Dalam perjalanan sejarah pada negara Indonesia, Pancasila telah menjadi salah satu pandangan moral, politik, serta sosial bangsa. Akan tetapi, seperti api kecil yang muali padam serta bangunan tua yang sedang berdiri megah di tengah hiruk-pikuk kota modern. Pancasila sebagai lambang negara kini telah menghadapi ujian besar, apakah ideologi negara tersebut masih menjadi pijakan kokoh bagi masyarakat Indonesia, ataukah mulai tergerus oleh arus kuatnya zaman yang semakin deras?
Pancasila bukanlah sekadar hasil dari sebuah kebetulan pada saat berbicara, Pancasila merupakan cerminan yang mendalam dari nilai-nilai yang telah lama hidup dalam hati Masyarakat Indonesia. Kelima sila dari Ketuhanan hingga Keadilan Sosial merupakan simbol dari keberagaman identitas, keyakinan, dan pandangan hidup bagi Masyarakat Indonesia. Pancasila bukan hasil adopsi ideologi asing, akan tetapi produk kultural yang lahir dari rahim sejarah Indonesia sendiri.
Namun, kenyataan yang pahit pada hari ini menunjukkan adanya jarak yang makin lebar antara nilai-nilai ideal Pancasila dengan realitas yang terjadi pada sosial-politik yang berkembang pada saat ini. Toleransi yang begitu indah telah digantikan oleh fanatisme, gotong royong yang menjadi kebiasaan kini terkikis oleh individualisme, dan keadilan sosial sering tertinggal di belakang kepentingan orang-orang elite.
Kini zaman telah berubah. Informasi bergerak sangat cepat dalam hitungan detik, opini yang dibentuk oleh algoritma, dan identitas kadang didefinisikan oleh tren media sosial. Dalam situasi ini, Pancasila tidak hanya bersaing dengan ideologi asing, tetapi juga dengan cara berpikir pragmatis dan instan yang makin dominan.
Globalisasi membuka peluang besar khalayak yang ramai, namun dampak yang diberikan juga membawa tantangan ideologis. Liberalisme, kapitalisme, bahkan ekstremisme, masuk ke ruang-ruang pikir masyarakat tanpa saringan yang memadai. Pancasila, yang semestinya menjadi filter nilai bagi Masyarakat Indonesia justru kini sering absen dari percakapan sehari-hari bagi banyak orang. Ia terdengar dalam pidato seremonial, tetapi jarang dirasakan dalam tindakan nyata.
Ada tiga faktor utama yang membuat posisi Pancasila semakin terancam:
Krisis Keteladanan
Para pemimpin politik, tokoh masyarakat, bahkan lembaga negara sering gagal menjadi representasi nilai-nilai Pancasila. Ketika terjadinya korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan manipulasi hukum terjadi, masyarakat kehilangan referensi moral yang seharusnya menjadi contoh bagi banyak orang.
Pendidikan yang Dekontekstual
Pengajaran Pancasila di sekolah cenderung normatif dan tekstual. Nilai-nilai luhur itu diajarkan sebagai hafalan, bukan sebagai cara berpikir kritis dan hidup beretika. Akibatnya, generasi muda menganggap Pancasila hanya sebagai warisan masa lalu yang tidak relevan dengan tantangan mereka pada setiap harinya.
Minimnya Internalisasi di Ruang Publik
Di ruang publik, nilai-nilai Pancasila tidak mendapatkan tempat yang cukup kuat. Debat publik lebih sering dikuasai oleh narasi polarisasi agama, identitas, dan kepentingan politik jangka pendek, alih-alih diskusi yang berbasis kebangsaan dan keadilan sosial.
Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan keyakinan semata. Pancasila hanya dapat bertahan jika dihidupkan secara nyata. Ia harus kembali menjadi nilai hidup yang ditanamkan dalam keluarga, dibentuk dalam pendidikan, dan dijadikan dasar kebijakan publik. Negara harus menjadi contoh bukan hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai role model dalam mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Di sisi lain, masyarakat sipil, media, dan komunitas harus mengambil peran aktif untuk menjaga serta merawat Pancasila dari akar rumput. Penghayatan terhadap Pancasila tidak dapat dipaksakan dari atas akan tetapi dibangun dari kesadaran kolektif bahwa hanya dengan nilai-nilai itulah kita dapat bertahan sebagai bangsa yang besar dan juga bangsa yang kuat.
Pancasila tidak akan tergerus oleh zaman jika dari diri kita memilih untuk tidak membiarkannya ditinggalkan. Ia bukan dogma mati, melainkan filosofi hidup yang dinamis dan terbuka untuk ditafsirkan sesuai tantangan di era seakarang. Terdapat pertanyaan mengenai apakah kita siap menjawabnya dengan kesetiaan pada nilai-nilai yang mempersatukan, atau justru membiarkan bangsa ini tercerai oleh kepentingan sesaat Pilihan ada pada kita.