Bangka Belitung dikenal sebagai daerah kaya akan potensinya, mulai dari timah hingga pariwisatanya yang terus dipromosikan. Namun ironinya, potensi itu disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan, sehingga potensi yang seharusnya mensejahterakan justru berdampingan dengan permasalahan di berbagai aspek, apalagi masalah dalam pendidikan, terutama sekolah di daerah terpencil. Alih-alih ikut memperkuat akses belajar, potensi ekonomi dan pariwisata yang besar justru lebih banyak diperhatikan.
Di balik potensi itu, ada masalah serius yang selama ini perlu disoroti terkait ketimpangan akses internet dan teknologi pendidikan. Dilansir dari ANTARAnews, ada 12 sekolah menengah pertama (SMP) di Kabupaten Bangka Barat mengalami kesulitan sinyal dan minim fasilitas komputer. Bayangkan, ada juga yang harus menumpang ke sekolah lain hanya untuk ikut ujian nasional berbasis komputer (UNBK).
Sementara itu, di pusat kota, anak-anak seusia mereka sudah terbiasa dengan berbagai perangkat teknologi seperti komputer, laptop, hingga ponsel, serta didukung akses internet yang stabil. Mengetik di Word, mengolah data di Excel, membuat file PDF, mengedit poster digital, atau mengikuti pembelajaran daring sudah menjadi rutinitas tanpa hambatan. Pemandangan ini bukan cerita baru, tetapi anehnya terus dianggap lumrah, seolah ketimpangan tersebut tidak pernah mendesak untuk diselesaikan.
Masalah ini sangat nyata. Sekolah di pusat kota lebih memungkinkan untuk mengakses komputer, laptop, hingga jaringan internet. Sementara sekolah di daerah terpencil masih berjuang hanya sekadar untuk mendapatkan sinyal. Tidak sedikit siswa SMP dan SMA ada yang belum bisa membuat file Excel atau PDF bahkan untuk menggunakan komputer atau laptop pun masih canggung. Di era yang menuntut semua serba digital, kondisi ini jelas membuat mereka berjuang dan berlombang-lomba dalam posisi yang tidak seimbang.
Ketimpangan ini bukan hanya soal fasilitas. Ini soal masa depan. Ketimpangan ini tidak hanya menghambat proses pembelajaran, tapi juga menghambat pengembangan potensi individu serta pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendidikan, yang pada akhirnya akan menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi. Anak-anak yang tidak punya akses teknologi akan kesulitan bersaing, tidak hanya secara akademis, tapi juga dalam peluang kerja, kepercayaan diri, hingga kemampuan membaca perkembangan zaman. Sementara, tuntutan pendidikan di era sekarang ini semakin bertambah dan meningkat. Pada akhirnya, ketimpangan antara sekolah kota dan daerah terpencil semakin lebar, dan itu berbahaya bagi kohesi sosial kita.
Jika dilihat dari perspektif Karl Marx dalam teori konflik, ketimpangan akses internet dan teknologi pendidikan menunjukkan bagaimana kelompok yang memiliki sumber daya dalam hal ini sekolah-sekolah di pusat kota akan terus mendapatkan keuntungan dan mempertahankan dominasinya. Sedangkan, sekolah di daerah terpencil berada pada posisi yang secara struktural membuat mereka tertinggal, sehingga reproduksi ketidakadilan pendidikan terus berulang dari generasi ke generasi.
Secara sederhana, ketidakadilan ini terjadi karena mereka yang sudah punya akses akan terus mendapat keuntungan, sementara yang tidak punya akan makin tertinggal. Kebijakan dari pemerintah kadang terdengar bagus dan baik secara konsep, tapi implementasinya sering kali tidak selalu menyentuh akar masalah. Banyak program masih bersifat top-down (dari atas ke bawah), tapi tidak selalu bottom-up (dari bawah ke atas).
Perubahan tidak bisa hanya mengandalkan birokrasi saja, tetapi harus ada gerakan dari bawah, seperti sekolah, guru, masyarakat, hingga orang tua. Sekolah bisa membuat pelatihan literasi digital sederhana, memanfaatkan perangkat yang ada, atau membuat materi pembelajaran offline agar tidak bergantung pada internet. Guru bisa dilatih membuat konten pembelajaran yang mudah diakses. Masyarakat lokal bisa membantu menyediakan perangkat atau ruang belajar bersama. Langkah kecil ini akan terasa besar jika dilakukan secara bersama-sama.
Ketimpangan akses internet dan teknologi pendidikan di Bangka Belitung, salah satunya di Bangka Barat bukan hanya sekadar isu biasa, ini soal keadilan. Setiap anak, di mana pun ia lahir dan tinggal, punya hak yang sama untuk belajar dan berkembang. Karena itu, pemerintah perlu memastikan distribusi fasilitas pendidikan lebih merata, memperkuat infrastruktur internet di desa, dan melibatkan masyarakat dalam merancang solusi. Tidak cukup hanya membangun gedung sekolah, akses digital juga harus diprioritaskan. Jika ingin pendidikan menjadi jembatan mobilitas sosial, maka langkah itu harus dimulai sekarang secara bersama-sama, dari bawah (bottom-up), dan untuk semua anak di Bangka Belitung.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”





































































