Budaya Lokal yang Terlupakan: Krisis Identitas di Kalangan Generasi Muda
Budaya adalah jati diri sebuah bangsa. Ia tumbuh dari nilai-nilai leluhur, hidup dalam seni dan bahasa, serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun kini, budaya lokal Indonesia menghadapi tantangan serius: menurunnya kepedulian dari generasi muda. Di tengah gempuran budaya global dan pesatnya perkembangan teknologi, tradisi dan identitas lokal seakan tergeser dari ruang publik maupun ruang kesadaran.
Fenomena Kurangnya Kepedulian terhadap Budaya Lokal
Semakin banyak generasi muda yang merasa bahwa budaya tradisional adalah sesuatu yang kuno, membosankan, atau bahkan tidak relevan. Menurut penelitian Syahrir, Sulthan, dan Lasimpo (2022), kurangnya keterlibatan generasi muda dalam pelestarian budaya disebabkan oleh persepsi negatif terhadap nilai-nilai tradisional yang dianggap tidak sejalan dengan gaya hidup modern. Padahal, budaya lokal bukanlah hambatan, melainkan kekayaan yang membedakan Indonesia dari negara lain.
Sebuah laporan Kompas (2008) juga menunjukkan kekhawatiran serupa sejak beberapa dekade lalu, ketika kesenian daerah mulai kehilangan peminat, dan bahasa daerah mulai jarang digunakan di kalangan remaja. Fenomena ini semakin diperparah dengan dominasi media sosial yang lebih banyak menampilkan tren luar negeri daripada memperkenalkan kekayaan budaya lokal.
Generasi Z dan Mindset Global yang Serba Praktis
Generasi Z adalah generasi yang tumbuh di era internet, teknologi cepat, dan interaksi global. Dalam wawancara yang dirilis Universitas Airlangga (2023), banyak dari mereka mengaku lebih memilih budaya populer global karena dianggap lebih praktis, fleksibel, dan mudah diakses. Budaya lokal, yang sering kali dikemas dalam bentuk tradisional, upacara panjang, atau simbolik, tidak selalu sesuai dengan ritme cepat dan pola pikir instan generasi digital.
Namun, tantangan ini tidak bisa menjadi alasan untuk menyerah. Justru inilah saatnya kita berpikir ulang: bagaimana menghadirkan budaya lokal dalam format yang lebih relevan, adaptif, dan menarik bagi generasi muda.
Peran Pendidikan, Media, dan Komunitas Lokal
Salah satu solusi penting adalah memperkuat integrasi budaya lokal dalam pendidikan. Tidak cukup sekadar menyisipkan tarian daerah dalam pelajaran seni budaya. Sekolah harus menjadi ruang kreatif yang mampu membangun kebanggaan terhadap budaya sendiri—baik melalui kurikulum, proyek kolaboratif, maupun festival budaya yang digagas siswa.
Media dan influencer lokal juga memiliki peran besar dalam membentuk persepsi. Ketika budaya lokal dikemas dengan cara yang segar, interaktif, dan sesuai bahasa visual anak muda, maka daya tariknya akan meningkat. Hal yang sama juga berlaku untuk komunitas lokal, yang bisa menjadi ruang nyata bagi generasi muda untuk mengalami budaya secara langsung, bukan hanya sebagai teori di buku pelajaran.
Budaya Bukan Milik Masa Lalu, Tapi Aset Masa Depan
Menjaga budaya lokal bukan berarti menolak kemajuan. Sebaliknya, inilah kesempatan untuk menyelaraskan antara warisan dan inovasi. Generasi muda tidak perlu memilih antara menjadi modern atau mencintai budaya—karena keduanya bisa berjalan beriringan. Melalui pendekatan kreatif seperti digitalisasi cerita rakyat, pengembangan UMKM berbasis budaya, hingga promosi wisata budaya lewat media sosial, nilai-nilai lokal bisa terus hidup dan berkembang dalam kerangka masa kini.
Kesimpulan
Menurunnya kepedulian generasi muda terhadap budaya lokal adalah sinyal peringatan bagi masa depan identitas bangsa. Namun, ini bukan akhir—melainkan ajakan untuk beradaptasi dan membumikan kembali budaya dengan cara yang relevan. Budaya adalah sumber daya yang tak tergantikan, dan generasi muda adalah penjaga estafetnya. Jika tidak sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, siapa lagi?
Penulis: Enjelin Amanda Dewi
Sumber gambar: istockphoto.com