Mengulik Klaim Menaker Soal Program Sekolah Rakyat
Program Sekolah Rakyat yang akan diluncurkan pada Juli 2025 merupakan salah satu inisiatif pendidikan paling ambisius pemerintah saat ini. Dengan target membangun 200 sekolah berasrama gratis di tahun pertama, program ini bertujuan memberikan pemerataan akses pendidikan sekaligus penanggulangan kemiskinan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Namun, di balik tujuan mulia tersebut, muncul pertanyaan mendasar: apakah implementasi program ini sudah matang ataukah masih memerlukan kajian lebih mendalam? Kalau menurut Prof Yassierli selaku menaker memberikan suatu tanggapan bahwa program ini sangat mulia dan sangat bagus.
Akan tetapi penulis disini memberikan suatu notif kepada para pakar yang mengatakan bahwa program ini sangat bagus, notifnya ialah program ini memerlukan kajian yang sangat mendalam atau komprehensif, kalau kita lihat dari perspektif tujuannya memang sangat-sangat bagus, inisiatif yang luar biasa bagi pemerintah saat ini akan tetapi dari segi implementasi rakyat masih bertanya-tanya?
Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam pemerataan akses pendidikan berkualitas, terutama bagi masyarakat di daerah terpencil dan keluarga kurang mampu.
Konsep sekolah berasrama gratis dengan fasilitas lengkap dapat menjadi solusi efektif untuk memutus mata rantai kemiskinan melalui pendidikan, akan tetapi konsepan seperti ini seakan-akan bahwasanya seseorang dengan berijazah tinggi akan menjadi sukses padahal???
Visi untuk menciptakan generasi yang tidak hanya terdidik secara akademis tetapi juga memiliki keterampilan hidup dan karakter yang kuat adalah sebuah idealisme yang perlu didukung. Namun, implementasi program besar-besaran seperti ini memerlukan persiapan yang sangat matang. Meskipun pemerintah mengklaim bahwa renovasi Sekolah Rakyat Tahap I sudah mencapai 83 persen secara nasional, pertanyaan mendasar tetap muncul: apakah kesiapan infrastruktur fisik saja sudah cukup?
Sebuah program pendidikan yang komprehensif memerlukan persiapan yang jauh lebih kompleks, mulai dari kurikulum, tenaga pengajar berkualitas, sistem manajemen sekolah, hingga mekanisme pengawasan dan evaluasi yang efektif.
Kritik dari berbagai kalangan akademisi dan praktisi pendidikan patut menjadi bahan pertimbangan serius. Pakar dari Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa program ini tidak mendesak dan sebaiknya difokuskan terlebih dahulu di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Kritik ini mengangkat isu prioritas yang sangat relevan. Mengapa membangun sekolah baru ketika masih banyak sekolah dasar eksisting yang kurang pemberdayaan bahkan terbengkalai? Logika ini menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kondisi infrastruktur pendidikan saat ini sebelum ekspansi program baru.
Keraguan masyarakat terhadap program ini juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Skeptisisme ini muncul bukan tanpa alasan, mengingat masih banyak sekolah eksisting yang memerlukan perhatian serius. Alih-alih membangun sekolah baru, mungkin lebih efektif jika pemerintah fokus pada perbaikan dan penguatan sekolah yang sudah ada. Pendekatan ini bisa memberikan dampak yang lebih luas dan merata bagi sistem pendidikan nasional secara keseluruhan.
Aspek komunikasi publik juga menjadi perhatian tersendiri. Kontroversi seputar nama Sekolah Rakyat yang mengingatkan pada era penjajahan Belanda menunjukkan perlunya sensitivitas dalam aspek branding dan komunikasi. Detail seperti ini, meskipun tampak sepele, dapat mempengaruhi persepsi dan dukungan masyarakat terhadap program ini. Komunikasi yang efektif dan sensitif terhadap konteks sejarah sangat penting untuk membangun legitimasi dan dukungan publik.
Tantangan implementasi yang paling krusial adalah memastikan keberlanjutan dan kualitas program. Membangun sekolah adalah satu hal, namun mempertahankan standar pendidikan yang tinggi dalam jangka panjang adalah tantangan yang jauh lebih kompleks. Diperlukan sistem monitoring dan evaluasi yang ketat, mekanisme penjaminan mutu yang konsisten, dan komitmen jangka panjang dari pemerintah untuk memastikan program ini tidak hanya menjadi proyek sesaat.
Dari perspektif kebijakan publik, pendekatan yang lebih bijaksana adalah melakukan pilot project terbatas di beberapa daerah prioritas sebelum ekspansi nasional. Melalui pendekatan bertahap ini, pemerintah dapat mengidentifikasi tantangan implementasi, melakukan perbaikan sistem, dan memastikan bahwa model yang dikembangkan benar-benar efektif sebelum direplikasi secara massal. Hal ini sejalan dengan prinsip evidence-based policy yang mengutamakan data dan bukti empiris dalam pengambilan keputusan.
Evaluasi mendalam terhadap infrastruktur pendidikan eksisting juga menjadi prasyarat penting. Kajian komprehensif tentang kebutuhan sebenarnya di lapangan, analisis gap antara supply dan demand, serta pemetaan daerah prioritas akan membantu memastikan bahwa sumber daya yang terbatas dapat dialokasikan secara optimal. Pendekatan ini akan lebih efektif dibandingkan pendekatan yang bersifat top-down tanpa mempertimbangkan kondisi riil di lapangan.
Program Sekolah Rakyat pada dasarnya adalah inisiatif yang patut diapresiasi dari segi niat dan visi. Namun, seperti halnya program besar lainnya, kesuksesan akan sangat bergantung pada kualitas perencanaan, implementasi yang hati-hati, dan kemampuan adaptasi berdasarkan pembelajaran di lapangan. Kehati-hatian dalam pelaksanaan bukan berarti penolakan terhadap program ini, melainkan upaya untuk memastikan bahwa program tersebut benar-benar memberikan manfaat optimal bagi masyarakat yang membutuhkan.
Dalam konteks pembangunan pendidikan nasional, yang dibutuhkan bukan hanya program yang ambisius tetapi juga program yang berkelanjutan dan berdampak nyata. Program Sekolah Rakyat memiliki potensi besar untuk menjadi game changer dalam dunia pendidikan Indonesia, namun realisasi potensi tersebut memerlukan persiapan yang matang, implementasi yang terukur, dan komitmen jangka panjang dari semua pihak yang terlibat. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif dan hati-hati, program ini dapat menjadi warisan positif bagi generasi mendatang.
Sekolah Rakyat ini masih memerlukan kajian yang komprehensif.
Oleh: Noval Sahori.