Kabupaten Subang, Jawa Barat, telah lama dikenal sebagai salah satu lumbung padi nasional. Peran vital ini tidak hanya diukur dari kuantitas hasil panen, tetapi juga dari kekayaan budaya yang melingkupinya. Di tengah ladang-ladang hijau yang terbentang luas, lahirlah sebuah tradisi unik: Bebegig Sawah.
Di tengah hiruk pikuk modernisasi, masyarakat agraris di Jawa Barat masih memegang teguh kearifan lokal yang terwujud dalam berbagai ritual dan kesenian. Salah satu yang paling menarik adalah fenomena Bebegig Sawah. Secara harfiah, Bebegig adalah boneka atau orang-orangan sawah—sosok yang dipasang petani sebagai strategi tradisional untuk menakut-nakuti hama, khususnya burung, demi menjaga hasil panen.
Bebegig, dalam bahasa Sunda, merujuk pada boneka jerami yang didirikan di tengah sawah, berfungsi sebagai scarecrow atau pengusir hama, terutama burung. Ia adalah penjaga pasif yang keberadaannya sunyi namun esensial. Namun, di Subang, Bebegig telah mengalami transformasi spiritual dan artistik, menjadi subjek utama sebuah perayaan komunal yang spektakuler: Festival Bebegig Sawah. Festival ini adalah afirmasi identitas agraris yang kuat, sebuah titik temu antara seni, dan ekologi.

Sawah Cipeujeuh: Panggung Budaya Komunal
Festival Bebegig Sawah telah berlangsung di lokasi yang memiliki nilai strategis dan simbolis: Sawah Cipeujeuh, bagian dari bentangan alam subur di Kampung Rancakandong, Kelurahan Sukamelang, Subang. Rancakandong, dengan hamparan sawahnya dan sistem irigasi yang masih terjaga, mewakili idealisme pertanian tradisional Sunda.
Penggunaan sawah aktif sebagai lokasi festival memiliki makna mendalam. Ini adalah upaya untuk menjaga otentisitas upacara, memastikan bahwa Bebegig kembali ke habitat aslinya. Arena festival adalah pematang sawah (galengan) dan petak-petak padi, menjadikannya sebuah land art (seni lahan) temporer yang autentik.
Oktober 2025: Momentum Syukur dan Harapan
Waktu pelaksanaan festival telah dilakukan di bulan Oktober 2025. Pemilihan bulan ini bukan tanpa alasan. Secara tradisional, Oktober berada di penghujung musim kemarau atau awal musim hujan, seringkali bertepatan dengan masa bulir padi tumbuh dan mengisi di wilayah lumbung padi seperti Subang.
Festival yang digelar berfungsi ganda: sebagai menyambut panen (Mapag Panen) atas melimpahnya hasil padi—yang merupakan sumbangsih Subang terhadap ketahanan pangan nasional—dan sebagai cara untuk mengusir burung. Suasana yang diciptakan adalah perpaduan kegembiraan pesta rakyat.
Material dan Simbolisme Agraris
Kostum Bebegig terbuat dari 100% bahan alami, seperti jerami padi kering, ijuk pohon aren, dedaunan, dan bambu. Penggunaan bahan-bahan ini adalah simbol mendalam dari ketergantungan manusia pada alam. Jerami, yang merupakan sisa panen, dihidupkan kembali menjadi sosok penjaga, menunjukkan siklus hidup dan mati di sawah. Hiasan-hiasan yang dipakai—seringkali berupa kembang-kembangan atau dedaunan liar—melambangkan kekayaan hayati dan kesuburan tanah Subang.
Perekat Komunitas dan Dialog Intergenerasi
Di era digital, Festival Bebegig Sawah berfungsi sebagai perekat sosial yang kuat. Proses pembuatan Bebegig melibatkan seluruh elemen masyarakat: sesepuh memberikan arahan filosofis dan ritual, seniman lokal merancang estetika, dan pemuda-pemudi melaksanakan eksekusi teknis. Ini menciptakan ruang dialog intergenerasi yang efektif, memastikan pengetahuan tradisional tentang pertanian, seni, dan ritual tersalurkan kepada generasi milenial dan Gen Z, menanggapi kekhawatiran akan punahnya warisan budaya.
Festival Bebegig Sawah di Sawah Cipeujeuh, Rancakandong, Subang, pada Oktober 2025, adalah lebih dari sekadar perayaan budaya. Ia adalah pernyataan politik budaya bahwa Subang akan terus menjaga statusnya sebagai lumbung padi nasional. Bebegig, sebagai simbol penjaga sawah, kini juga menjadi penjaga kearifan, penjaga seni, dan penjaga ketahanan pangan.
Melalui festival ini, masyarakat Rancakandong mengajarkan kita bahwa modernisasi pertanian harus berjalan beriringan dengan pelestarian tradisi. Keberlanjutan ekosistem sawah tidak hanya dijamin oleh teknologi irigasi canggih, tetapi juga oleh penghormatan yang mendalam terhadap alam, Festival ini menjamin bahwa setiap bulir padi yang dipanen di Subang mengandung nilai sejarah, seni, dan filosofi kehidupan yang tak ternilai harganya.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”






































































