Negeri yang mengklaim dirinya sebagai negara hukum, hukum justru kerap menjelma bayangan: tampak, namun tak pernah bisa diraba. Di atas tumpukan dokumen dan peraturan yang ditulis dengan tinta sah dan segel negara, kekuasaan kapital bergerak lincah—menyelinap di antara pasal-pasal, menertawakan batas ruang, dan melenggang di jalan rakyat dengan truk bertonase penuh muatan keserakahan.
Dua nama muncul dari rerimbun laporan, desas-desus desa, dan catatan masyarakat sipil yang tak pernah letih mencatat: PT Mas Putih Belitung dan PT Jui Shin Indonesia. Masing-masing beroperasi seperti biasa—biasa dalam artian baru, yakni menginjak aturan, menabrak ruang, dan melindas hidup warga. Yang satu menambang tanpa izin di hutan, yang satu lagi mendirikan istana semen di tanah yang tak ditakdirkan untuk industri. Keduanya beroperasi di atas fondasi yang retak: dokumen tanpa dasar, izin tanpa periksa, dan sistem OSS-RBA yang barangkali tak lebih dari etalase digital tempat para perampas alam mencetak surat legalitas seperti mencetak struk belanja swalayan.
Tambang yang Berdiri di Atas Kertas Kosong
PT Mas Putih Belitung mengais keuntungan dari perut bumi Karawang, tepatnya di Desa Tamansari. Lahannya ±3,67 hektare, cukup kecil jika dibandingkan dengan konglomerasi tambang raksasa, namun cukup untuk menyingkap borok sistem. Wilayah itu adalah kawasan hutan produksi, namun mereka bekerja seolah hutan hanyalah istilah dalam peta, bukan rezim hukum yang hidup. Tanpa IPPKH, perusahaan ini mengoperasikan alat berat dengan penuh percaya diri. Alasannya? Mereka punya dua lembar dokumen PMP-UMK. Selembar kertas yang mestinya ditujukan bagi warung kopi atau pengrajin rotan, kini digunakan sebagai perisai tambang legalitas. Sebuah ironi yang tidak lucu, tapi terus berulang.
Perusahaan ini juga tak repot-repot mengurus izin penggunaan jalan. Mereka memakai jalan umum untuk truk tambang, tanpa IPPBJ, tanpa rasa bersalah, seperti tamu tak diundang yang tetap masuk ke rumah orang dengan mengetuk pelan-pelan tanda sopan santun yang sudah basi. Sistem OSS pun dijejali data yang diduga tak sesuai kenyataan. Tapi OSS adalah sistem yang buta huruf terhadap realitas. Ia menerima semua entri, asal form-nya lengkap. Jadi, sah saja. Legalitas, kini, bisa dibeli dengan kecakapan bermain template.
Semen di Tanah yang Dilarang
Sementara itu, di Kabupaten Bekasi, PT Jui Shin Indonesia membangun kerajaan industri semen di Kecamatan Bojongmangu—tanah yang tak diberkahi izin industri. Perda RTRW sudah berkata tegas: kawasan itu bukan Kawasan Peruntukan Industri. Tapi apa gunanya peraturan jika perusahaan bisa bertindak sebagai juru tafsirnya sendiri? Mereka mendirikan pabrik besar, memproduksi lebih dari 1,5 juta ton semen per tahun. Dan seolah itu belum cukup, mereka tak punya AMDAL, tak punya ANDALALIN, tak punya PBG, dan tentu saja, tak punya IPPBJ. Tapi pabrik tetap berdiri megah, seperti monumen kesombongan atas hukum yang gagal ditegakkan.
Lebih menyedihkan, mereka bukan hanya pelanggar tata ruang, tapi juga simpul dari jaringan tambang ilegal lintas kabupaten. PT Jui Shin Indonesia diketahui menerima material dari Klapanunggal, Kabupaten Bogor—tambang ilegal yang baru-baru ini ditutup oleh Gubernur Jawa Barat. Artinya, perusahaan ini bukan hanya bermain di ranah abu-abu, tapi ikut merawat kelamnya perdagangan sumber daya yang tak sah. Hukum? Ah, mungkin hanya berlaku bagi pedagang kaki lima yang tak punya izin tenda.
Truk-Truk di Jalan yang Bukan Miliknya
Sehari-hari, armada truk perusahaan itu melintas di jalan Badami–Loji, jalan rakyat yang sederhana namun vital. Jalan ini bukan untuk industri, melainkan untuk anak-anak berangkat sekolah, petani mengangkut hasil panen, dan ibu-ibu berjalan pulang dari pasar. Kini, jalan itu dipenuhi truk pengangkut semen yang melintas tanpa ANDALALIN, tanpa izin, dan tentu saja, tanpa pertimbangan keselamatan. Jalan yang sempit itu kini menjadi lorong maut. Tapi nyawa rakyat rupanya tak semahal harga satu karung semen.
Truk-truk itu berisik, besar, dan arogan. Mereka bukan sekadar alat angkut, tapi simbol bahwa ruang hidup rakyat telah direbut oleh roda bisnis yang tak pernah berhenti, bahkan saat semua alarm peringatan hukum telah berbunyi keras.
Suara yang Dibungkam dan Kepala Desa yang Dipidanakan
Ketika masyarakat berbicara, mereka tidak didengar. Ketika kepala desa bersuara, ia dilaporkan. Dalam kasus Tamansari, kepala desa yang menolak tambang ilegal justru dikriminalisasi. Sebuah pembalikan moral yang menyedihkan. Mereka yang melindungi lingkungan dipenjara, mereka yang merusaknya mendapatkan perlindungan. Pasal 66 Undang-Undang PPLH yang seharusnya melindungi pembela lingkungan hanya menjadi ornamen dalam dokumen negara—cantik dalam kata, lumpuh dalam kuasa.
Kriminalisasi terhadap warga bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga amputasi terhadap demokrasi. Ini bukan soal satu orang dikriminalkan, ini soal pesan yang dikirimkan: diam, atau hadapi konsekuensi. Maka negeri ini pelan-pelan kehilangan suara rakyatnya, karena berbicara kini berisiko lebih mahal daripada membiarkan kesalahan.
Antara Negara, Modal, dan Tanah yang Terus Dirusak
Dua perusahaan ini adalah potret dari persoalan yang lebih besar. Masalahnya bukan hanya pada PT Mas Putih Belitung atau PT Jui Shin Indonesia. Masalahnya adalah pada sistem yang membiarkan mereka tumbuh seperti itu—sistem yang memberi ruang pada penyalahgunaan, yang lemah dalam pengawasan, dan yang senang memaafkan ketika pelakunya punya modal dan koneksi.
Negara tidak kekurangan hukum, tidak kekurangan lembaga, tidak kekurangan aparat. Yang kurang hanyalah keberanian berpihak. Ketika pelanggaran dianggap biasa dan pembela lingkungan dianggap ancaman, maka yang sedang runtuh bukan hanya hutan dan ruang hidup, tapi juga integritas hukum itu sendiri.
Maka pemulihan supremasi hukum tak bisa ditunda. Negara harus menghentikan aktivitas ilegal, mencabut izin yang cacat, dan mengadili mereka yang menjadikan bumi sebagai alat transaksi semata. Negara harus turun dari menara retorika dan mendengarkan suara yang keluar dari tanah, dari jalan desa, dari bibir warga yang lelah namun tetap melawan.
Dan bila negara tetap diam, maka kelak rakyat akan menulis sejarahnya sendiri—tentang bagaimana hukum pernah kalah, dan rakyat tak sudi tunduk.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”