Jakarta, 17 Juni 2025; Badan Perfilman Indonesia (BPI) menyampaikan klarifikasi dan sikap tegas atas penyelenggaraan Festival Film Indonesia (FFI) 2025 yang dinilai tidak lagi sesuai dengan mandat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Pemicunya adalah peluncuran poster resmi FFI 2025 yang tidak mencantumkan logo BPI—sebuah simbol yang selama ini menandai peran kelembagaan BPI sebagai penggagas, pelindung, dan penanggung jawab penyelenggaraan FFI secara resmi dan substansial.
Ketua BPI, Gunawan Paggaru, menyatakan bahwa Festival Film Indonesia bukan sekadar perhelatan seni atau proyek kelompok, melainkan bagian dari tanggung jawab negara dan representasi masyarakat perfilman Indonesia yang luas.
FFI bukan ajang pribadi atau eksklusif. Sejak awal, ia adalah hasil kerja kolektif yang lahir dari amanat undang-undang dan diperkuat oleh partisipasi luas masyarakat film—termasuk asosiasi profesi, komunitas, lembaga pendidikan, hingga para pelaku industri. Mengabaikan peran BPI berarti membelokkan arah tata kelola perfilman nasional yang sudah dibangun secara partisipatif dan demokratis,” tegas Gunawan.
Menurut Gunawan, persoalan bermula sejak Januari 2025, ketika BPI mengirimkan surat resmi kepada Ketua Komite FFI, Ario Bayu, untuk meminta laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan FFI 2024. Sayangnya, surat tersebut tidak mendapat respons. Surat kedua baru dijawab, dan pertemuan berlangsung pada Maret 2025. Namun, substansi pertemuan dinilai tidak menyentuh tanggung jawab kelembagaan yang seharusnya dibahas.

“Yang mengejutkan, perwakilan Komite FFI menyampaikan bahwa mereka tidak merasa perlu melaporkan apa pun kepada BPI. Padahal, ketua Komite FFI ditunjuk melalui Surat Keputusan resmi dari BPI. Ini adalah bentuk pengingkaran terhadap struktur hukum yang berlaku dalam penyelenggaraan festival nasional,” kata Gunawan dalam pernyataan melalui pesan singkat kepada redaksi.
Setelah dilakukan penelusuran, BPI menemukan bahwa telah terbit Surat Keputusan baru dari Direktorat Jenderal Kebudayaan yang menetapkan Komite FFI tanpa mempertimbangkan peran dan keberadaan BPI di dalam konsideran hukumnya. Kondisi ini menimbulkan kekosongan legitimasi kelembagaan dan membuka celah bagi ketimpangan tata kelola.
“Jika FFI dikelola secara sepihak dan lepas dari struktur representatif perfilman nasional, maka ratusan festival film lainnya pun berhak mendapat perlakuan yang sama dari negara. Ini preseden yang bisa menciptakan ketidakadilan dalam sistem pembiayaan dan pemberdayaan ekosistem film Indonesia,” ujar Gunawan.
Peluncuran poster FFI 2025 tanpa logo BPI mempertegas jarak antara Komite FFI dan prinsip keterbukaan yang seharusnya dijaga. Langkah tersebut dinilai mencederai etika dialog yang selama ini coba dibangun.
“Kami masih berharap ada ruang dialog. Tapi justru saat kami menunggu itikad baik, poster dirilis tanpa melibatkan kami sedikit pun. Ini bukan sekadar soal logo ini soal etik, soal penghargaan terhadap struktur kerja kolektif,” tambahnya.
BPI juga menyampaikan keprihatinan atas dugaan adanya aktor tertentu yang berupaya menarik FFI keluar dari kerangka gotong royong, menjadi alat kekuasaan atau kepentingan segelintir pihak.
“Kami sedang mengumpulkan informasi lebih lanjut. Ada indikasi kuat ini bukan sekadar miskomunikasi administratif, tapi ada agenda politik di baliknya. Ini yang sedang kami selidiki,” ungkap Gunawan.
Sebagai bentuk tanggung jawab kepada masyarakat perfilman, BPI mendesak agar SK Dirjen terkait penunjukan Komite FFI segera dikaji ulang dan direvisi. Revisi ini penting untuk memastikan bahwa FFI tetap menjadi milik kolektif yang sah, terbuka, dan partisipatif.
“Kami ingin menjaga marwah FFI agar tetap berdiri sebagai penghargaan tertinggi insan film Indonesia, bukan milik kelompok tertentu. Ini bukan soal ego kelembagaan, tapi soal hak bersama insan film untuk memiliki ruang yang adil, sah, dan inklusif,, dan BPI berharap pelaksanaan tetap mandiri yang bertanggungjawab terhadap substansi dimana masyarakat perfilman tetap harus dilibatkan karena FFI adalah perhelatan atau hajat seluruh masyarakat film ;tutup Gunawan., menutup WAnya kepada redaksi. (BS)