• Hubungi Redaksi
  • Login
  • Register
Siaran Berita
Leaderboard Puteri Anak dan Puteri Remaja Banten 2025
  • Berita Utama
  • Ekonomi & Bisnis
  • Internasional
  • Nasional
  • Properti
  • SBTV
  • Lainnya
    • Gaya Hidup
    • Teknologi
    • Otomotif
    • English
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Pariwisata
    • Pendidikan
    • Product Review
    • Sorot
    • Sport
    • Event
    • Opini
    • Profil
Siaran Berita
  • Berita Utama
  • Ekonomi & Bisnis
  • Internasional
  • Nasional
  • Properti
  • SBTV
  • Lainnya
    • Gaya Hidup
    • Teknologi
    • Otomotif
    • English
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Pariwisata
    • Pendidikan
    • Product Review
    • Sorot
    • Sport
    • Event
    • Opini
    • Profil
No Result
View All Result
Siaran Berita
No Result
View All Result
Home Opini

Pancasila Sebagai Identitas Nasional di Era Digitalisasi

PENGUATAN PANCASILA SEBAGAI IDENTITAS NASIONAL DI ERA DIGITAL: STUDI KASUS POLARISASI POLITIK DI MEDIA SOSIAL SELAMA PEMILU 2024

Naritsya Salsabila Azzahra by Naritsya Salsabila Azzahra
17 May 2025
in Opini
A A
0
IMG 20250515 WA0046
876
SHARES
1.3k
VIEWS

Pancasila merupakan dasar negara sekaligus identitas nasional bangsa Indonesia yang dirumuskan secara filosofis dan historis oleh para pendiri bangsa. Kelima sila yang terkandung dalam Pancasila tidak hanya menjadi landasan normatif dalam penyelenggaraan negara, tetapi juga menjadi jiwa dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks globalisasi dan era digital saat ini, nilai-nilai Pancasila menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Kemajuan teknologi informasi di satu sisi mempermudah pertukaran informasi, namun di sisi lain juga membuka ruang bagi berkembangnya ideologi-ideologi yang tidak selaras dengan semangat kebangsaan.

Identitas nasional merujuk pada suatu kesatuan nilai, norma, dan simbol-simbol kolektif yang menjadi ciri khas suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, Pancasila memiliki peran utama dalam membentuk dan menjaga identitas nasional tersebut. Notonagoro (1980) menyatakan bahwa Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai budaya dan religius bangsa Indonesia yang telah hidup dalam masyarakat jauh sebelum kemerdekaan. Oleh karena itu, eksistensinya tidak dapat dipisahkan dari kepribadian bangsa itu sendiri.

Namun, realitas di era digital menunjukkan bahwa identitas nasional sering kali terpinggirkan oleh derasnya arus informasi global. Kehadiran media sosial dengan segala kelebihannya telah menjadi medan baru dalam pertarungan narasi, opini, dan ideologi. Fenomena polarisasi politik selama Pemilu 2024 menjadi contoh nyata bagaimana ruang digital tidak hanya menjadi arena demokrasi, tetapi juga potensi konflik yang mengancam persatuan bangsa.

Baca Juga

Gen Z

Mengenal Gen Z: Generasi Digital yang Mengubah Dunia

17 June 2025
Gambar Goreng Pisang

Analisis Kelayakan Bisnis Warung Mama Yasmin Goreng Pisang

16 June 2025
241214134341 552

Gaji Guru: Akar Masalah Kualitas Pendidikan yang Terlupakan

16 June 2025
be

Geliat #KaburAjaDulu: Ungkap Kekecewaan Politikal Pemuda Indonesia

16 June 2025

Polarisasi politik yang terjadi secara masif di media sosial mencerminkan gejala menurunnya rasa persatuan dan toleransi dalam masyarakat. Media sosial seperti Twitter, TikTok, dan Facebook menjadi sarana penyebaran ujaran kebencian, hoaks, serta propaganda politik yang bersifat provokatif. Menurut LSI (2024), 62% konten politik yang viral selama masa kampanye pemilu mengandung unsur provokatif yang dapat memicu perpecahan di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda.

Dalam kerangka Pancasila, kondisi ini jelas bertentangan dengan sila Ketiga yaitu “Persatuan Indonesia”, serta sila Keempat yang menekankan musyawarah dan kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, internalisasi nilai-nilai Pancasila menjadi semakin penting untuk membentengi masyarakat dari bahaya perpecahan akibat konflik politik dan ideologi yang merusak.

Menurut Yudi Latif (2011), Pancasila harus terus diaktualisasikan sebagai ideologi terbuka yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman tanpa kehilangan jati dirinya. Dalam menghadapi tantangan era digital aktualisasi Pancasila tidak hanya bersifat konseptual tetapi juga harus bersifat praksis yaitu hadir dalam bentuk kebijakan, pendidikan, dan budaya digital yang mencerminkan nilai-nilai kebangsaan.

Sayangnya, sebagian besar masyarakat terutama generasi muda masih belum memahami makna Pancasila secara mendalam. Banyak di antara mereka yang memaknai kebebasan berpendapat secara absolut tanpa mempertimbangkan nilai-nilai toleransi dan kesatuan. Pendidikan Pancasila yang semestinya menjadi instrumen utama pembentukan karakter, sering kali hanya bersifat formalitas tanpa menyentuh kesadaran ideologis yang substantif.

Tilaar (2009) menekankan pentingnya pendidikan karakter yang berakar pada nilai-nilai luhur bangsa untuk memperkuat identitas nasional. Pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai Pancasila perlu diterapkan secara lintas sektor, termasuk dalam dunia digital. Tidak cukup hanya mengandalkan kurikulum formal, tetapi juga diperlukan pendekatan budaya digital yang mampu menyasar generasi muda secara efektif.

Di tengah disrupsi informasi dan tantangan globalisasi negara tidak boleh pasif. Diperlukan regulasi dan kebijakan afirmatif yang tidak hanya bersifat represif terhadap penyalahgunaan media sosial tetapi juga proaktif dalam membangun ekosistem digital yang sehat, toleran, dan nasionalis. Kominfo bersama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) perlu bersinergi menciptakan ruang digital yang berorientasi pada penguatan ideologi negara.

Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas bagaimana Pancasila dapat diperkuat sebagai identitas nasional dalam konteks era digital dengan menyoroti studi kasus polarisasi politik di media sosial selama Pemilu 2024. Dengan pendekatan ini diharapkan akan ditemukan pemahaman yang lebih dalam mengenai tantangan dan solusi strategis dalam menjaga keutuhan bangsa melalui revitalisasi nilai-nilai Pancasila.

1. Pancasila di Persimpangan Jalan Era Digital

Saya melihat bahwa Pancasila memang sedang menghadapi tantangan besar di era digital ini. Di satu sisi, nilai-nilai Pancasila masih sering kita dengar dalam upacara dan peringatan resmi. Namun, di sisi lain, dalam praktik sehari-hari khususnya di dunia maya nilai-nilai tersebut seperti kehilangan maknanya. Media sosial yang menjadi arena utama komunikasi saat ini justru sering dipenuhi dengan konten yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Pancasila, seperti intoleransi dan permusuhan.

Menurut saya, fenomena ini terjadi karena ada kesenjangan antara teori dan praktik. Kita sudah mengenal Pancasila sejak kecil, tetapi belum sepenuhnya mampu menginternalisasi nilai-nilainya ke dalam sikap dan perilaku terutama dalam menghadapi situasi baru seperti dunia digital. Digitalisasi harusnya menjadi kesempatan untuk menyebarkan nilai-nilai Pancasila lebih luas, tapi faktanya malah sering digunakan untuk hal-hal yang merusak semangat kebangsaan.

Saya juga merasa bahwa masyarakat kita masih kurang memahami bahwa Pancasila bukan sekadar teks atau slogan, melainkan panduan hidup yang harus dijalankan. Kaelan (2013) mengingatkan bahwa Pancasila adalah dasar etika kehidupan berbangsa. Jika ruang digital terus diisi oleh konten negatif maka ini bukan hanya soal moral tapi juga soal bagaimana ideologi bangsa ini perlahan-lahan terkikis.

Dalam pandangan saya, jika masalah ini tidak segera diatasi bisa menimbulkan perpecahan sosial yang lebih parah. Dunia digital yang tanpa batas membuat penyebaran nilai negatif lebih cepat dan luas sehingga membahayakan persatuan bangsa. Ini seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak untuk mengambil langkah nyata. Menurut Kaelan (2013), Pancasila bukan hanya ideologi negara tetapi juga dasar etika kehidupan berbangsa. Maka, ketika ruang digital tidak mencerminkan nilai-nilai tersebut sesungguhnya kita sedang menyaksikan degradasi ideologis secara perlahan. Dalam opini saya, jika dibiarkan ini akan menjadi bom waktu yang bisa meledakkan disintegrasi nasional.

2. Media Sosial: Ruang Publik atau Arena Pertempuran?

Menurut saya, media sosial memiliki dua wajah yang sangat kontras. Di satu sisi media sosial memberi peluang besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi, seperti pada Pemilu 2024. Namun di sisi lain, ruang yang sama sering kali disalahgunakan untuk menyebarkan kebencian, hoaks, dan propaganda yang justru memecah belah masyarakat.

Fenomena ini saya rasa menunjukkan bahwa media sosial belum sepenuhnya menjadi ruang publik yang sehat. Saya sering melihat bagaimana komentar dan konten di media sosial lebih banyak menimbulkan konflik daripada dialog yang konstruktif. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat gotong royong yang menjadi nilai dasar Pancasila.

Mulyana (2020) menyebut media sosial sebagai medan pertarungan ideologis yang sangat cair dan saya sangat setuju dengan hal itu. Polarisasi yang terjadi di media sosial memang berpotensi memperuncing perbedaan dan melemahkan persatuan. Dalam konteks ini media sosial justru menjadi arena pertempuran bukan ruang untuk membangun kebersamaan.

Saya juga merasa bahwa masyarakat perlu lebih bijak dan bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial. Kita tidak bisa hanya melihat media sosial sebagai tempat berekspresi tanpa memikirkan dampak sosialnya. Media sosial harus menjadi wadah yang mempersatukan, bukan memperuncing konflik.

Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya harus lebih aktif mengelola ruang digital agar tetap kondusif. Tidak hanya dengan pengawasan ketat, tetapi juga dengan mendorong konten yang mendukung nilai-nilai kebangsaan dan Pancasila agar media sosial benar-benar menjadi ruang publik yang sehat.

3. Tantangan: Minimnya Literasi Ideologis dan Digital

Saya berpendapat bahwa salah satu masalah utama yang menyebabkan maraknya konten negatif di media sosial adalah rendahnya literasi baik literasi ideologis maupun literasi digital. Banyak pengguna khususnya generasi muda yang tidak memiliki kemampuan kritis dalam menyaring informasi yang diterima. Akibatnya, mereka mudah terpengaruh oleh berita palsu dan opini yang memecah belah.

Saya juga mengamati bahwa pemahaman tentang Pancasila sebagai ideologi yang harus dihayati dan diamalkan masih kurang, terutama di kalangan milenial dan Gen-Z. Mereka lebih sering menerima nilai-nilai tersebut sebagai hafalan pelajaran sekolah, bukan sebagai pegangan hidup yang harus diterapkan dalam interaksi sosial, baik offline maupun online.

Yudi Latif (2018) menekankan pentingnya literasi ideologi dalam membentuk karakter kebangsaan. Saya setuju bahwa tantangan ini bukan hanya tugas sekolah atau guru tetapi harus menjadi tanggung jawab semua pihak termasuk keluarga dan komunitas. Literasi ideologis yang kuat akan membantu masyarakat untuk memahami dan mempraktikkan nilai-nilai Pancasila dengan lebih baik.

Selain itu, literasi digital yang rendah membuat banyak pengguna media sosial tidak mampu membedakan mana informasi yang benar dan mana yang hoaks. Ini menjadi pintu masuk bagi penyebaran konten negatif yang merusak persatuan dan toleransi. Oleh sebab itu, pendidikan literasi digital perlu diperkuat agar masyarakat semakin cerdas dan bertanggung jawab dalam bermedia sosial.

Menurut saya, mengatasi tantangan ini memerlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Pendidikan Pancasila dan literasi digital harus berjalan beriringan agar generasi muda tidak hanya paham teknologi, tapi juga memiliki landasan ideologis yang kuat sebagai warga negara yang baik.

4. Studi Kasus: Polarisasi Politik Pemilu 2024

Saya melihat fenomena polarisasi politik selama Pemilu 2024 sebagai salah satu tanda nyata bagaimana dinamika demokrasi di Indonesia mulai terpengaruh oleh penyebaran informasi yang tidak sehat. Para buzzer politik yang aktif di media sosial tidak hanya mempromosikan kandidat tetapi juga sering menggunakan strategi yang menyulut kebencian dan permusuhan terhadap lawan politik. Hal ini tentu sangat merusak suasana demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi dialog dan toleransi.

Dalam pandangan saya, praktik penyebaran hoaks dan meme yang menghina tersebut memperkuat jurang perpecahan antarpendukung politik. Bukan hanya memperburuk hubungan antarindividu tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi itu sendiri. Saya merasa ini menjadi masalah serius yang perlu segera ditangani agar demokrasi tetap sehat dan inklusif.

Survei SMRC tahun 2024 yang menunjukkan 71% responden menganggap media sosial memperburuk hubungan antarpendukung politik sangat menggambarkan kondisi nyata di lapangan. Menurut saya, angka ini menunjukkan bahwa ruang digital, yang seharusnya menjadi sarana mempererat persatuan, malah berubah menjadi arena konflik yang memecah belah masyarakat.

Saya percaya bahwa polarisasi yang terjadi tidak hanya akibat strategi politik semata tetapi juga karena kurangnya kesadaran dan kontrol diri pengguna media sosial. Banyak orang yang mudah terpancing emosi dan terjebak dalam arus informasi tanpa melakukan cek fakta terlebih dahulu. Ini mengindikasikan perlunya edukasi literasi digital yang lebih masif.

Sebagai warga negara, saya rasa kita juga punya tanggung jawab untuk membangun suasana dialog yang sehat dan menghindari ikut menyebarkan konten yang memecah belah. Demokrasi harus dibangun atas dasar rasa saling menghargai dan pengertian, bukan permusuhan dan kebencian.

5. Peran Negara dalam Menjaga Identitas Nasional

Menurut saya, peran negara dalam menjaga dan memperkuat identitas nasional sangat krusial di tengah derasnya arus informasi digital saat ini. Pemerintah melalui lembaga seperti Kominfo dan BPIP harus mengambil peran aktif dalam mempromosikan nilai-nilai Pancasila di ruang digital. Bukan hanya sebatas menghapus konten negatif tapi juga harus mampu menyediakan konten yang edukatif dan inspiratif sebagai penguat ideologi bangsa.

Saya sependapat dengan pernyataan Mahfud MD (2022) bahwa keberhasilan ideologi bukan hanya terletak pada seberapa sering ia dikutip tetapi pada seberapa dalam ia dihayati dan diamalkan oleh masyarakat. Ini berarti pendekatan yang dilakukan negara tidak boleh hanya bersifat koersif atau represif melainkan harus juga bersifat kultural dan persuasif agar nilai-nilai Pancasila bisa menyatu dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pengalaman saya, konten yang membumi dan relevan dengan kehidupan masyarakat jauh lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan formal yang kaku. Negara perlu memanfaatkan berbagai platform digital untuk menyebarkan nilai-nilai kebangsaan secara kreatif sehingga masyarakat terutama generasi muda bisa lebih mudah memahami dan mengamalkan Pancasila.

Saya juga menganggap bahwa kolaborasi antara pemerintah dengan berbagai pihak, seperti komunitas, media, dan influencer, bisa memperkuat penyebaran nilai Pancasila. Ini akan membuat pesan yang disampaikan tidak terkesan hanya dari satu sisi, tapi menjadi bagian dari dialog sosial yang lebih luas dan dinamis.

Akhirnya, saya percaya bahwa menjaga identitas nasional di era digital adalah tugas bersama yang membutuhkan sinergi dan inovasi dari berbagai elemen bangsa. Negara sebagai pemangku kebijakan harus tetap berada di garis depan, namun tidak boleh berjalan sendiri tanpa dukungan dari masyarakat.

6. Revitalisasi Pancasila melalui Pendidikan Digital

Saya percaya bahwa Pancasila bisa dihidupkan kembali melalui platform digital edukatif. Misalnya membuat web series, podcast, atau konten TikTok yang membahas nilai-nilai Pancasila dalam konteks kekinian: toleransi, anti-hoaks, dan cinta tanah air. Ini akan jauh lebih efektif menyasar generasi muda dibanding ceramah formal.

Tilaar (2011) menegaskan bahwa pendidikan karakter harus memanfaatkan ruang baru termasuk digital untuk menjangkau generasi masa depan. Kita tidak bisa berharap mereka mencintai Pancasila jika cara menyampaikannya membosankan dan tidak relevan.

7. Peran Komunitas Digital dalam Mengawal Kebangsaan

Banner Publikasi Press Release Gratis

Komunitas digital memiliki peran strategis dalam memperkuat nilai-nilai kebangsaan, terutama di era di mana media sosial menjadi ruang utama interaksi masyarakat. Content creator, influencer, hingga gamer dapat menjadi agen yang menyebarkan nilai-nilai Pancasila melalui berbagai kampanye kreatif yang mengedukasi tentang pentingnya persatuan dan toleransi. Dengan pendekatan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari generasi muda, pesan-pesan kebangsaan dapat tersampaikan secara efektif dan menarik.

Menurut Jenkins (2016), kekuatan budaya partisipatif di media sosial memungkinkan terbentuknya opini publik yang solid dan memperkuat solidaritas kebangsaan jika dikelola dengan etika dan kreativitas. Hal ini memberi harapan bahwa identitas nasional masih bisa diperkuat, bahkan lewat platform populer seperti TikTok yang sering dianggap sekadar hiburan semata.

Saya percaya bahwa komunitas digital harus diberdayakan dan diberikan ruang agar mampu berkontribusi dalam menjaga nilai-nilai Pancasila. Melalui kolaborasi antara komunitas dan institusi formal, pesan kebangsaan bisa lebih menyentuh hati dan diterima luas, sekaligus menjawab tantangan perubahan zaman.

Selain negara komunitas digital seperti content creator, influencer, bahkan gamer, juga bisa menjadi agen pembawa nilai-nilai Pancasila. Misalnya melalui kampanye daring yang mengedukasi tentang pentingnya persatuan, toleransi, dan musyawarah. Mereka bisa menjadi semacam juru bicara ideologi yang lebih didengar oleh generasi muda.

Menurut Jenkins (2016), kekuatan budaya partisipatif di media sosial dapat membentuk opini publik dan memperkuat solidaritas kebangsaan jika dikelola secara etis dan kreatif. Ini membuka harapan bahwa identitas nasional masih bisa diperkuat, bahkan lewat TikTok sekalipun.

8. Refleksi Pribadi: Pancasila di Hati, Bukan di Layar Saja

Sebagai warga negara, saya meyakini bahwa mengamalkan Pancasila lebih dari sekadar menghafal lima sila. Pancasila harus menjadi kompas moral yang membimbing sikap dan perilaku kita, terutama saat berinteraksi di ruang digital yang penuh godaan menyebar kebencian dan konflik. Jika setiap individu mampu menahan diri dan memilih dialog yang penuh hormat, maka kita secara nyata menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Bung Karno pernah menegaskan bahwa Pancasila bukan untuk dihafal melainkan untuk dihayati dan diamalkan. Pernyataan ini menjadi pengingat kuat bahwa nilai-nilai kebangsaan harus terinternalisasi dalam diri setiap warga negara agar tetap hidup dan berkembang dari generasi ke generasi.

Dalam pengalaman saya, mengamalkan Pancasila di dunia maya adalah tantangan tersendiri yang membutuhkan kesadaran dan kedewasaan emosional. Namun, jika dimulai dari diri sendiri, perubahan positif akan menyebar dan membentuk lingkungan digital yang lebih sehat dan harmonis. Kata Bung Karno (1961), Pancasila bukan untuk dihafalkan, tapi untuk dihayati dan diamalkan. Itulah yang membuatnya tetap hidup dari generasi ke generasi.

9. Upaya Kolektif: Dari Sekolah hingga Medsos

Penguatan identitas nasional melalui Pancasila bukan tanggung jawab satu pihak saja. Perlu kolaborasi yang erat antara pemerintah, dunia pendidikan, keluarga, media, dan seluruh elemen masyarakat. Upaya ini harus dilakukan secara berkelanjutan dan sistematis agar tidak sekadar menjadi seremonial pada momen tertentu, seperti Hari Lahir Pancasila.

UNESCO (2019) menekankan pentingnya pendidikan kewarganegaraan digital sebagai kunci menjaga keutuhan bangsa di era internet. Oleh karena itu, mengajarkan generasi muda untuk menjadi warga negara yang cerdas dan bertanggung jawab di dunia maya adalah investasi jangka panjang demi masa depan bangsa. Penguatan identitas nasional lewat Pancasila bukan pekerjaan satu pihak. Butuh kolaborasi antara pemerintah, sekolah, keluarga, media, dan individu. Gerakan bersama ini perlu dilakukan secara terstruktur dan berkelanjutan, agar tidak berhenti pada momen-momen seremonial seperti Hari Lahir Pancasila.

10. Pancasila dan Masa Depan Bangsa

Terlepas dari segala tantangan yang dihadapi, saya percaya bahwa Pancasila tetap relevan dan ampuh sebagai identitas nasional. Ia bukan peninggalan masa lalu, tapi fondasi masa depan. Tugas kita adalah menjaganya tetap hidup, relevan, dan kontekstual—terutama dalam dunia digital yang terus berubah cepat.

Kalau kita bisa menjadikan Pancasila sebagai gaya hidup digital bukan hanya slogan kosong, maka bangsa ini akan tetap kuat meski dihantam badai teknologi dan arus ideologi luar. Pancasila akan tetap menjadi bintang penuntun Indonesia.

Saya percaya bahwa Pancasila merupakan dasar negara yang sangat penting bagi identitas nasional Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi pedoman bagi seluruh warga negara dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Oleh karena itu, pemahaman dan pengamalan Pancasila harus terus ditingkatkan terutama di era digital saat ini.

Dalam kehidupan sehari-hari, saya melihat bahwa pemahaman terhadap Pancasila masih belum merata di kalangan masyarakat terutama di kalangan generasi muda. Banyak yang hanya mengetahui Pancasila sebagai materi pelajaran tanpa benar-benar memahami makna dan penerapannya dalam konteks kehidupan modern.

Media sosial saat ini menjadi salah satu ruang utama berinteraksi sosial. Namun, saya mengamati bahwa nilai-nilai Pancasila sering kali kurang diperhatikan dalam komunikasi di media sosial. Konten yang menyebarkan kebencian, ujaran yang tidak sopan, serta berita palsu sering beredar luas, yang sebenarnya bertentangan dengan semangat Pancasila.

Saya menilai bahwa rendahnya literasi digital dan pemahaman ideologi menjadi faktor utama munculnya perilaku negatif di ruang digital. Banyak pengguna media sosial yang tidak mampu memilah informasi dengan kritis dan tidak memahami pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa pendidikan tentang Pancasila harus disesuaikan dengan perkembangan zaman, khususnya dengan memanfaatkan teknologi digital. Pendidikan Pancasila yang menarik dan relevan dapat menjangkau lebih banyak kalangan, terutama generasi muda yang lebih aktif di dunia maya.

Pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga nilai-nilai Pancasila tetap hidup di masyarakat. Langkah-langkah seperti penyebaran konten edukatif tentang Pancasila di media sosial, pengawasan terhadap konten negatif, serta program-program literasi digital perlu terus ditingkatkan.

Selain peran pemerintah, saya melihat komunitas digital juga dapat menjadi agen perubahan dalam menguatkan identitas nasional berdasarkan Pancasila. Influencer dan tokoh masyarakat di dunia maya dapat berkontribusi dengan menyebarkan pesan-pesan positif yang mendukung persatuan dan toleransi.

Saya percaya bahwa penerapan Pancasila di era digital harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Tidak cukup hanya dijadikan slogan atau materi pelajaran, tetapi harus diwujudkan dalam sikap dan perilaku nyata dalam interaksi sosial sehari-hari, baik di dunia nyata maupun di dunia digital.

Tantangan globalisasi dan arus informasi yang sangat cepat tidak boleh membuat kita mengabaikan nilai-nilai Pancasila. Sebaliknya, pancasila harus menjadi pegangan utama untuk menghadapi berbagai perubahan dan tantangan tersebut agar bangsa Indonesia tetap bersatu dan kuat.

Kesimpulannya, menurut saya Pancasila sebagai identitas nasional harus terus dijaga dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan pemahaman dan pengamalan yang baik, Pancasila dapat menjadi landasan yang kokoh bagi Indonesia untuk menghadapi era digital dan globalisasi tanpa kehilangan jati dirinya.

Pancasila sebagai dasar negara dan identitas bangsa menghadapi tantangan besar di era digital yang serba cepat dan kompleks. Di tengah arus globalisasi dan kemudahan akses informasi nilai-nilai Pancasila kerap terabaikan terutama di ruang media sosial yang terkadang justru menjadi ladang konflik dan polarisasi. Hal ini menuntut kesadaran kolektif dari seluruh elemen bangsa—negara, pendidikan, komunitas digital, hingga individu—untuk kembali menghidupkan nilai-nilai luhur tersebut secara nyata, tidak sekadar simbolis.

Peran negara dalam menjaga dan menginternalisasi Pancasila harus berjalan beriringan dengan peran aktif komunitas digital yang kreatif dan etis dalam menyebarkan pesan-pesan kebangsaan. Pendidikan kewarganegaraan digital menjadi sangat penting sebagai pondasi agar generasi muda mampu menjadi warga negara yang cerdas, bertanggung jawab dan menjunjung tinggi persatuan di ruang maya. Upaya bersama dari berbagai pihak secara berkelanjutan akan menjamin Pancasila tidak hanya menjadi jargon, tetapi benar-benar menjadi pedoman hidup dalam kehidupan sehari-hari, terutama di dunia digital.

Dengan menjadikan Pancasila sebagai kompas moral dan gaya hidup digital, bangsa Indonesia dapat menghadapi dinamika zaman tanpa kehilangan jati diri. Pancasila bukan hanya warisan masa lalu, melainkan fondasi masa depan yang harus terus dijaga agar tetap relevan, hidup, dan mampu menuntun bangsa melewati segala tantangan menuju persatuan dan kemajuan.

Share350Tweet219Share61Pin79SendShare
Leaderboard apa apa
Previous Post

Masihkah Olahraga Menjadi Aktivitas Penangkal Stress Di Kalangan Mahasiswa

Next Post

DPD GRIB Jaya Sumsel Dukung Polsek Sako Berantas Premanisme, Desak Penindakan Tegas Tanpa Toleransi

Naritsya Salsabila Azzahra

Naritsya Salsabila Azzahra

Related Posts

Gen Z

Mengenal Gen Z: Generasi Digital yang Mengubah Dunia

17 June 2025
Gambar Goreng Pisang

Analisis Kelayakan Bisnis Warung Mama Yasmin Goreng Pisang

16 June 2025
241214134341 552

Gaji Guru: Akar Masalah Kualitas Pendidikan yang Terlupakan

16 June 2025
be

Geliat #KaburAjaDulu: Ungkap Kekecewaan Politikal Pemuda Indonesia

16 June 2025
Next Post
IMG 20250517 WA0013

DPD GRIB Jaya Sumsel Dukung Polsek Sako Berantas Premanisme, Desak Penindakan Tegas Tanpa Toleransi

Hasan Komarudin | Penulis

Hasan Komarudin Resmi Jabat Ketua Umum PP Forum Komunikasi Remaja Masjid Lebak

1001430328

Safari Muslimat NU Kab. Paser & Pelantikan Pengurus Ranting Se-Kecamatan Batu Sopang

IMG 20250518 WA0003 1

Bu Ketua RT 47 bersama warga RT 47 gelar Gotong Royong Bersihkan Lingkungan

Dokumentasi Kegiatan Psikoedukasi

Stop Nomophobia! Mahasiswa Psikologi UNM Ajak Remaja Melek Digital

Please login to join discussion
Rumah Prabu Half Page
Siaran Berita

Siaran Berita menghadirkan berbagai informasi terbaru dan terpercaya.

Follow Us

Square Media Wanita
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Cyber
  • Syarat & Ketentuan Tulisan
  • Syarat dan Ketentuan Penggunaan Website
  • Disclaimer

© 2023 SIaran Berita - Pres Rilis dan Berita

Welcome Back!

Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Google
OR

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Berita Utama
  • Ekonomi & Bisnis
  • Internasional
  • Nasional
  • Properti
  • SBTV
  • Lainnya
    • Gaya Hidup
    • Teknologi
    • Otomotif
    • English
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Pariwisata
    • Pendidikan
    • Product Review
    • Sorot
    • Sport
    • Event
    • Opini
    • Profil
  • Login
  • Sign Up

© 2023 SIaran Berita - Pres Rilis dan Berita