Urbanisasi selalu dipromosikan sebagai tanda kemajuan. Kota menjadi magnet baru bagi mereka yang mengejar pekerjaan, pendidikan, hingga sekadar ilusi “hidup yang lebih baik.”Namun, di balik gemerlap gedung dan padatnya arus mobilitas, ada paradoks yang jarang dibicarakan: kota makin ramai, tetapi manusianya justru semakin sepi. Fenomena ini bukan sekedar soal kepadatan penduduk, tetapi tentang arah pembangunan yang sering kali tidak berpihak pada manusia melainkan pada kapital, kecepatan, dan kompetisi.
Secara teoritis, urbanisasi dipicu oleh daya pusat tarik-pusat ekonomi sebagaimana dijelaskan oleh Lewis dalam Dual Sector Model, bahwa migrasi dari desa ke kota terjadi ketika sektor modern dianggap lebih menguntungkan. Namun dalam praktiknya di Indonesia, perpindahan ini sering tidak berarti ketersediaan ruang hidup yang layak. Akibatnya lahirlah kelas perkotaan yang “mengapung”: hidup di kota, namun tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari kota itu sendiri.
Kondisi ini selaras dengan kritik Georg Simmel, sosiolog klasik yang menulis bahwa kehidupan kota menciptakan “blasé sikap”, yaitu sikap cuek dan kebal terhadap sekitar akibat terlalu banyak rangsangan sosial. Dalam suasana seperti ini, manusia dipaksa beradaptasi dengan ritme yang cepat sehingga empati, kehangatan, dan interaksi kerap terjadi. Kota menjadi ruang yang padat secara fisik, namun kosong secara emosional.
Masalahnya bukan pada urbanisasi itu sendiri, melainkan pada urbanisasi yang tidak memiliki arah. Kota tumbuh secara kuantitatif, bukan kualitatif. Pembangunan berpusat pada pusat kebudayaan, bukan pusat kebudayaan. Transportasi buruk, tetapi ruang interaksi dipersempit. Alih-alih menjadi tempat bertemu, kota berubah menjadi tempat berlomba. Dalam konteks konsep dasar IPS, ini menunjukkan hubungan antara interaksi sosial, ruang dan tempat, serta kebijakan publik yang tidak selaras dengan kebutuhan masyarakat.
Fenomena “kesepian di tengah keramaian” bukan lagi jargon puitis; penelitian psikologi urban justru memperkuatnya. Robert Putnam, dalam karyanya tentang menurunnya modal sosial, menegaskan bahwa masyarakat modern mengalami penurunan interaksi yang berarti “kita bermain bowling sendirian,” katanya. Kota tumbuh, tapi
ikatan sosial merapuh. Orang berdesakan di stasiun, tetapi merasa sendiri. Hidup berdampingan, tapi tidak pernah benar-benar berhubungan.
Urbanisasi yang sehat harus memperkuat jejaring sosial, bukan menghancurkannya. Pembangunan manusia harus berjalan beriringan dengan pembangunan fisik. Kota yang manusiawi adalah kota yang menyediakan ruang publik untuk bertemu, kebijakan yang inklusif, transportasi yang memudahkan, dan perumahan yang layak bagi semua kalangan bukan hanya yang mampu.
Jika tidak, kita akan terus hidup dalam ironi: kota tampak hidup dari luar, tetapi kosong di dalamnya. Barangkali benar apa yang dikatakan Sukarno, “Bangsa yang besar bukan hanya membangun gedung-gedung tinggi tetapi jiwa manusianya.” Kota pun demikian. Bukan tinggi bangunannya yang menentukan kualitasnya, tetapi apakah manusia yang tinggal di dalamya merasa “menjadi manusia”,
Pada akhirnya, pertanyaan yang perlu kita ajukan bukan lagi “mengapa orang datang ke kota?”, melainkan “untuk siapa kota ini dibangun?”. Selama urbanisasi tidak memiliki arah yang berpihak pada manusia, maka kota akan terus ramai dan manusianya akan terus menyepi.
Nilna Goyatal muna
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”






































































