Pergantian kurikulum yang terus terjadi di Indonesia kini menimbulkan pertanyaan besar: apakah pendidikan benar-benar bergerak maju, atau justru kehilangan arah? Dalam satu dekade terakhir, sekolah-sekolah di seluruh Indonesia harus beradaptasi dari KTSP ke Kurikulum 2013, kemudian ke Kurikulum Darurat selama pandemi, dan kini masuk ke Kurikulum Merdeka. Di atas kertas, pembaruan kurikulum bertujuan meningkatkan kualitas pembelajaran, namun di lapangan banyak guru dan siswa mengaku kewalahan. Pada tahun 2023 misalnya, sejumlah guru di daerah Jawa Barat menyatakan bahwa mereka masih kebingungan menerapkan Kurikulum Merdeka meskipun sudah mengikuti pelatihan, karena instruksi implementasi berubah-ubah dan tidak semua sekolah memiliki fasilitas yang memadai.
Di banyak sekolah, krisis kurikulum tampak dari beban administratif guru yang semakin berat. Dalam implementasi Kurikulum 2013, guru diwajibkan menyusun berbagai dokumen seperti RPP, penilaian sikap, penilaian pengetahuan, dan penilaian keterampilan secara terpisah. Seorang guru sekolah menengah di Padang menyebutkan bahwa hampir setengah dari waktunya tersita untuk mengisi dokumen penilaian, bukan mengajar. Pada sisi lain, jumlah siswa per kelas yang bisa mencapai 35–40 orang menyebabkan guru sulit menerapkan metode pembelajaran aktif seperti diskusi dan observasi sikap yang diwajibkan oleh K-13. Kondisi ini memperlihatkan jurang antara idealisme kurikulum dan realitas pelaksanaan di ruang kelas.
Siswa pun tak luput dari dampak krisis kurikulum. Pada puncak penerapan Kurikulum 2013, banyak siswa SMA mengeluhkan padatnya jumlah mata pelajaran dan tumpang tindih materi antar kelas. Misalnya, materi ekonomi dasar yang muncul kembali di kelas XII meskipun sudah dipelajari cukup detail di kelas XI. Hal ini membuat proses belajar tampak berkisar pada pengulangan, bukan pendalaman. Di sejumlah kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, siswa juga mengaku stres karena tuntutan proyek dan penilaian sikap yang harus aktif dan kreatif, sementara waktu belajar sangat padat. Situasi ini menunjukkan bahwa beban kurikulum sering kali tidak mempertimbangkan kondisi psikologis dan ritme belajar siswa.
Ketimpangan juga semakin terlihat ketika Kurikulum Merdeka mulai diterapkan. Kurikulum ini mengusung fleksibilitas, namun sekolah di daerah terpencil sering kali tidak memiliki guru yang cukup atau fasilitas digital pendukung. Di salah satu sekolah di NTT, guru mengaku kesulitan menerapkan pembelajaran berbasis proyek karena minimnya bahan pendukung dan keterampilan TIK. Bahkan, kebebasan memilih mata pelajaran (khususnya di SMA) memicu kebingungan jadwal dan kekurangan jam mengajar bagi guru tertentu, sehingga beberapa sekolah memilih tetap bertahan pada kurikulum sebelumnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan yang fleksibel tanpa kesiapan infrastruktur justru menambah masalah baru.
Jika krisis ini tidak segera ditangani, dampak jangka panjangnya sangat serius. Guru yang kelelahan secara administratif, siswa yang belajar hanya demi memenuhi tuntutan kurikulum, serta sekolah yang berubah-ubah mengikuti kebijakan tanpa persiapan jelas dapat mengancam kualitas lulusan. Dalam situasi seperti ini, kurikulum tampak kehilangan fungsi utamanya sebagai pemandu pembelajaran. Reformasi kurikulum seharusnya tidak hanya mengganti nama dan format, tetapi memperbaiki sistem pendukung seperti pelatihan guru berkelanjutan, ketersediaan buku dan fasilitas belajar, serta penyesuaian regulasi berdasarkan kondisi nyata sekolah. Tanpa hal tersebut, pendidikan Indonesia akan terus terjebak dalam siklus krisis kurikulum yang tak kunjung usai.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”




































































