa bertambah, dan layanan tenaga kependidikan semakin responsif.
Keberhasilan ini telah mendorong Dinas Pendidikan setempat untuk mereplikasi sistem ini di 25 sekolah negeri lainnya pada tahun 2026. Jika diterapkan secara nasional dengan pendekatan adaptif lokal, Indonesia berpeluang membangun sistem penilaian yang sejajar dengan standar pendidikan global seperti yang direkomendasikan oleh OECD dan UNESCO.
Penutup: Penilaian sebagai Jalan Menuju Sekolah Merdeka
Penilaian yang baik tidak hanya melihat hasil, tetapi juga menghargai proses dan potensi. Sistem yang partisipatif, berbasis data, dan diarahkan pada pengembangan akan menghasilkan pendidik yang tidak hanya bekerja dengan baik, tetapi juga terus tumbuh dan belajar.
Dalam semangat Merdeka Belajar, sudah saatnya Indonesia meninggalkan pola penilaian lama yang menekan dan menggantikannya dengan model pembinaan yang memerdekakan. Karena sejatinya, pendidikan yang berkualitas hanya bisa lahir dari guru yang merasa dihargai, didengar, dan diberdayakan.
*) Penulis:
Moh. Ihwanudin, Romadhona Diah Mustikarini, Sunanto, dan Vina Riani
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Pamulang – Program Studi S2 Manajemen Pendidikan
Dosen Pembimbing: Dr. Hj. Sri Utaminingsih, S.H., S.Pd., M.MPd., M.H.