Namanya Naura, 22 tahun. Mahasiswi semester akhir jurusan Ilmu Komunikasi, sambil magang di start up company di Jakarta. Setiap pagi bangun dengan kepala berat, bukan karena kurang tidur, tapi karena terlalu banyak pikiran. Target skripsi belum kelar, orang tua menunggu kabar, deadline kerjaan pun ikut mengejar. “Kayaknya aku Lelah terus, walau udah istirahat,” ucapnya.
Naura bukan satu-satunya. Di balik hidup yang penuh pencapaian dan resume yang padat, banyak anak muda hari ini hidup dalam kelelahan yang tak terlihat. WHO menyebutnya sebagai burnout, dan bagi Gen Z, ini bukan sekedar istilah, tapi kenyataan harian.
Menurut WHO pada artikel berjudul Burn-out an “occupational phenomenon”: International Classification of Diseases, burnout adalah fenomena Ketika seseorang mengalami stress berlebih dari lingkungan kerja yang tidak bisa diatasi dengan baik, yang ditandai dengan rasa Lelah berlebih, pandangan negatif terhadap kerjaan, dan menurunnya performa kerja.
Burnout ini bisa disebabkan oleh berbagai macam alasan. Research yang dilakukan oleh Amy Nichols and Simon Smith pada tahun 2024 mengatakan berbagai macam alasan kenapa Gen Z mengalami burnout, diantaranya adalah menginginkan kepuasan yang instan, kurangnya ketangguhan, anxiety, dan tingginya ekspektasi pekerjaan.
Fenomena burnout di kalangan Gen Z bukan sekadar perasaan sesaat. Data membuktikan bahwa kelelahan mental ini adalah pola global yang nyata. Pada tahun 2022, survei global oleh Cigna terhadap 12.000 responden dari berbagai negara menemukan bahwa 91 persen Gen Z pernah mengalami stres, dan 98 persen menunjukkan tanda-tanda burnout. Angka ini menjadikan Gen Z sebagai generasi paling rentan secara emosional, tumbuh di era serba cepat, serba online, dan serba dituntut.
Tren digital ikut memperparah tekanan itu. Google Trends menunjukkan lonjakan pencarian terkait frasa seperti “cara mengatasi burnout,” dan “lelah tapi harus produktif,” selama lima tahun terakhir. Di sosial media, istilah seperti self-healing, toxic productivity, dan mental breakdown mulai menjadi percakapan harian.

Setelah melakukan survey yang dibantu oleh 83 partisipan yang tersebar di Jabodetabek dan jika digambarkan dalam grafik, tekanan terbesar Gen Z berasal dari kombinasi: akademik, pekerjaan freelance, kondisi ekonomi tidak stabil, dan ekspektasi sosial media. Burnout ini tidak selalu tampak, sebab di permukaan, mereka tetap tersenyum dalam unggahan story, padahal dalam hati tengah berjuang untuk sekadar bertahan.
Jika tekanan itu dijabarkan dalam bentuk visual, hasilnya mencengangkan. Grafik pie yang diambil dari studi terbaru menunjukkan bahwa 46,3% sumber tekanan terbesar Gen Z berasal dari kondisi ekonomi yang tidak menentu serta rasa insecure terhadap masa depan. Ini bukan hanya soal uang jajan yang menipis, tapi keresahan sistemik: lapangan kerja yang makin sempit, gaji yang tak sebanding dengan beban, dan masa depan yang terlihat buram.

Di urutan kedua, 28,2% tekanan datang dari dunia akademik dan tugas kuliah. Di era di mana nilai bukan hanya angka, tetapi juga citra diri, banyak mahasiswa merasa mereka hanya sebaik IPK mereka. Tak jarang, kuliah menjadi beban psikis yang lebih berat dari beban kredit SKS.
19,8% sisanya datang dari pekerjaan freelance atau magang, bentuk kerja fleksibel yang dianggap keren, tapi justru sering memakan energi tanpa kejelasan arah. Jam kerja tidak menentu, batas profesional dan personal yang kabur, serta ekspektasi performa tinggi tanpa perlindungan kerja yang memadai menjadikan pengalaman kerja awal sebagai ladang stres yang sunyi.
Yang menarik, hanya 5,6% tekanan disebut berasal dari media sosial dan ekspektasi digital. Meski terlihat kecil, sebenarnya platform ini adalah amplifier, memperbesar rasa kurang, menciptakan ilusi bahwa orang lain lebih sukses, dan mempercepat kelelahan karena tekanan untuk tampil bahagia setiap waktu.
Namun, bukan berarti semua ini tak ada jalan keluar. Kesadaran akan burnout sudah mulai menjadi arus utama. Banyak komunitas mulai terbentuk, dari kelompok diskusi hingga kampanye kesehatan mental. Perusahaan dan institusi pendidikan juga mulai menyusun strategi untuk menjaga kesejahteraan mental generasi ini, meski jalannya masih panjang.
Naura dan jutaan Gen Z lainnya tak sendiri. Mereka bukan generasi lemah seperti yang sering dilabelkan, tapi generasi yang sedang berjuang keras, melawan kelelahan, ekspektasi, dan dunia yang berubah terlalu cepat. Hidup boleh seperti balapan, tapi waras adalah garis finish yang tidak bisa dikompromikan.
References:
- Carmichael, A., & Enomoto, K. (2023, June 22). The role of social media and tech in Gen Z’s mental health. McKinsey.com.
- Nichols, A., & Smith, S. (n.d.). What do Gen Z really want from a workplace? Oxford Brookes University.
- World Health Organization. (2019). Burn-out an “occupational phenomenon”: International Classification of Diseases. WHO.