Tragedi Berulang MBG: Janji Gizi yang Berubah Jadi Petaka
Keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali mengguncang Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, pada Jumat, 3 Oktober 2025. Ratusan siswa dari berbagai sekolah dasar dilaporkan mengalami gejala mual, pusing, hingga lemas setelah menyantap menu MBG. Jumlah korban yang semula sekitar seratus siswa melonjak hingga lebih dari tiga ratus orang. Pemerintah daerah akhirnya mengirim sampel makanan ke BPOM untuk diuji, namun fakta ini menegaskan bahwa MBG yang seharusnya menjamin gizi anak justru kembali menimbulkan malapetaka. Tragisnya, kasus ini bukan insiden tunggal. Di berbagai daerah, keluhan tentang makanan MBG yang bau, basi, bahkan berulat telah berulang kali muncul, dan insiden Soe adalah puncak dari lemahnya pengawasan serta tata kelola yang tidak akuntabel.
Akar persoalan ini terletak pada estafet tanggung jawab yang kabur. Program MBG melibatkan banyak pihak, mulai dari Kementerian Kesehatan dan Badan Gizi Nasional di tingkat pusat, pemerintah daerah, dinas kesehatan, penyedia dapur (SPPG), hingga sekolah. Namun ketika terjadi keracunan, tidak ada pihak yang berdiri tegak mengakui tanggung jawab. Dalam kasus Soe, dapur MBG dikelola oleh Yayasan Peduli Timorana Mandiri, tetapi pengawasan dari hulu ke hilir, mulai dari pemilihan bahan baku, sanitasi dapur, hingga distribusi, tampak abai. Lemahnya sistem audit memperburuk keadaan. Kementerian Kesehatan hanya menawarkan perbaikan pelaporan agar lebih cepat, padahal langkah itu reaktif dan tidak menyentuh pencegahan.
Standar mutu makanan, sanitasi dapur, serta manajemen rantai distribusi pun belum terjamin. MBG seringkali diperlakukan seolah cukup asal ada, tanpa memperhatikan prinsip keamanan pangan. Padahal di daerah dengan tantangan logistik seperti NTT, proses penyimpanan dan distribusi makanan sangat rentan terhadap kontaminasi. Fakta bahwa puluhan siswa langsung jatuh sakit setelah makan menunjukkan ada masalah serius di tahap akhir pengolahan atau distribusi. Lebih parah lagi, sampai kini hampir tak pernah ada sanksi tegas bagi penyedia yang lalai. Insiden selalu ditangani sebagai “kegaduhan sementara,” tanpa efek jera, sehingga risiko berulang tetap terbuka.
Secara etis, program ini menghadapi krisis legitimasi. MBG lahir dari niat mulia: menjamin anak-anak dari keluarga kurang mampu mendapat asupan gizi layak. Namun apa arti “bergizi” jika justru berujung pada keracunan? Apa makna “gratis” jika anak-anak harus menanggung sakit, trauma, bahkan nyaris kehilangan nyawa? Kejadian seperti di Soe membuat orang tua ragu mempercayakan anaknya pada program ini, yang ironisnya justru melemahkan tujuan utama MBG: meningkatkan gizi, kesehatan, dan partisipasi sekolah. Trauma sosial pun semakin dalam ketika seruan evaluasi yang berulang kali disampaikan publik hanya menjadi slogan tanpa aksi nyata, menambah erosi kepercayaan terhadap pemerintah.
Oleh karena itu, beberapa langkah konkret perlu segera dilakukan. Pertama, moratorium sementara dan audit menyeluruh wajib dilakukan, terutama di dapur-dapur yang tidak memenuhi standar. Kedua, regulasi MBG harus diperkuat dalam bentuk undang-undang agar ada dasar hukum yang jelas, standar baku, serta sanksi bagi pelanggaran. Ketiga, pengawasan tidak cukup diserahkan pada pemerintah saja, tetapi perlu melibatkan lembaga independen, akademisi, LSM kesehatan, hingga orang tua. Keempat, setiap dapur harus menerapkan standar higienitas, penyimpanan, serta pelatihan ketat bagi penjamah makanan. Kelima, sistem pelaporan keracunan harus real-time, bukan menunggu viral di media sosial. Terakhir, jika terbukti ada kelalaian berat, sanksi administratif dan pidana harus dijatuhkan agar ada efek jera nyata.
Kasus keracunan MBG di Soe adalah alarm nasional yang menandakan hilangnya kontrol dalam program yang seharusnya melindungi anak-anak. Tulisan ini pun bukan yang pertama kali mengkritik keras program MBG, melainkan sudah kesekian kalinya publik bersuara lantang agar evaluasi tidak hanya menjadi jargon. Waktunya pemerintah berhenti menutup mata. Program gizi bukan proyek coba-coba, melainkan amanat konstitusi untuk menjamin hak anak atas makanan yang aman dan sehat. Jika tragedi seperti ini terus diabaikan, maka MBG tidak lagi menjadi simbol kepedulian negara, melainkan contoh nyata kegagalan sistemik yang mengorbankan generasi penerus bangsa.
Baca Juga
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
