Urgensi Etnopedagogi di Era Modern: Merawat budaya di Tengah Derasnya Arus Globalisasi
Oleh : Diana Friska Manalu | Mahasiswa Pendidikan Biologi
Pekanbaru, 4 juli 2025 — Sebagai mahasiswa dalam menghidupkan kembali nilai-nilai etnopedagogi juga menjadi bagian penting dari transformasi pendidikan. Mahasiswa sebagai calon guru perlu memiliki kesadaran kritis terhadap pentingnya budaya lokal dalam pembentukan karakter peserta didik. Melalui tugas-tugas kampus, praktik mengajar, hingga program pengabdian masyarakat, nilai-nilai lokal dapat terus dikenalkan dan dipraktikkan dalam pembelajaran.
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan budaya luar yang mudah diakses, pendidikan kita menghadapi tantangan serius: bagaimana mempertahankan nilai-nilai budaya lokal dalam pembelajaran sehari-hari. Dalam kondisi ini, mata kuliah etnopedagogi menjadi semakin penting untuk membentuk generasi muda yang tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga memiliki rasa cinta terhadap budayanya sendiri.
Etnopedagogi, menurut beberapa dosen saya, adalah cara untuk menghubungkan pendidikan dengan budaya yang hidup di tengah masyarakat. Melalui pendekatan ini, para guru tidak hanya menyampaikan materi, tapi juga menyisipkan nilai-nilai lokal yang mencerminkan jati diri bangsa. Saya sendiri mulai menyadari hal ini saat mengikuti kuliah lapangan yang mengangkat kearifan lokal Riau, khususnya dalam sistem gotong royong dan adat dalam pendidikan anak.
Sebagai mahasiswa, saya merasa bahwa pembelajaran akan terasa lebih “dekat” jika dikaitkan dengan kehidupan masyarakat sekitar. Misalnya, ketika belajar konsep ekosistem, dosen saya menggunakan contoh dari hutan adat di daerah Kampar. Hal ini membuat saya lebih mudah memahami materi sekaligus mengenal kekayaan budaya daerah sendiri. Tidak terasa seperti belajar dari buku saja, tapi juga dari kehidupan nyata.
Di luar kampus, saya juga melihat teman-teman yang menjalani KKN di pedesaan mulai mengangkat budaya lokal dalam kegiatan mengajar mereka. Ada yang mengajarkan anak-anak menari tarian tradisional, belajar bahasa daerah, bahkan membuat cerita rakyat jadi bahan bacaan. Ini bukti bahwa etnopedagogi bisa diterapkan secara nyata, bukan hanya teori dalam kelas.
Saya yakin, kalau semua calon guru mendapatkan pemahaman yang kuat tentang etnopedagogi, maka sekolah-sekolah kita bisa menjadi tempat yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga menanamkan akar budaya pada siswa. Di tengah globalisasi yang sering membuat kita lupa jati diri, etnopedagogi bisa menjadi cara sederhana namun bermakna untuk mempertahankan warisan budaya bangsa.
Namun sayangnya, belum semua institusi pendidikan memberikan perhatian khusus terhadap mata kuliah ini. Banyak yang masih terfokus pada capaian akademik dan nilai standar, padahal nilai budaya memiliki kekuatan besar dalam membentuk karakter siswa. Seharusnya, setiap program studi kependidikan mewajibkan etnopedagogi sebagai salah satu mata kuliah inti.
Etnopedagogi juga bisa menjawab kebutuhan pembelajaran yang inklusif dan relevan. Setiap daerah di Indonesia memiliki kekayaan budaya yang bisa dijadikan sumber belajar yang unik dan menarik. Guru yang peka terhadap lingkungan budayanya akan lebih mudah menjalin kedekatan dengan murid, karena mereka belajar dari hal-hal yang akrab di kehidupan sehari-hari.
Menurut pengalaman saya di kampus, dosen-dosen yang mengaitkan materi perkuliahan dengan budaya lokal justru membuat kelas lebih hidup dan diskusi lebih bermakna. Siswa jadi merasa pendapatnya dihargai karena pengalaman lokal mereka dianggap penting. Ini menumbuhkan rasa percaya diri dan kebanggaan terhadap budaya sendiri.
Pemerintah dan perguruan tinggi seharusnya mendukung pengembangan etnopedagogi ini lebih luas lagi. Misalnya dengan memberi ruang penelitian dan kegiatan kampus yang mengangkat tema budaya lokal. Dengan begitu, kita tidak hanya belajar tentang budaya, tapi juga berkontribusi dalam melestarikannya lewat pendidikan.
Pada akhirnya, etnopedagogi bukan sekadar mata kuliah. Ia adalah cermin dari bagaimana pendidikan bisa menjadi alat pelestarian budaya sekaligus penguat identitas bangsa. Sebagai mahasiswa, saya berharap lebih banyak guru masa depan yang siap mengajar dengan hati dan dengan budaya — karena pendidikan yang berakar pada budaya adalah pendidikan yang mengakar kuat dalam kehidupan siswa.