Majalengka, 27/3/2025. Majalengka kembali menjadi latar sebuah film layar lebar. “Dendam dalam Dosa”, produksi Motion Brother Studio, siap tayang di berbagai bioskop daerah, termasuk di Cianjur, Cibadak,Subang,pemalang, Klaten, Solo, Ungaran Indramayu, hingga Kediri dan Probolinggo. Film ini mengangkat unsur horor dan mistis, yang seolah menegaskan citra Majalengka sebagai kota penuh misteri.
Namun, di tengah maraknya film bertema horor, muncul pertanyaan: Apakah Majalengka hanya bisa dikenal dari sisi mistisnya? Padahal, kota ini memiliki warisan sejarah, budaya, dan alam yang sangat kaya. Dari era Megalitik Klasik, Kerajaan Sunda, hingga masa kolonial Belanda, Majalengka menyimpan banyak kisah yang layak diangkat ke layar lebar.
Ketua yayasan Grumala, Nana Rohmana atau Kang Naro, menyoroti fenomena ini sebagai bagian dari dinamika industri film yang cenderung mengutamakan genre yang laris di pasaran. Namun, ia berharap ada keberimbangan dalam narasi yang diangkat tentang Majalengka.
“Kita sangat berterima kasih kepada Motion Brother Studio yang telah menampilkan objek wisata Majalengka dalam filmnya, dalam trailernya yang mengangkat wisata Situ Cipanteun, meskipun dalam konteks horor. Tinggal bagaimana masyarakat yang menilainya, karena penonton film Indonesia saat ini sudah sangat cerdas dalam menyaring pesan yang disampaikan,”_ ungkapnya.
Majalengka selama ini dikenal dengan berbagai julukan, seperti Kota Angin, Kota Kecap, Kota Kreatif, dan Kota Pensiun. Jejak sejarah dan kebudayaan Majalengka juga begitu kaya, mulai dari peninggalan Megalitik di Pancurendang, situs Kerajaan Talaga Manggung, hingga tradisi seni bertutur Gaok , yang baru beberapai hari pelestari gaok Aki Rukmin wafat ( 25/3/2025).
Belum lagi keindahan wisata alamnya, seperti Terasering Panyaweuyan, Curug Ibun Pelangi, Gunung Ciremai, hingga paralayang di Paraland.
Meskipun film horor memiliki daya tarik tersendiri bagi industri perfilman Indonesia, bukan berarti genre lain tidak bisa berkembang. Sejarah dan budaya Majalengka dapat menjadi inspirasi bagi sineas yang ingin mengeksplorasi sisi lain dari kota ini. Dengan dukungan komunitas budaya, pemerintah daerah, serta sineas lokal, Majalengka bisa dikenal bukan hanya sebagai “kota mistis” dalam film, tetapi juga sebagai kota dengan sejarah, budaya, dan panorama alam yang luar biasa.
Ke depan Majalengka tetap akan dikenang dalam balutan kisah horor, atau justru bangkit sebagai pusat film yang menampilkan sejarah dan kearifan lokalnya? Semua tergantung bagaimana kita, sebagai masyarakat dan pencinta film, mendukung dan mengarahkan narasi yang berkembang. Ungkap Kang Naro saat di wawancarai oleh Kontributor di Majalengka.(dyt)