Di tengah lajunya perkembangan zaman yang kian dipacu oleh teknologi, kebiasaan membaca mulai tersisih dan jarang dilirik. Aktivitas membaca, terutama di kalangan generasi muda Indonesia, kerap dianggap tidak menarik. Minat baca masyarakat Indonesia berada di posisi ke-60 dari 61 negara dalam daftar yang tercatat menurut data dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 2016. Tak hanya itu, UNESCO juga mencatat bahwa indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya berada di angka 0,001%. Artinya, dari setiap 1.000 orang Indonesia, hanya satu yang memiliki kebiasaan membaca secara rutin.
Fenomena ini menjadi gambaran nyata tantangan besar dalam membangun budaya literasi di Indonesia. Meski negara ini memiliki infrastruktur perpustakaan yang cukup lengkap dan akses terhadap buku yang terus meningkat, hal tersebut belum mampu mengangkat minat baca masyarakat secara signifikan. Faktor budaya yang belum kuat, kurangnya motivasi, serta dominasi media sosial dan hiburan digital menjadi penyebab utama mengapa membaca masih dianggap aktivitas yang kurang menarik, khususnya di kalangan anak muda.
Survei lain dari Programme for International Student Assessment (PISA) juga menunjukkan posisi Indonesia yang memprihatinkan dalam hal literasi membaca, dengan peringkat 11 terbawah dari 81 negara. Kondisi ini menunjukkan bahwa rendahnya minat baca tidak hanya soal frekuensi membaca, tetapi juga kualitas pemahaman terhadap bacaan. Namun, ada fakta yang menunjukkan bahwa minat baca anak muda tidak sepenuhnya suram. Mengapa demikian?
88% Anak Muda Indonesia Gemar Membaca
Di tengah anggapan bahwa anak muda Indonesia makin jauh dari buku, sebuah survei yang dilakukan oleh Snapcart pada Oktober 2024 justru menunjukkan data yang cukup mengejutkan. Survei ini mengungkapkan bahwa kegiatan membaca masih menjadi bagian dari keseharian anak muda, meski dalam bentuk dan media yang terus berubah seiring perkembangan teknologi.

Berdasarkan grafik tersebut, mayoritas responden ternyata masih memiliki kebiasaan membaca yang cukup aktif. Dari total responden yang terlibat dalam survei, sebanyak 42% menyatakan bahwa mereka membaca setiap hari. Ini merupakan angka tertinggi dalam grafik dan menunjukkan bahwa hampir setengah dari anak muda Indonesia memiliki kebiasaan membaca harian, entah itu melalui buku fisik, artikel digital, e-book, atau bahkan bacaan di media sosial yang bersifat edukatif.
Frekuensi membaca yang cukup tinggi juga terlihat pada kelompok yang membaca dua hingga tiga kali dalam seminggu, yang mencapai 24% dari total responden. Jika dikombinasikan dengan pembaca harian, maka ada sekitar 66% anak muda yang membaca secara rutin dalam rentang waktu mingguan. Angka ini jelas membantah anggapan bahwa generasi muda telah sepenuhnya meninggalkan dunia literasi.
Di sisi lain, terdapat 17% responden yang tidak memiliki pola membaca tertentu. Mereka membaca secara acak, tergantung pada kebutuhan, mood, atau waktu luang yang tersedia. Sementara itu, 11% responden mengaku membaca setidaknya sekali dalam seminggu, sebuah angka yang masih tergolong positif dalam konteks kebiasaan membaca non-akademik.
Namun, sebagian kecil responden tampak memiliki intensitas membaca yang sangat rendah. Hanya 4% yang membaca 1–3 kali dalam sebulan, dan lebih sedikit lagi—sekitar 2%—yang membaca hanya 5–10 kali dalam setahun.
Meskipun ada sebagian kecil yang membaca dengan frekuensi rendah atau tidak menentu, hasil ini mengindikasikan bahwa kegiatan membaca masih hidup di kalangan generasi muda, meskipun wujud dan mediumnya telah bergeser ke arah digital. Oleh karena itu, tantangan ke depan bukan sekadar meningkatkan frekuensi membaca, melainkan juga menumbuhkan kemampuan literasi kritis dalam menyikapi beragam bacaan yang mereka konsumsi setiap hari.