Ditengah Kesibukan merampungkan proses editing film layar Lebar “ Menuju Pelaminan”, Redaksi mencoba mengajak bincang dalam suasana obrolan yang cair namun penuh makna, kami menanyakan sejumlah pertanyaan tentang perjalanan kreatif, idealisme, hingga harapan besar yang ia titipkan pada film barunya. Simak wawancara santai dengan Yuda Kurniawan Sutradara film Harmoni.
Dialog inspiratif ini merupakan sebuah refleksi tentang keberanian, konsistensi, dan cinta terhadap sinema Indonesia.
Redaksi: Mas Yuda, selama ini Anda dikenal sebagai sutradara dokumenter yang sangat konsisten, dan sudah meraih Piala Citra serta penghargaan internasional. Tapi sekarang Anda mulai menjajal film fiksi. Sejak kapan keinginan itu muncul?
Yuda Kurniawan: Sebetulnya kalau suka bikin dokumenter itu sejak kuliah di Jogja 2001 – 2006, lulus kuliah akhir tahun 2006, lalu saya langsung ke Jakarta dan kerja sebagai editor di beberapa PH mengerjakan tayangan-tayangan televisi. Semasa awal-awal di Jakarta itulah selain sebagai editor saya juga terlibat dibeberapa produksi sinetron dan FTV menjadi assisten sutradara, hingga kemudian menjadi assisten sutradara untuk beberapa judul film layar lebar yang disutradarai oleh mas Hanung Bramantyo di Dapur Film, Hingga kemudian mendapat kesempatan untuk menyutradarai beberapa judul FTV dan series.
Redaksi: Bagaimana perasaan Anda saat film fiksi pertama Harmoni dirilis ke publik? Apakah proses kreatifnya sangat berbeda dibanding dokumenter?
Yuda Kurniawan: Perasaannya senang, akhirnya bisa melahirkan sebuah film cerita panjang. Secara proses karna saya dulu terbiasa menjadi assisten sutradara dan menjadi sutradara untuk TV series dan lain sebagainya, jadi tidak ada hambatan. Kalau secara proses kreatif karena Film Harmoni ini pendekatannya adalah realis, jadi gak jauh beda dengan proses kreatif dokumenter, hanya saja dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk proses casting hingga reading. Karna kebanyakan pemeran dalam film ini adalah warga lokal yang sebelumnya tidak pernah terlibat bermain dalam film.
Redaksi: Film ini akan tayang perdana 31 Juli 2025 di 16 bioskop Sam’s Studio. Kenapa memilih Sam’s Studio, bukan jaringan besar seperti XXI atau CGV?
Yuda Kurniawan: Karena saya ingin menyasar penonton di kota-kota yang tidak ada jaringan XXI dan CGV, selain itu, Sams studio memiliki spirit yang baik untuk memberikan ruang kepada film seperti Harmoni untuk bertemu penontonnya. Karena penonton film Indonesia juga butuh menonton film dengan tema yang jarang diangkat dalam film-film Indonesia. Memberi keberagaman tontonan untuk penikmat film Indonesia.
Redaksi: Menurut Anda, apakah film fiksi seperti Harmoni masih punya ruang di hati penonton Indonesia?
Yuda Kurniawan: Jelas masih memiliki ruang. Karena film ini menawarkan sesuatu yang beda mulai dari cerita, Lokasi, cara bertutur dan para pemerannya. Dengan dialog Bahasa daerah dan pemeran-pemeran asli warga setempat. Kami berusaha memberikan tontonan alternatif. Selain itu film Harmoni juga ingin membawa pesan tentang lingkungan, alam dan kearifan lokal. Sesuatu yang jarang diangkat dalam film-film Indonesia.
Redaksi: Bagaimana Anda menjaga idealisme saat beralih ke film fiksi yang mungkin lebih komersial? Apakah ada tekanan pasar?
Yuda Kurniawan: Untuk film Harmoni ini saya diberi kebebasan dalam segi kreatif dan teknis oleh Produser. Namun untuk Karya film cerita Panjang saya yang lain yang juga akan rilis tahun ini, jelas saya banyak melakukan kompromi karena melibatkan dana yang lebih besar dengan aktor-aktor professional, namun disisi lain di film terbaru saya yang berjudul “Menuju Pelaminan” ini saya juga banyak mempertahankan idealisme saya, terutama diranah kreatif.
Redaksi: Banyak yang bilang dokumenter lebih jujur, sedangkan fiksi lebih dramatis. Apa perbedaan paling mencolok dalam proses kreatif menurut Anda?
Yuda Kurniawan: sebetulnya sama saja, baik dokumenter dan fiksi sama-sama film, dua genre tersebut pada dasarnya dituntut adanya cerita yang kuat, didalam cerita yang kuat pasti ada dramatisasi dan ada pembabakan yang membuat penonton tetap terikat dalam cerita yang kita tuturkan. Tanpa adanya dramatisasi dan cerita yang kuat pasti akan ditinggalkan penontonnya.
Namun dibeberapa dokumenter khususnya yang menggunakan metode bertutur observasional, kita memang dituntut untuk memberikan gambaran apa adanya tanpa adanya intervensi. Namun bukan berarti tidak ada peran sama sekali dari sutradara untuk membuat film tersebut khususnya dengan metode observasional menjadi lebih dramatis. Karena Meja editing bisa merubah segalanya, membuat sudut pandang baru dan membangun cerita yang kuat agar penonton lebih simpati terhadap subyek dan cerita yang kita angkat.
Redaksi: Kalau boleh jujur, mana yang lebih menantang atau menyenangkan bagi Anda?
Yuda Kurniawan: Dokumenter dan Fiksi sama-sama saya suka dan sama-sama menantang. Dan saya menikmati semua proses dari kedua genre tersebut.
Redaksi: Apa pesan Anda untuk pembuat film dokumenter yang ingin mencoba film fiksi?
Yuda Kurniawan: Pembuat film dokumenter yang sering mengangkat isu-isu sosial, politik dan lain sebagainya dalam karya-karyanya. Pastinya akan lebih kritis, kaya sudut pandang dan pemahaman ketika kemudian membuat film fiksi. Karena itu adalah modal yang bagus untuk membuat karya kita menjadi “lebih bersuara” sesuatu yang mungkin tidak dimiliki oleh sutradara film fiksi pada umumnya, terlebih yang tidak pernah membuat film dokumenter.
Redaksi: Dalam Harmoni, apakah Anda membawa pesan sosial khusus?
Yuda Kurniawan: Dari dua kisah keluarga petani yang ada dalam film Harmoni, dengan latar bentang alam laut dan gunung, besar harapan saya sebagai pembuat film, kita sebagai manusia sudah seharusnya hidup selaras dengan alam serta menjunjung nilai-nilai kearifan lokal, sehingga tercipta kehidupan yang lebih harmoni.
Redaksi: Apakah Anda tertarik membuat film horor suatu saat nanti?
Yuda Kurniawan: Pasti, kenapa tidak?, membuat film horror adalah sesuatu yang menantang, kadar ketakutan tiap orang berbeda-beda, menurut kita mengerikan belum tentu menurut orang lain. Jika ada kesempatan membuat film Horor, Thriller atau misteri pastinya saya akan membuat yang beda dari yang lain tentunya tetap memasukkan unsur-unsur isu sosial, kemanusiaan dan lain sebagainya, dan saya sudah memiliki skenario untuk genre ini, yang sudah saya tulis sejak 5 tahun yang lalu.
Redaksi: Bagaimana Anda menyikapi pertentangan idealisme dan kebutuhan bisnis?
Yuda Kurniawan: Harus seimbang antara idealisme dan bisnis. Karna sebuah karya tanpa idealisme akan menjadi hambar, tanpa visi dan akan hilang dalam sekejap. Tidak menjadi bahan perbincangan.
Redaksi: Apa harapan terbesar Anda untuk Harmoni?
Yuda Kurniawan: Harmoni mengajak kita untuk merenungi bahwa perubahan iklim bukan hanya masalah alam, tetapi juga tanggung jawab kita bersama sebagai manusia. Film ini menjadi jendela untuk memahami betapa kompleksnya kehidupan di tingkat akar rumput dan bagaimana masyarakat berjuang bertahan dengan memanfaatkan pengetahuan yang mereka miliki. Saya berharap, film ini akan memicu kesadaran kolektif bahwa kita semua harus berperan aktif dalam mencari solusi dan menjaga keseimbangan alam.
Redaksi: Kami dengar Anda sedang dalam tahap pascaproduksi film fiksi kedua, judulnya apa yaa, boleh di ceritakan sedikitkan . Apa yang membuat Anda tertarik mengangkat cerita ini? Apa tema utamanya?
Yuda Kurniawan: Judulnya “Menuju Pelaminan” Produksi Rekam Films dan PFN serta ko-produksi dengan Little Green Whita dan Rapidz dari Singapura. Film menuju pelaminan adalah film tentang 2 budaya besar di Indonesia. Jawa dan Minang. Mempertemukan dua budaya besar di Indonesia Minang dan Jawa dalam sebuah pernikahan bukan hanya menarik secara gagasan tetapi juga relate dengan banyak Masyarakat Indonesia. Relasi perasaan di dunia nyata inilah yang menjadi kekuatan film Menuju Pelaminan, dan hal tersebut yang menjadi tema besar film “Menuju Pelaminan” ini. Film ini adalah menceritakan ttg pernikahan antara calon mempelai pria yg berasal dari Jogja yg akan menikahi calon istri yg berasal dari keluarga Minang. Keluarga Jogja melakukan perjalanan darat naik mobil dari Jogja menuju Padang.
Redaksi: Banyak film drama akhir-akhir ini kalah saing dengan film horor. Apa strategi Anda agar Harmoni bisa menarik perhatian penonton?
Yuda Kurniawan: Saat ini kita hidup dijaman Media Sosial, jadi
promo di media sosial harus digencarkan, kami sudah melakukan promo film ini sejak tahun 2024 yang lalu saat film ini diputar perdana di 30th Kolkata International Film Festival dan Jakarta Film Weeks.
Redaksi: Pesan terakhir untuk masyarakat agar menonton Harmoni?
Yuda Kurniawan: Ayo nonton film Harmoni di bioskop, karena dengan menonton film ini saya berharap kita semakin mencintai bumi dan menjaga keseimbangan alam. Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah merayakan keberagaman cerita, isu dan tema dari Sinema Indonesia.
Profil Singkat Yuda Kurniawan
Yuda Kurniawan adalah produser, sutradara, dan pendiri Rekam Films yang telah berkarya secara profesional di industri film dan TV sejak 2007. Film-filmnya telah diputar di lebih dari 30 festival film internasional, seperti Busan International Film Festival, Adelaide Film Festival, dan Asia Pacific Screen Awards. Ia telah menerima berbagai penghargaan bergengsi, termasuk Piala Citra FFI 2018, Piala Maya 2019 dan 2022, Balinale Award 2023, serta NETPAC Award sebuah penghargaan yang diberikan kepada Sutradara Asia yang menunjukkan kontribusi penting bagi gerakan sinema Asia baru. Beberapa karya Filmnya antara lain: Masih Ada Asa (2015), Balada Bala Sinema (2017), Nyanyian Akar Rumput (2018), Roda-Roda Nada (2020) dan Harmoni (2024). Tahun 2025 ini Yuda akan merilis film cerita panjang terbarunya berjudul Menuju Pelaminan
Itulah sebuah wawancara kami dengan , Yuda Kurniawan mengajak kita untuk tidak hanya menonton film sebagai hiburan, tetapi juga sebagai cermin dan ruang refleksi yang membangkitkan kesadaran akan isu-isu penting. Harmoni hadir bukan sekadar sebuah film, tapi sebuah seruan agar kita semua semakin peduli dan bertindak demi masa depan yang lebih baik. (Budi Sumarno)