Jakarta — Indonesia tengah menyimpan potensi investasi yang sangat besar di balik bentangan kawasan industri yang belum tergarap optimal. Hal ini diungkapkan Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Suyus Windayana, dalam Dialog Nasional Musyawarah Nasional IX Himpunan Kawasan Industri (HKI) Indonesia di Jakarta.
“Lebih dari 90 persen lahan kawasan industri yang telah ditetapkan dalam tata ruang masih belum dimanfaatkan. Ini artinya, peluang investasi terbuka sangat lebar,” tegas Suyus.
Data Kementerian ATR/BPN menunjukkan, Pulau Sumatera memiliki 185.412 hektare lahan kawasan industri, namun baru sekitar 13.000 hektare atau 7 persen yang digunakan. Sementara di Pulau Jawa, dari total 350.539 hektare lahan industri, baru 34.000 hektare atau sekitar 9,75 persen yang dimanfaatkan.
Padahal, lahan tersebut sudah dialokasikan secara legal dan termuat dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Sayangnya, tantangan utama justru muncul dari lambannya eksekusi pemanfaatan lahan.
“Tantangan kita bukan pada ketersediaan ruang, tapi bagaimana kita menyelesaikan izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), kesiapan RDTR, dan penguasaan lahan,” ujarnya.
Optimalisasi kawasan industri kerap terganjal oleh beberapa persoalan krusial, seperti belum lengkapnya dokumen perizinan KKPR, belum terintegrasinya RDTR dengan sistem Online Single Submission (OSS), hingga peliknya proses pengadaan dan pelepasan lahan.
Untuk mengakselerasi reformasi tata ruang, pemerintah menargetkan integrasi 2.000 RDTR ke dalam OSS sebagai upaya besar mendukung kemudahan berusaha. Namun hingga pertengahan 2025, baru 367 RDTR yang berhasil diintegrasikan ke sistem digital nasional.
“Ini bukan semata pekerjaan teknis, tetapi kerja kolaboratif lintas kementerian dan pemerintah daerah. Kementerian ATR/BPN akan terus memberikan dukungan, baik dalam bentuk anggaran maupun bantuan teknis, agar Pemda bisa menyusun dan mengintegrasikan RDTR dengan OSS,” kata Suyus.
Langkah ini menjadi bagian penting dari transformasi perizinan berbasis spasial dan kepastian hukum ruang yang diyakini dapat mempercepat realisasi investasi, memperkuat daya saing kawasan industri nasional, dan menggerakkan pertumbuhan ekonomi daerah secara berkelanjutan.