Indonesia tengah menghadapi ancaman serius terhadap keberlangsungan demokrasinya. Ruang sipil yang seharusnya menjadi ruang terbuka bagi warga negara untuk menyuarakan pendapat, kini terus menyempit. Laporan Freedom House 2024 memberikan sinyal jelas dengan menempatkan Indonesia sebagai negara “partly free”. Namun yang lebih mengkhawatirkan bukan hanya represi negara, melainkan juga kian menepinya mahasiswa dari gelanggang demokrasi.
Mahasiswa selama ini memiliki rekam jejak yang panjang sebagai motor penggerak perubahan sosial-politik. Pada 1966, mereka menjadi ujung tombak gerakan menumbangkan Soekarno. Pada 1998, mereka memimpin gelombang besar yang mengakhiri kekuasaan otoriter Soeharto. Namun, hari ini kita menyaksikan wajah yang berbeda. Gerakan mahasiswa melemah, sporadis, tanpa arah ideologi yang jelas.
Banyak faktor yang mempengaruhi fenomena ini. Represi negara memang menjadi penyebab utama. Pelarangan aktivitas kritis di kampus, pelabelan radikal, hingga ancaman sanksi akademik telah menciptakan iklim ketakutan. Namun di luar itu, budaya individualisme yang mengakar di kalangan generasi muda turut memperparah. Mahasiswa lebih fokus pada capaian pribadi IPK, beasiswa, magang, karier daripada isu sosial dan keadilan publik.
Era digital yang semestinya menjadi ruang baru bagi aktivisme, justru memperlihatkan paradoks. Alih-alih menjadi alat perjuangan, media sosial lebih sering digunakan untuk membangun citra diri. Polarisasi dan disinformasi menjebak mahasiswa dalam gelembung informasi yang memperlemah solidaritas kolektif. Ironisnya, suara mahasiswa yang muncul kerap dicurigai sebagai alat politik kekuasaan tertentu.
Namun di tengah kerapuhan ini, saya masih meyakini bahwa harapan itu belum padam. Mahasiswa tetap menjadi elemen strategis yang memiliki legitimasi moral. Mereka harus kembali membangun kesadaran politik, memperkuat literasi digital yang kritis, serta menghidupkan kembali ruang diskusi kampus sebagai arena penggodokan ide.
Kolaborasi antar kampus dan konsolidasi nasional sangat dibutuhkan. Sebagaimana Reformasi 1998, gerakan mahasiswa kuat karena solid secara nasional. Teknologi pun bisa menjadi sekutu gerakan asalkan digunakan secara substansial, bukan sekadar mengejar viralitas semu.
Diamnya mahasiswa hari ini bukan hanya persoalan gerakan yang melemah, melainkan tanda bahaya bagi masa depan demokrasi kita. Ketika mahasiswa kembali berani bergerak, menyatukan kesadaran kolektif, dan berpihak pada rakyat, itulah tanda bahwa republik ini masih berdenyut. Mari keluar dari zona nyaman, karena demokrasi tidak akan hidup tanpa keberanian generasi mudanya.
Penulis : Radityo Satrio – Presiden Mahasiswa BEM Universitas Saintek Muhammadiyah